“Tiba-tiba kami berfoto bersama. Dan tidak tahu untuk apa,” timpalnya. Namun ketika tim redaksi tanyakan lebih lanjut, layar chat menunjukkan centang dua tanpa warna biru.

Hal demikian juga kami tanyakan kepada Gusti Setya Ariyandi alias Mika August. Kamu bisa tahu dia di sini. Pemuda lajang yang akrab dikenal sebagai muralis, pelukis, dan ilustrator ini juga tidak bisa menjelaskan. Ia hanya menggeleng, dan tetap menggambar di buku gambarnya.

Kami beralih lagi kepada bapak segala bangsa, eh segala bidang. Eh, apa ya? Pokoknya banyak sekali disiplin ilmu yang digeluti. Dipertanyakan perihal AGHH yang membuat gempar ranah kesusastraan di Indonesia, ia hanya tersenyum sembari menghisap kreteknya.

“Tenang. Yang penting kamu harus tetap tenang. Lihat apa yang tidak kamu lihat!”

Mendengar jawaban itu, tim redaksi asyikasyik tidak bertanya banyak lagi. Kami mencoba menghubungi langsung kepada ibu Hudan Nur yang tentangnya kamu bisa baca di sini. Namun sayang, tak juga dijawab. Kami mencoba mengirim pesan ke WA pribadi, Hudan mengirimkan teks panjang sekali. Berikut tim redaksi copaskan jawaban yang dimaksudkan:

AGHH… (nukilan spektrum jiwa-jiwa kembara)

Adakah yang bisa menentang matahari untuk tidak terbit esok hari? Jalan-jalan luruh di setiap gang waktu. Adalah kami, empat manusia yang mencuplik jalan-jalan yang bersilang, jalan-jalan terbuka, jalan-jalan yang lintas.

Memasuki waktu yang kian entah, kepastian diburu limbang. Hanya harapan-harapan yang kami kepalkan. Selebihnya doa-doa mengelana di simpang hari. Inilah catatan kami dalam berbagai jendela. Kami menyebutnya taman hari, catatan kecil yang ditulis dalam ragam yang bebas.

Tulisan-tulisan, sajak-sajak yang hadir adalah ruang masa di sini. Ada resap yang gigih untuk dimengerti, ada sekadar tumpang-tindih rona dan keberpihakan pada situasi.

Bukankah kita memiliki kebebasan untuk mengungkap? Biarkan nadir yang memberi paham pada manusia-manusia lain. Nama-nama kami menjadi senjang atas ungkapan yang sepertinya klise. Aghh…

Dalam geriak alir yang senantiasa mengalir, ijinkan kami menjadi air. Biarkan kami menjadi sebuah rampai tulisan-tulisan yang membebaskan:

“Sejenak, kita ramu semua benalu kepedihan yang kita anggap cenaku di setiap interval usia sebagai squad yang patut kita banggakan (karena usai kita khatamkan) tetapi perlu kita hayati bahwa setiap benalu tidak hanya menghinggapi di rumbai cenakumu tetapi, aku-kamu-dia-mereka-kami-kita, tak terkecuali.

Setiap insan merasakan dicenaku, ini bagian dari dinamika dan tak perlu kita sebut fenomena. Begitupun dengan bencana, ia datang dengan belenggu masa lalu sebab apa yang dilandainya adalah sebuah persejarahan.

Dalam artian, semua yang menimpa hanyalah refleksi yang pernah terjadi sebelumnya. Awal-akhir-awal-akhir (mengenang awal-mempertanyakan akhir), ada-tiada-ada-tiada… selalu begitu-begitu saja.”

Pernahkah kita bermimpi lebih jauh?

Aku ingin menggapai hatimu
Aku ingin dirimu lebih kuat dari siapapun
Aku ingin melepas diriku hingga kau merasakan jiwaku

Tetes hujan adalah air mataku
Angin adalah nafas dan kisahku
Ranting dan dedaunan adalah tanganku
Karena tubuhku melekat seperti akar dengan cintaku
Dalam kesumat yang lingsir,  “Selembar kertas itu sudah tidak utuh lagi. Terbagi menjadi sejumlah potongan kata. Tertinggal satu potongan yang tak jadi kulepas, yang masih tergenggam hingga kepalan tangan membatu. Aku sudah menyerahkan semuanya. Cinta yang tak terbagi, meski kamu memilih pergi. Hanya satu potongan kertas. Aku membuka genggaman, “Aku …”

Maka siapa lagi yang menata jalan yang kandas. Waktu yang memberai: “Lantas, siapa yang memerlukan hiburan demikian? Sebagian customer rutin, mereka-mereka yang telah ditimpa lelah berlebihan karena energi dan waktu terporsir demi pekerjaan.”

Salam takzim, halaman-halaman terbuka untuk diziarahi. Terimalah spektrum ruang ini dalam keterbatasan.

Banjarbaru, Agustus 2020
A A G H

Membaca balasan tersebut, kami menanyakan apakah itu puisi? Apakah akan ada launching buku? Ia langsung menelpon seorang kru di antara kami lalu berbicara dengan suara nyaring.

“Ditunggu saja. Kami akan launching, kemungkinan di perpustakaan. Tidak ada tanggal. Pokoknya segera,”

Telpon ditutup. Kami malas untuk bertanya lagi. Kepada para pembaca budiman, kami atas nama redaksi mohon untuk tetap sabar menati. Karena kita belum tahu kejutan apa yang segera diunggah di media sosial mereka. Sebab kabar terakhir yang kami himpun, mereka baru bisa mengklarifikasi lebih gamblang seusai ada bukti fisik kalau buku tersebut benar-benar telah dicetak dan siap untuk menyapa para pembaca. “Ditunggu saja,” tutup Hudan. []

Facebook Comments