KURUSETRA tak ubahnya seperti tubuh seorang gembel tua—kotor dan kadang menakutkan. Ia menebar aroma busuk sepanjang hari. Aroma yang berasal dari tumpukan mayat-mayat manusia yang menjadikan tegal itu sebagai jalan kematian menapaki dharma para kesatria. Di Kurusetra, darah tumpah tiada henti, serupa aliran Bengawan Bagiratri. Siang menjadi saksi saling tumpas sesama wangsa Barata. Malam akan menangisi kekelaman yang ditorehkan oleh siang.

Tak jauh dari Kurusetra, di tengah kegelapan yang mencekat mata malam itu, beberapa batang kayu Atiwa-tiwa—upacara kematian—jasad Guru Drona masih menyisakan api. Meskipun hanya remang-remang, pemandangan yang gelap itu bisa sedikit tertangkap oleh penglihatan manusia. Sesekali, nyala api meliuk-liuk, manakala embusan angin menerpa pesanggrahan Bulupitu. Beruntung angin hanya bertiup lembut. Membuat nyala perapian tampak tegak ke atas. Menjadikan bayangan yang ditimbulkannya lebih tenang. Ada tujuh bayang-bayang tubuh manusia di sana. Berdiri berkeliling, mengitari api Pitra Yadnya—penghormatan arwah leluhur—Guru Drona.

Tujuh bayang-bayang itu adalah tubuh Duryodana, Sangkuni, Karna, Salyapati, Aswatama, Kartamarma dan Resi Krepa. Merekalah punggawa Kurawa yang masih tersisa di hari keempat belas sejak pecahnya pertumpahan darah sesama wangsa Barata. Perang Barata Yudha.

“Pengecut!”

Umpatan itu membelah kesunyian Bulupitu. Makian dari mulut seorang lelaki yang sontak membuat enam orang lainnya bertanya, kepada siapa ia mengumpat? Sesaat pesanggrahan itu kembali hening. Menggambarkan kesedihan tujuh orang yang masih berdiri mengelilingi abu jasad Mahayogi Drona.

Pada pengujung senja tadi, ketika matahari nyaris tersungkur di kaki langit, senopati Korawa di hari ketiga belas Barata Yudha, Guru Drona, terpenggal kepalanya oleh seorang tamtama Pandawa. Drestadyumna tuntas melampiaskan dendam kematian saudara-saudaranya kepada Drona.

“Tak ada lagi yang bisa kuharapkan dari kalian!”

Duryodana melanjutkan umpatannya.

“Besarkan hatimu, Anakku.”

Salyapati mencoba meredam kemarahan menantunya.

“Kalian telah kehilangan nyali untuk memimpin sisa pasukan Korawa, hingga seorang Mahayogi seperti Drona harus turun sendiri memimpin pasukan ke Kurusetra!”

“Guru Drona sendiri yang bersikukuh maju ke medan peperangan, Anakku.”

“Pulanglah kalian semua dari perang ini. Aku tidak membutuhkan lagi barisan pengecut. Besok pagi, Duryodana yang akan maju ke Kurusetra menjadi Senopati Korawa!”

Semua yang berdiri di sekeliling api Atiwa-tiwa memerah mukanya. Umpatan Duryodana terasa membakar wajah, serupa panas api yang baru saja menyempurnakan Guru Drona menuju rumah Sang Mahasuci.

“Tidak perlu menunggu besok pagi, Rayi. Malam ini juga, aku akan menghabisi Pandawa. Tanpa sisa!”

Karna berkata lantang, sembari mengangkat sembah.

Adipati dari Awangga itu memacu kudanya meninggalkan Bulupitu. Diikuti sepasukan bala tentara Astina. Adab perang yang melarang mengangkat senjata setelah matahari tenggelam, tak lagi mereka hiraukan.

***

Kala Bendana terjaga. Entah sudah berapa lama dia tersandera dalam penantian, setelah di masa silam, Gatotkaca tak sengaja memecahkan kepalanya—ketika keponakannya itu berusaha mencegah dia mengutarakan kejujuran atas perbuatan Abimanyu, suami Siti Sundari yang menikah lagi dengan Dewi Utari. Dari atas mega-mega tempat dia menanti, Kurusetra tampak lengang. Padahal menurut Dewata yang membangunkannya, seharusnya Kurusetra dipenuhi lautan manusia yang mengangkat senjata, saling bunuh. Kosong, seperti sebuah tegal sunyi yang tak pernah terjamah makhluk apa pun.

Kala Bendana terpaku. Perang hari keberapa sekarang? Terdengar suara menjerit kesakitan, menyayat hati, entah siapa, seperti ratapan menghadapi kematian, ada denting pedang saling beradu, entah siapa yang sedang saling bacok. Namun, sekejap kemudian suara-suara itu menghilang. Kurusetra kembali lengang. Apakah perang sudah berakhir?

Akan tetapi, mendadak pemandangan itu berganti. Kurusetra berubah menjadi seorang gembel tua—kotor dan menjijikkan. Ia menebarkan aroma busuk dari tumpukan bangkai-bangkai manusia yang menjadikan tegal itu sebagai ajang saling bunuh. Tegal yang menjadi jalan kematian menapaki dharma kesatria.

“Perang hari keberapa sekarang? Apakah sudah waktunya aku menjemputnya?”

***

Keheningan di Randuwatang pecah oleh suara derap kaki kuda yang menerobos masuk pesanggrahan tempat beristirahat Pandawa.

“Musuh datang … musuh datang!” teriak penjaga pesanggrahan, disusul jerit kesakitan dari orang-orang yang mendadak jatuh bergelimpangan.

Sontak para prajurit yang sedang melepas penat setelah bertarung habis-habisan di Kurusetra, berlompatan, lalu menyambar pedang dan tombak masing-masing untuk bersiap melawan.

Tenda pesanggrahan Randuwatang tersingkap. Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa melompat dari peraduan. Kelimanya menyambar senjata masing-masing.

“Sungguh, perang di malam hari akan dikutuk oleh Dewata,” ucap Sri Batara Kresna telah berdiri di depan tenda Pandawa.

“Korawa sudah menabrak dharma dalam Barata Yudha ini,” sanggah Puntadewa sambil mengangkat sembah.

“Perbuatan melanggar dharma perang, tidak boleh dilawan dengan kejahatan serupa.”

“Lantas, apakah mereka harus dibiarkan menghabisi kita malam ini?”

Werkodara menyela penuturan Sri Batara Kresna.

“Tentu saja tidak, Adikku. Barata Yudha adalah perang antara kalian dengan Korawa. Jika malam ini musuh telah melanggar dharma perang, janganlah kalian melawannya. Itu sama saja dengan membawa diri kalian ke dalam kutukan Dewata. Biarlah kesatria di luar perang ini yang menghadapi Korawa.”

“Lalu, siapa kesatria yang harus melawan mereka?”

“Perintahkan putramu, Gatotkaca, Adikku. Dia belum pernah turun ke Kurusetra sejak perang hari pertama. Jika dia yang menghadapi Korawa malam ini, maka kalian tidak dianggap melanggar dharma perang.”

Werkodara mengangkat sembah, diikuti Pandawa lainnya. Tanda menuruti arahan Sri Batara Kresna.

***

Porak poranda pasukan Korawa oleh kelebatan bayangan yang menyambar dari langit. Gerakan bayangan itu seperti seekor burung elang yang menukik tajam, mencengkeram, lalu mematuk kepala musuh-musuhnya. Tunggang langgang mereka berlarian menyelamatkan diri.

Dari atas kereta, Karna menyaksikan kelebatan bayangan itu tanpa berkedip. “Gatotkaca?” gumamnya.

Karna masih berdiri dengan kuda-kuda yang sigap. “Hari ini Kunta Druwasa akan bertemu dengan warangka-nya, Gatotkaca!”

Suara Karna Basusena terdengar lantang. Menyadari bahwa uwak-nya bukanlah lawan tanding sembarangan, Gatotkaca segera menyelinap di antara mega-mega.

“Nyalakan obor … nyalakan obor … nyalakan obor!” perintah Karna dengan suara lantang berulang-ulang. Dalam sekejap, ratusan obor dinyalakan pasukan Korawa. Langit Kurusetra menjadi merah menyala.

Karna mendongakkan kepala. Matanya masih tidak berkedip memandang setiap celah awan hitam yang menggelayut di atas Kurusetra. Dengan indera penglihatan batin, dia mampu menangkap kelebatan seberkas cahaya yang sedang bersembunyi.

Pelan-pelan, tangan Karna mencabut anak panah Kunta Druwasa. Dia bentangkan busur lebar-lebar. Mata senjata yang dulu diperoleh dengan merebut dari tangan Batara Narada itu, kini telah menghadap ke langit. Dalam sekejap, ia melesat bagai meteor.

Lesatan Kunta Druwasa memercikkan bara api yang membakar setiap lapisan angin yang dilaluinya. Nyalanya bagai bintang berekor yang menyilaukan mata penglihatnya.

***

Perang hari keberapa sekarang?

Entah berapa ratus, atau berapa ribu nyawa lagi yang akan menjadi tumbal peperangan ini. Kurusetra semakin anyir pada setiap jengkal tanahnya. Pada kaki-kaki yang memijaknya, akan menemui genangan darah setinggi mata kaki. Mayat-mayat saling tumpang tindih, menunggu giliran diangkat prajurit yang hilir mudik membawa kereta jasad.

Kala Bendana masih tetap terpaku, hanya saja kali ini raksasa cebol itu sudah bisa melihat dengan jelas hiruk-pikuk peperangan di Kurusetra.

Ketika sedang menatap pemandangan yang memilukan hati itu, mendadak Kala Bendana melihat lesatan sebuah cahaya. Dia mengejarnya. Ketika ditangkap, ternyata cahaya itu adalah sebuah senjata berkekuatan besar. Tubuh Kala Bendana sampai terseret, lalu  menerobos gugusan mega-mega di atas Kurusetra.

“Paman Kala Bendana?”

Gatotkaca terkesiap melihat Kala Bendana terhuyung-huyung dengan dua tangan menahan benda di balik punggung.

“Iya … ini pamanmu, Anakku.”

Terbata-bata suara Kala Bendana. Begitu sayangnya dia kepada Gatotkaca, hingga ketika kematiannya tiba, dia bersumpah tidak akan menuju alam keabadian sebelum menggendong roh keponakannya itu. Dia rela menunggu Gatotkaca bertahun-tahun di alam penantian.

“Ada apa Paman menemuiku?”

“Aku menjemputmu di Kurusetra …“

Kala Bendana menangis sesenggukan. “Anakku Gatotkaca … aku tidak tega.”

“Duh, Paman. Katakan saja, apa yang sebenarnya terjadi?”

“Anakku Gatotkaca, hari ini Dewata yang membangunkan tidur penantianku memberi tahu jika Kunta Druwasa yang sedang aku tahan dengan punggung ini akan membunuhmu.”

“Jika Dewata telah menggariskan akhir hidupku seperti itu, aku siap, Paman. Aku rela mati sebagai tumbal perang saudara ini.”

“Melihatmu sakit saja aku tidak tega, Anakku. Apalagi jika kau harus mati. Aku benar-benar tidak tega.”

Kala Bendana menangis sesenggukan. Bahunya terguncang-guncang mengiringi isakan tangis yang semakin menjadi-jadi. Tanpa disadari, Kunta Druwasa terlepas dari dua tangan yang sejak tadi menahannya. Senjata yang dibidikkan Karna itu melesat dengan cepat, mengarah ke dada Gatotkaca.

“Anakku Gatotkaca!!!”

Menjerit sekeras-kerasnya Kala Bendana. Tangisnya menggetarkan gugusan awan hitam yang seketika turun menjadi hujan. Suara terompet dari cangkang kerang menggema, merayapi seisi tegal Kurusetra.@