Lantas, calon tunggal itu layaknya disebut apa kalau bukan Pemilu? Mungkin cukup setingkat jajak pendapat saja, sekedar menguji pendapat publik apakah setuju atau tidak. Hasilnya tidak harus 50% + 1 suara. Cukup 20% atau 30% saja yang tidak setuju, maka calon tunggal ditolak untuk ditetapkan. Dengan demikian, tidak ada ruang bagi calon tunggal memaksa semua orang memilih dirinya, agar Pemilu tidak menyalahi logika pemilihan.
Banyaknya calon tunggal dalam Pilkada, harus menjadi bahan koreksi untuk memperbaiki sistem Pemilu itu sendiri.
Dimulai dari syarat pencalonan yang harus dibatasi, tidak boleh ada ruang keserakahan dan arogansi untuk memborong semua dukungan, sehingga tidak memberi tempat serta peluang bagi calon lainnya.
Pun bagi partai politik, harus terdepan memperbaiki sistem yang buruk dan arogan ini. Bersamaan itu berusaha memberi banyak alternatif kepada warga pemilih tentang calon pemimpin berkualitas. Memberi tempat dan kesempatan seluasnya bagi semua yang mampu menjadi pemimpin, agar semua warga dapat memilih, sebab yang tersaji tidak tunggal, namun banyak dan beragam.@