JIKA ada film yang sebelum ditonton, saya sudah merasa gentar, maka tak lain adalah All Quiet on the Western Front (AQWF). Sejak akhir tahun 2022 silam, saya sekilas membaca tentang film Jerman yang masuk nominator Oscar dari kategori film asing terbaik ini. Ketika disebutkan bahwa ia adalah film perang tentang kondisi di dalam parit, saya langsung merasa enggan untuk menonton. Deskripsi visual di dalam parit-parit pertahanan (trench warfare) yang dibuat saat perang berlangsung sudah sering saya lihat di film bertema perang lainnya, dan saya tidak menyukainya. Maka film ini menggambarkannya dengan lebih detil, lebih emosional, dan lebih intensif.

Film ini diangkat dari novel tahun 1928 Im Westen nichts Neues (In the West Nothing New), yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul All Quiet on the Western Front karya novelis anti perang Jerman, Erich Maria Remarque yang punya cerita hidup sama dramatis dengan novel-novelnya. Saya takkan membicarakan Remarque lebih lanjut karena untuknya diperlukan pembahasan tersendiri.

AQWF tahun 2022 adalah film adaptasi ketiga dari novel Remarque ini. Film pertama dibuat tahun 1930 yang diproduksi Amerika Serikat dan kedua tahun 1979, produksi Inggris. Adaptasi ketiga ini menarik karena diproduksi dan disutradarai orang Jerman, Edward Berger dan berbahasa asli bahasa Jerman. Jerman seperti menelanjangi aib diri sendiri, barangkali itu salah satu alasan yang membuatnya menjadi film asing ke-4 dalam sejarah Academy Award yang paling banyak menjadi nominator di berbagai kategori penghargaan.

AQWF bercerita tentang Paul Bäumer, pemuda 17 tahun dan teman-temannya yang begitu bersemangat saat direkrut sebagai tentara Jerman dan ditugaskan di parit pertahanan Front Barat di wilayah musuh di Perancis bagian utara. Gambaran romantisnya akan patriotisme dan kemenangan langsung pupus di awal waktu saat salah satu temannya tewas di malam pertama ia di parit. Selanjutnya tak ada yang membahagiakan di film ini. Rangkaian kecemasan dan ketakutan para prajurit di dalam parit, peluru yang tiba-tiba berseliweran lalu membunuh mereka, lumpur, tangisan, keputusasaan, dan perasaan terjebak, semua ingin pulang tapi tak ada yang bisa pulang, itulah semua isi film.

Selama hampir dua setengah jam film ini diputar, penonton hanya akan melihat rangkaian kesengsaraan itu. Ada selipan kebahagiaan kecil saat Paul dan Kat, prajurit yang ditemuinya di dalam parit lalu menjadi teman dekatnya, mencuri unggas lalu memasaknya bersama prajurit lain saat mereka tidak sedang berada di parit. Mereka juga bertemu petani perempuan yang membuat mereka begitu gembira. Ada juga percakapan menyentuh saat Paul membacakan surat istri Kat pada Kat, tentang harapan pasca perang. Tapi itu tidak cukup, saya tetap merasa sengsara.

Film ini juga menampilkan adegan ironis saat seorang petinggi militer Jerman makan dengan begitu banyak hidangan di mejanya serta meminum anggur yang jelas mahal. Adegan yang sengaja dikontraskan untuk menunjukkan ada kesenjangan yang begitu mengerikan tentang apa yang harus dialami prajurit di dalam perang -jutaan prajurit, dengan mereka yang memerintahkan perang itu.

Puncak kesengsaraan yang masih menghantui saya hingga saat saya menulis ini adalah ekspresi ‘tanpa ekspresi’ Paul saat seluruh ribuan prajurit muram yang tak lagi punya semangat hidup karena derita di medan perang pulang kembali ke kota mereka.

Gencatan senjata antara Jerman dan Sekutu disepakati, perang sudah berakhir, seharusnya berakhir. Namun petinggi militer Jerman yang menganggap gencatan senjata adalah kelemahan, memaksa para prajurit maju kembali ke Front Barat dan menyerang pihak Sekutu. Mereka yang menolak kembali ditembak di tempat.

Saya tak mengenal aktor Felix Kammerer, pemeran Paul. Ia bahkan tak dikenal sebagai aktor film di negaranya, Austria. Ia adalah aktor teater. Film AQWf adalah debutnya sebagai aktor film. Meski demikian asing ia, namun ekspresi muram tanpa ekspresinya boleh jadi adalah wajah paling menghantui para penonton berbagai belahan dunia, lebih mengganggu secara psikologis daripada para hantu di film hantu. Itu adalah ekspresi ketika manusia tak memiliki harapan apapun, ekspresi ketika seorang manusia telah sangat lelah berurusan dengan dunia, ekpresi tak mampu lagi bahkan untuk merasa muak, marah, atau benci. Ekspresi di mana bahkan untuk bernapas saja sedemikian lelah. Ekspresi dari jiwa yang mati.

Sebelumnya Paul baru saja kehilangan Kat yang tewas ditembak anak petani tempat mereka mencoba mencuri unggas untuk kedua kalinya. Kat yang telah mampu bertahan melewati kekejaman perang hingga gencatan senjata dicapai, mati ditembak karena mencoba mencuri unggas. Sungguh ironis. Sebelumnya, Tjaden, teman Paul yang terluka karena tembakan musuh, bunuh diri. Paul, akhirnya pulang, tapi jiwanya sudah lebih dulu terbunuh dalam perang. Cerita akhirnya disempurnakan dengan kematian Paul. Ia akhirnya terbunuh di dalam parit, dengan lubang peluru di dada, dan lumpur yang menutupi wajahnya.

AQWF memenangi sejumlah kategori Oscar, di antaranya, film internasional terbaik, scoring musik terbaik, sinematografi terbaik, and desain produksi terbaik. Dapat dipahami mengapa film ini memenangkan kategori-kategori tersebut.

Menurut saya, film ini menampilkan realisasi visual yang bahkan lebih realistis daripada yang pernah ditampilkan Dunkirk atau 1917 dalam menggambarkan korban perang: mereka yang tergeletak bertumpuk dalam keadaan tewas, kondisi parit yang dipenuhi lumpur dengan mayat yang tersangkut di sela bangunan. Bagi saya pribadi, film ini juga menghadirkan pengambilan gambar yang demikian ironis, lanskap padang rumput yang indah di satu scene, tumpukan mayat di scene lainnya; kondisi penampungan prajurit yang memprihatinkan dengan bangunan mewah dan kereta mewah dengan sajian makanan milik para petinggi militer; lanskap malam yang cantik, berpadu ledakan granat dan desingan peluru. Paduannya adalah scoring film menggunakan musik yang membuat saya tambah sengsara. Subtitle film merujuk pada istilah musik sombre yang setelah saya cari tahu definisinya memang sejalan dengan lantunan musik di sepanjang film: gelap, berkabut, menghentak ala orkestra sekaligus membuat depresi. Sederhananya, keseluruhan film ini berhasil memvisualisasi dan menarasikan kemuraman dan penderitaan perang.

Selain Academy Award, AQWF juga diapresiasi maksimal di ajang BAFTA, anugerah perfilman tertinggi di Inggris. Film ini memenangi kategori film terbaik, sutradara terbaik, film adaptasi terbaik, film berbahasa asing terbaik, sinematografi terbaik, dan penata suara terbaik. Sementara di ajang penghargaan film di negaranya sendiri, Jerman yang akan digelar 12 Mei nanti, film AQWF menjadi nominator pada 12 kategori, termasuk film terbaik dan sutradara terbaik. Bukankah ini juga ironi lainnya, betapa cerita yang mengerikan, penuh dengan derita dan kesengsaraan bisa begitu artistik, begitu estetis.

Saya memberi nilai 9 untuk film ini. Saya tak begitu merekomendasikan film ini meski ia benar film yang bagus, terutama untuk mereka yang memiliki masalah psikologis. Yang jelas, menonton film ini takkan sedikitpun akan membuat Anda bergembira. Wallahu’lam.@