MENIKMATI pertunjukan teater terkadang memberikan kita sebuah petilan cerita kehidupan. Anggapan semacam itu memang tak bisa dipungkiri karena teater adalah senjata yang diciptakan oleh para seniman untuk memberikan simbol-simbol artistik terhadap sebuah peristiwa sosial (kehidupan).

Gustavo Boal pernah mengatakan bahwa “teater adalah senjata, dan masyarakatlah yang harus menggunakannya”. Kalimat ini seakan menjelaskan bahwa teater adalah sebuah ruang yang mampu menberikan dampak terhadap sebuah keadaan.

Pada kenyataan, sebaliknya di ruang yang lebih kecil, seperti Kalimantan Selatan, teater seperti mengalami anti klimaks. Hanya berputar pada sebuah jalur aman dan nyaman melakukan repetisi pertunjukan.

Kemarin saya menyaksikan pertunjukan teater yang berjenis realisme dari Sanggar Anam Banua. Mereka berangkat dari tema feminisme yang diberi tajuk Puan. Tajuk ini seperti sebuah upaya memberikan posisi sejajar antara perempuan dan laki-laki. Sesuatu yang telah lama digaugkan di belahan dunia lain dalam berbagai ruang yang salah satunya mulai intens beraksi tentu saja adalah ruang kesenian.

Patriarki dalam tubuh kesenian barang tentu sudah terjadi sejak lama. Tidak melulu soal adanya ruang untuk perempuan berkesenian. Lebih lagi adalah bagaimana perempuan hanya dijadikan smbol-simbol keganasan patriarki itu sendiri.

Nuri dan Setangkai Mawar sebuah naskah karya Ahmad Yamani dan disturadarai oleh Normasari, berlatar kehidupan pinggiran yang menengah ke bawah. Berkisah tentang seorang pelacur cantik yang dapat banyak minat dari pelanggannya. Nuri merupakan korban human trafficking oleh suaminya sendiri sampai dengan begitu mandiri menikmati pekerjaannya itu.

Konstruksi tokoh Nuri sendiri dengan tampilan seksi, perokok, dan warna merah memberikan kesan bahwa Nuri merupakan streotipe dari pelacur pada umumnya. Saya kira ini menjadi semacam kewajaran karena semua orang di negeri ini selalu memandang perempuan seksi, perokok, dan menor adalah perempuan yang tidak benar. Pertunjukan ini seperti ingin memperkuat legitimasi anggapan tersebut. Tidak ada ruang untuk antithesis dari anggapan-anggapan yang beredar sampai sekarang terhadap penggambaran tersebut.

Memang selalu ada pilihan dalam memposisikan teater sebagai senjata seperti kata Boal. Apakah kemudian penulis naskah dan sutradara berada pada kursus yang sama dalam melihat sebuah persoalan (kasus Nuri) atau justru sutradara melihat hal yang lebih kompleks yang mampu menghadirkan diskursus terhadap peristiwa sosial tersebut.  Berada pada wilayah yang kursus dan diskursus tentu saja tidak ada yang salah atau juga absolut benar. Namun masyarakat kita sekarang yang terkadung lebih melihat hal-hal yang ada di depan matanya (efek) tanpa mau berupaya melihat nilai yang begitu kuat di balik peristiwa tersebut, harusnya mampu memberikan kita sebuah kausalitas.

Kita tentu juga tidak ingin membenarkan pekerjaan yang dilakukan Nuri, namun memberikan konstruksi yang kursus (bahwa Pelacur seperti ini, seperti itu, seperti yang sudah kita lihat) hanya membentuk dan memperkuat paradigama negatif terhadap peristiwa Nuri.

Babak akhirnya yang digarap tragis dengan ditangkapnya Nuri semakin memperkuat bahwa Nuri adalah bagian penting dari anggapan-anggapan tidak benar atas apa yang dilakukannya. Hak-hak kebaikannya seakan dilunturkan dan kemudian dibenturkan dengan kewajiban-kewajibannya yang lahir dari anggapan umum masyarakat bahwa dia salah dan akan selalu bersalah.

Namun apapun itu upaya kawan-kawan dalam menjaga eksistensi perempuan dalam berkarya adalah sebuah langkah besar. Sudah terlalu banyak seniman perempuan di Kalimantan selatan yang memilih “pensiun dini” setelah mereka memasuki fase selanjutnya (menikah atau bekerja). Semoga hal semacam ini tidak terjadi dengan kawan-kawan di Sanggar Anam Banua.

Pada diskusi setelah pertunjukan malam itu, saya menyampaikan sesuatu kepada Nuri, “Hanya ada dua hal yang dapat kamu percaya; pertama adalah Tuhan dan kedua adalah dirimu sendiri”. Pesan kuat yang juga aku dapatkan dari Hagia. Pesan ini menjadi upaya agar Nuri percaya bahwa kebaikan bergantung pada dirinya sendiri tanpa harus diaminkan oleh orang lain. Begitu halnya dengan keburukan.@

 

Banjarbaru, 24 Februari 2020