Judul: Kirab (Kumpulan Puisi)
Penulis: Bambang Widiatmoko
Penerbit: Interlude, Yogyakarta
Tahun: Cetakan pertama, Agustus 2021
Halaman: X+70
Isbn: 978-623-6470-02-2
SUDAH menjadi (salah satu) naluri manusia, yakni ingin “mengabadikan” sesuatu peristiwa yang pernah dialaminya. Meski tak semua peristiwa yang dialaminya akan di”abadikan”. Biasanya yang diabadikan merupakan pengalaman yang dianggap istimewa. Sebutlah umpamanya ketika melakukan perjalanan wisata. Di tempat rekreasi itulah biasanya orang akan mengabadikannya. Hanya saja, pada umumnya, mengabadikan dengan gambar (baca: foto).
Meskipun demikian, tidak semua ‘peristiwa’ di tempat rekreasi akan di’abadikan’ dalam gambar (baca: difoto). Sebab mengabadikan dalam bentuk gambar bukan hanya perlu biaya (yang cukup mahal). Melainkan pula hasil jepretannya belum tentu sesuai yang diharapkan. Sehingga terkadang dianggap perbuatan mubazir. Buang-buang biaya. Tapi, itu dulu. Ketika pengambilan gambar masih menggunakan kamera yang harus diisi dengan klise (film). Ketika belum ada hape yang dilengkapi dengan kamera.
Kini, setelah banyak orang punya hape yang dilengkapi kamera. Maka jika seseorang melakukan perjalanan wisata tidak akan segan untuk main jeprat-jepret. Toh, jika terjadi kegagalan tidak perlu beli klise lagi. Cukup di-delete. Ini artinya tidak ada “cost’ tambahan yang harus dikeluarkan. Karena itu, tidak mengherankan, jika sekarang ini, sekedar bersilaturahmi ke rumah teman pun berusaha untuk diabadikan melalui kamera hape.
Apalagi kenangan itu bisa disimpan dalam computer atau laptop. Bahkan bisa pula ia dititipkan di internet. Di simpan di Instagram atau facebook, misalnya. Dengan demikian “catatan” perjalanan hidup seseorang akan bisa dilihat kembali setiap saat jika merindukannya.
***
Penyair juga manusia yang juga punya berbagai naluri insani. Tak terkecuali naluri ingin mengabadikan “peristiwa” yang dialaminya. Hanya saja, jika pada umumnya orang mengabadikan peristiwa yang dialaminya dengan gambar (baca: kamera) lalu disimpannya dalam album foto. Jika sekarang akan menyimpannya di hape, laptop, computer, flash dish, bahkan di media sosial. Sehingga setiap kali jika rindu dengan pengalaman yang pernah dialaminya akan membukanya – album foto, komputer atau laptopnya.
Karena mempunyai ‘kelebihan’ dalam meracik kata. Seorang penyair tak merasa cukup mengabadikan peristiwa itu dengan hanya mengandalkan gambar (baca: foto). Melainkan akan melakukannya dengan menuliskan dalam bentuk puisi.
Adalah Bambang Widiatmoko, penyair kelahiran Yogyakarta yang juga seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta, yang mendokumentasikan perjalanan kirabnya di berbagai kota. Dan, setiap tempat yang disinggahinya jika ada peristiwa yang dianggapnya momen berharga yang patut didokumentasikan – ia akan mencatatnya dalam sebuah puisi. Meski mungkin bagi kebanyakan orang sesuatu yang tidak istimewa. Minum kopi di suatu tempat, misalnya.
Atau bisa jadi, bagi sang penyair, karena mimum kopi di suatu tempat dianggap istimewa. Bukan hanya istimewa karena di tempat itu punya kesan yang mendalam. Rasanya yang khas dan tidak ada di tempat lain, misalnya. Bisa pula lantaran yang menemani ngopi bukan ‘orang biasa’.
Simaklah puisi berikut ini:
Sebuah Lorong sempit menuju kedai kopi Tak Kie/ seperti melemparkan diriku ke ingatan masa lalu/ sejarah kelam perjuangan hingga reformasi yang membakar/ kedai kopi Tak Kie tetap bertahan di Kawasan Petak Sembilan/ sebab dari namanya terkandung arti orang yang bijaksana
Aku duduk di kursi dan meja tua, tembok kusam penuh foto kenangan/ hitam putih warnanya, mereka jejak perjuangan warga tionghoa/ memesan kopi pahit robusta, sambil memandang Lorong yang panjang/ bergelantungan daging babi, buah-buahan dan kalender berwarna merah/ mereguk kopi robusta, seolah tersesap pahitnya kehidupan jika terlena.
Kopi Tak Kie, Petak Sembilan – Bersama Adri Darmadji Woko. Halaman 23.
Bahkan sekedar melakukan perbincangan dengan seseorang – jika dianggap memberikan kesan yang mendalam akan dicatat Bambang Widiatmoko. Seperti bait-bait sajak di bawah ini:
…
Pada akhirnya kita akan menjalani takdir seperti sebatang rokok/ setelah menikmati asapnya yang kadang membuat kita tersedak/ usia yang dijejalkan seperti pada tembakau rokok lintingan/ atau diputar dengan kecepatan yang konstan di dalam mesin/ kemudian dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam bungkusnya/ aku selalu mengingat pesanmu jika berkunjung ke brak pabrik: / “meski penyair kita tetap wajib sembahyang.”
Percakapan Kecil 2 bagi (alm) Jumari HS. Halaman 46
Puisi di atas menarik. Yakni pada bait terakhir “meski penyair kita tetap wajib sembahyang”. Barangkali, penyair Bambang Widiatmoko ingin menyampaikan moral message pentingya kewajiban lima waktu ini. jika tidak, maka bisa digolongkan dalam penyair yang disebutkan dalam surat Asy Syuara ayat 224 “wasy syuaraa u yattabiuhumul ghowuun” – penyair-penyair yang diikuti orang yang sesat.