Saya tak mengenal aktor Felix Kammerer, pemeran Paul. Ia bahkan tak dikenal sebagai aktor film di negaranya, Austria. Ia adalah aktor teater. Film AQWf adalah debutnya sebagai aktor film. Meski demikian asing ia, namun ekspresi muram tanpa ekspresinya boleh jadi adalah wajah paling menghantui para penonton berbagai belahan dunia, lebih mengganggu secara psikologis daripada para hantu di film hantu. Itu adalah ekspresi ketika manusia tak memiliki harapan apapun, ekspresi ketika seorang manusia telah sangat lelah berurusan dengan dunia, ekpresi tak mampu lagi bahkan untuk merasa muak, marah, atau benci. Ekspresi di mana bahkan untuk bernapas saja sedemikian lelah. Ekspresi dari jiwa yang mati.

Sebelumnya Paul baru saja kehilangan Kat yang tewas ditembak anak petani tempat mereka mencoba mencuri unggas untuk kedua kalinya. Kat yang telah mampu bertahan melewati kekejaman perang hingga gencatan senjata dicapai, mati ditembak karena mencoba mencuri unggas. Sungguh ironis. Sebelumnya, Tjaden, teman Paul yang terluka karena tembakan musuh, bunuh diri. Paul, akhirnya pulang, tapi jiwanya sudah lebih dulu terbunuh dalam perang. Cerita akhirnya disempurnakan dengan kematian Paul. Ia akhirnya terbunuh di dalam parit, dengan lubang peluru di dada, dan lumpur yang menutupi wajahnya.

AQWF memenangi sejumlah kategori Oscar, di antaranya, film internasional terbaik, scoring musik terbaik, sinematografi terbaik, and desain produksi terbaik. Dapat dipahami mengapa film ini memenangkan kategori-kategori tersebut.

Menurut saya, film ini menampilkan realisasi visual yang bahkan lebih realistis daripada yang pernah ditampilkan Dunkirk atau 1917 dalam menggambarkan korban perang: mereka yang tergeletak bertumpuk dalam keadaan tewas, kondisi parit yang dipenuhi lumpur dengan mayat yang tersangkut di sela bangunan. Bagi saya pribadi, film ini juga menghadirkan pengambilan gambar yang demikian ironis, lanskap padang rumput yang indah di satu scene, tumpukan mayat di scene lainnya; kondisi penampungan prajurit yang memprihatinkan dengan bangunan mewah dan kereta mewah dengan sajian makanan milik para petinggi militer; lanskap malam yang cantik, berpadu ledakan granat dan desingan peluru. Paduannya adalah scoring film menggunakan musik yang membuat saya tambah sengsara. Subtitle film merujuk pada istilah musik sombre yang setelah saya cari tahu definisinya memang sejalan dengan lantunan musik di sepanjang film: gelap, berkabut, menghentak ala orkestra sekaligus membuat depresi. Sederhananya, keseluruhan film ini berhasil memvisualisasi dan menarasikan kemuraman dan penderitaan perang.

Selain Academy Award, AQWF juga diapresiasi maksimal di ajang BAFTA, anugerah perfilman tertinggi di Inggris. Film ini memenangi kategori film terbaik, sutradara terbaik, film adaptasi terbaik, film berbahasa asing terbaik, sinematografi terbaik, dan penata suara terbaik. Sementara di ajang penghargaan film di negaranya sendiri, Jerman yang akan digelar 12 Mei nanti, film AQWF menjadi nominator pada 12 kategori, termasuk film terbaik dan sutradara terbaik. Bukankah ini juga ironi lainnya, betapa cerita yang mengerikan, penuh dengan derita dan kesengsaraan bisa begitu artistik, begitu estetis.

Saya memberi nilai 9 untuk film ini. Saya tak begitu merekomendasikan film ini meski ia benar film yang bagus, terutama untuk mereka yang memiliki masalah psikologis. Yang jelas, menonton film ini takkan sedikitpun akan membuat Anda bergembira. Wallahu’lam.@

Facebook Comments