Mengcover sebuah event terlebih berskala Nasional tidak semudah itu, Ferguso. Tetek bengek dari urusan sumber daya manusia hingga kabel-mengabel yang gulungannya bermeter-meter sudah menjadi pemandangan setiap kerja. Dan Ananda Rizky Pratama berkecimpung dalam lingkaran ini.
Sekitaran 2005-2006 saya bertemu dengan Ananda Rizky Pratama yang ketika itu duduk pada Drum Set, dalam sebuah GOR di Kota Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, gelaran Festival Band yang digelar oleh Yamaha. Bersama 4 orang rekannya Aril, Dedy, dan seorang gitaris (saya lupa namanya). Yang saya ingat betul, nama grupnya Goro Band. Mendengarnya, tergambarkan satu karakter villain dalam game Mortal Kombat. Manusia berotot bertangan empat itu lho, gaes! Telisik punya telisik, Goro ternyata akronim dari Gotong Royong, satu titik dari peta di wilayah di Banjarbaru.
Tahun-tahun berlalu, saya yang ketika itu masih iseng main musik dan bikin band, kembali ke Martapura, sebut saja sekolah lagi. Jadi, dari jaman sekolah itu masih saja suka curi-curi waktu buat bergaul keluar kota, ke Banjarmasin, ke Banjarbaru juga. Bikin band lagi, bubar lagi, bikin lagi. Bikin band ala-ala jepang-jepangan lalu kami menyewa sebuah studio namanya Inbox. Dan Nanda (begitu ia akrab disapa) ada di sana. Sebagai ownernya.
Moment itu berlalu lagi sekian tahun, mengiringi tumbuh kembang masing-masing para personilnya. Sembari saya merintis karier pada ranah jurnalistik, Nanda membangun berbagai bidang usaha dari warnet, jual beli spare-part tamiya, jualan burger dengan gerobak, dan juga sempat jadi crew yang namanya “GarisMerah” sampai membangun badan usaha bidang Event Organizer yang sekarang tidak bisa dikatakan biasa-biasa saja. Sembilan Organizer.
Akhir tahun kemarin, saya bertemu lagi dalam beberapa misi untuk perkembangan industri kreatif di kota ini. Niat untuk menuliskan ini lama sekali, tapi terasa berat mempublikasi ketika Nanda bilang. “Aku gak suka publikasi, Nda!”
Ya tentu saja, tidak semua orang senang publikasi dan menjadi sorotan. But, saya nyatakan kepadanya bahwa keinginan ini bukan untuk memuji-muji atau menyatakan yang tidak ia senangi, tetapi, jika ini bisa dibagi siapa tahu bisa menjadi pencerahan, bagi mereka yang baru memulai usaha (apa pun bidangnya) tampak mulai patah, menyerah, dan terpuruk dalam rintisan, misalnya.
Beberapa bulan setelah pertemuan itu, Yulita Intan Sari (Mama Lita) berkompetisi di Master Chef Indonesia. Singkatnya ia berhasil Top 4 MCI Indonesia. Followers naik, dan publikasi gencar-gencaran dilakukan media lokal bahkan Nasional. Sebagai –suami yang baik—, bapak yang bijaksana bagi anak-anaknya, pimpinan rumah tangga, Nanda juga terkekspose dong, dan dipanggil sebagai papa online di dunia maya. Saya pikir, ini momentnya.
Awal Mula “Bewarnetan dan Studio Musik”
Nanda tak memulainya dari ruang besar. Tapi dari hal yang paling sederhana. Jualan voucher elektrik dan gesek. Merambat ke rental Pe-es. Sembari berjalan Nanda juga membuka usaha warnet pertamanya di umur 20 tahun. Saya pikir, mindset pengusaha memang mesti ditanam sejak dini, dari benih hingga tumbuh. Nanda, seperti jeli membaca peluang apa yang sedang ramai, apa yang sedang tren, apa yang sedang musiman, dan apa yang bisa terfungsikan sepanjang masa.
Sekitaran 2008, Nanda merambah usaha yang lain lagi sembari bermain. Bermain tamiya sekaligus menjadi suplai barang sparepartnya untuk diperjual-belikan. Sampai-sampai bosan jadi juara setiap berkompetisi.
Tahun berikutnya, Nanda menikah dengan Lita. Ia memulai lagi dengan membuka usaha studio musik. Selain sebagai penyaluran skill musik yang ia punya, ini juga menjadi solusi lingkaran pertemanan yang tahun-tahun itu maruk sekali festival dan parade panggung musik di Kalsel.
“Membangun studio musik memang gak langsung jadi komplit. Tapi satu per satu beli alat. Snare drum dulu, kemudian gitarnya, soundnya, bassnya. Dikumpulkan sampai cukup untuk standar studio musik. Membeli alat-alat itu uangnya dari hadiah juara festivalan. Dan usaha itu jalan,” katanya.
Memang bukan tanpa kendala, menjamurnya studio band yang tersebar di Banjarbaru tak hanya sebagai kompetitor, tetapi juga indikator para musisi-musisinya. Layaknya “cacap-igut”, ketika bosan dengan suasana atau kualitas alat dari studio yang satu, mereka suka-suka pindah karena fasilitas sudah berlimpah. Dengan harga yang bersaing malah.
Sembari para musisi indie melatih skillnya di lantai 2 di ruko yang sama, para gamers sedang bertanding di game centernya Nanda di lantai dasar. Dengan nama yang sama, Inbox.
“Di situlah dana saling putar memutar antara bayar sewa ruko, pemeliharaan alat, operasional dan lain-lainnya melatih kita untuk betul-betul mengatur keuangan. Melek financial,” ungkapnya.
Pun demikian studio musik tak berjalan mulus. Secara kegiatan dies natalis, perpisahan sekolahan, seiring bertumbuhnya teknologi informasi, parade band sudah jarang sekali. But, melihat dari gelagatnya, tampak Nanda akan “membulikinya”. Seperti membuka kembali studio band. Kita lihat saja nanti momentumnya.
Warnet yang ia bangun masih beroperasi meski tak seramai di awal kemunculan. 2 tahun sesudah usaha itu dimulai, Nanda membuka cabang. Belajar sendiri merakit maindboard dan para sepupu-sepupunya seperti VGA, Cardride, blablabla, mulai membayar teman yang ahli, belajar sendiri, membeli alat-alatnya sendiri, trial and error beberapa kali, hingga menjadi PC selayaknya. Seutuhnya. Lantas, dari total 40 unit PC sebagai aset usahanya, mungkin sekarang tinggal 20 an saja yang normal.
Membangun Kantor Sendiri Mulai Pondasi
Nanda mengakuisisi sebuah lahan di wilayah Sumber Adi. Kantor yang lama tutup dan pindah ke kantor baru pada 2016. Seiring dengan skill, pengalaman, dan kemampuan yang ia miliki, Nanda membangun sebuah usaha di bidang jasa Event Organizer (EO) dengan nama Sembilan Organizer. Yang zigotnya, sudah lama sekali bercokol dalam kepala. Bahkan belum ada Sembilan Organizer, Nanda sudah kasih plang nama 9 Organizer di depan tokonya dulu. Meski belum ada timnya. Dari sini saya belajar, betapa hidup dengan tujuan begitu berharga. Dan kelak terwujud dengan ikhtiar, doa, dan menikmati proses tentu saja.
Hingga kini, 9 Organizer memunyai portofolio kegiatan yang panjang sekali. Bahkan skala kementrian, dan terjadwal pasti dalam deadline kegiatan. “Yang paling banyak itu kita support juga untuk pelaksanaan event-event yang ada, baik itu lingkup Pemko, Pemkab, Pemprov, dan beberapa event hiburan yang seringkali menjadi agenda tahunan di beberapa daerah di Kalimantan,” ungkapnya.
Yang saya ketahui, setelah tulisan ini tayang, ia baru balik dari Samarinda usai mengkoordinasikan panggung musik Soundrenaline di sana.
Nanda yang juga aktf dalam keanggotaan HIPMI menginginkan, kelak segala industri baik itu pelaksanaan event, kreatif, dan badan usaha lainnya yang ada di daerah tak lagi ketergantungan dengan pihak luar. Alias, memberdayakan SDM-SDM lokal yang telah mumpuni di bidangnya masing-masing. Hingga kini, 9 Organizer memunyai lebih dari 14 tim yang solid dengan keahlian di bidangnya masing-masing. Kita harapkan, ranah per”event”an di Kalsel semakin marak, dan berkembang. Semangat, kuy!