“YAH, kenapa di tempat kita sekarang banyak orang Cina dan Korea?” sarapan pagi itu diwarnai pertanyaan macam ini. Yang bertanya adalah Chiba, anakku yang sekarang duduk di kelas 4 SD.

“O ya. Kata siapa?” sahutku.

“Kata ustadzah.”

“Kalau Cina, ‘kan sekarang ada perusahaan semen di daerah Utara, sedangkan Korea, sekarang ‘kan ada proyek Pembangkit Listrik di tempat kita. Tidak semua yang disebutkan ustadz atau ustadzah itu otomatis betul atau salah. Makanya, ayah nyuruh kamu sering baca, supaya wawasan luas. Kalau kamu banyak baca, kelak kamu akan tahu bahwa dalam pernyataan orang ada tersembunyi ideologi. ” Haduh, masa’ materi macam ini diberikan ke anak SD. Aku ini berpikir diriku betul-betul wakwaw saat bilang begitu.

Sebagai orang yang pernah mencicipi filsafat, aku sering menertibkan tertib berpikir anakku. Pertanyaan yang salah, akan membawa pada jawaban yang salah. Jawaban disesuaikan dengan pertanyaan. Karena Chiba sering kali asbun (asal bunyi), maka kata-katanya yang asbun itu kutertibkan. Sebenarnya, tidak jarang aku mengerti arah pertanyaan yang diajukan Chiba, tetapi karena rumusan pertanyaannya keliru, maka jawabanku menyesuaikan dengan rumusan pertanyaan yang dibikinnya. Dia mesti mutar otak lagi, merumuskan pertanyaan sesuai dengan konteks yang dia ingin tahu.

Loh, kenapa sih tidak jawab aja sesuai dengan konteks pertanyaan yang dia ajukan? Mauku sendiri ya begitu, tapi, nanti dia bakalan manja. Dia bakal malas mempertanyakan pertanyaannya sendiri. Kenapa? Karena dia pikir, orang mengerti apa yang dia tanyakan, padahal belum tentu ‘kan.

                Lagian, ini kayanya gara-gara istriku. Misal, Chiba bertanya padanya pertanyaan yang nyaman macam ini: “Ma, Tuhan tu di mana?”

Istriku dengan naluri politik tingkat tinggi yang mengalahkan level Fahri Hamzah dan Fadli Zon, menyahut, “Nanti tanyakan sama ayah.” Entah, apakah ada senyum simpul di sudut bibir istriku saat ngeles macam itu. Istriku malas jawab kalau Chiba nanya soal begituan. Soalnya pasti pertanyaan itu akan beranak-pinak. Nah, sebagai suami merangkap bapak kalau ketemu kejadian koyo ngene, siapa yang tidak kezel coba.

“Kamu ini sering asbun ya Ba?”

“Asbun itu apa Yah?”

“Asal bunyi! Asal bapandir atau ngomong, gak dipikir apa yang diucapkan.”

Kalau sudah begini, Chiba hanya manggut-manggut sedap (varian ngeri-ngeri sedap).

Untuk menanggulangi tingkah asbun-nya, satu waktu aku teringat dengan salah satu nash penting dalam Matan Ajurumiyyah, salah satu kitab Nahwu atawa Gramatikal Bahasa Arab. Al-Kalam huwa al-lafz al-murakkab mufiid bi al-wad’, which is bermakna Kata adalah ucapan tersusun yang memiliki makna—sebenarnya mesti dilanjutkan: dalam bahasa Arab. Tapi cukup kuterjemahkan sebagai ucapan tersusun yang punya makna. Kalau asbun, ya berarti tidak bermakna, dan bunyi itu jelas bukan kata-kata, tetapi hanya sebagai suara. Entah, apakah Chiba paham.

“Yah, ulun (saya) tahu, bentuk Allah itu gimana,” ujarnya satu hari yang lain.

Terpukau dan terpana aku. Aku berpikir, anakku ini baru dapat mukasyafah kalau dalam peristilahan tasawuf. Mukasyafah adalah salah satu tahapan dalam dunia tasawuf. Ia merujuk pada kondisi pengilhaman pengetahuan yang sifatnya langsung dari dunia batin. Dalam hati aku bersyukur, luar biasa, kecil-kecil begini dia sudah dapat mukasyafah.

“Oya? Gimana??” timpalku.

“Bentuknya bulat dan ada tulisan A-L-L-A-H begitu!” ujarnya sambil menuliskan lafz ilahi itu dalam aksara Arab di udara. Wajahnya serius dan tidak sedang bercanda. Aku yakin kalau di depanku ada Jarjit, salah satu tokoh di kartun Upin-Ipin, maka dengan segera dia akan melompat-lompat berseru, “marvelous… marvelous!” Sungguh, aku mau ngakak rolling-rolling, tapi gak sopan sama anak ‘kan. Biar pun refleksinya “sesederhana” itu, tetaplah harus dihormati.

“Yah, orang kaya itu nggak baik ya?” takun Chiba di lain waktu.

“Kenapa?”

“Di film-film itu, orang kaya diazab Allah,” tukasnya. Rupanya ini hasil dia sering memelototi sinetron-sinetron religi perazaban Indonesia nan gemah ripah loh jinawi.

Alahai, aku berpikir. Sinetron-sinetron sekarang ini jangan-jangan memuja kaum miskin atawa proletar. Orang kaya dibenci. Buktinya di penghujung hidupnya si orang kaya kena azab. Orang miskin justru disanjung. Kalau ini betul, maka apakah bangsa kita sekarang sudah menjadi aseng tanpa sadar, menganut paham komunis-kafir-laknatullah.

“Orang miskin ada gak diazab juga?” ujarku ingin tahu seberapa mendalam resepsinya terhadap sinetron-sinetron yang bergenre perazaban masa kiwari ini.

“Ada juga, tapi jarang,” sahut Chiba. Hei, rupanya ada juga azab untuk orang misqin. Tapi, azabnya lebih banyak untuk orang kaya kalau disimpulkan dari amatan anakku.

Mengapa orang kaya digambarkan lebih banyak kena azab daripada orang misqin? Mungkin kita harus berbaik sangka, bahwa sang sutradara punya empati pada orang miskin. Tapi, jangan-jangan sutradaranya ngiri sama orang kaya, bisa juga khan? Karena ngiri, jadinya bikin aja banyak-banyak orang kaya kena azab. Puas kan. Ini katarsis.

Hei, ini sama aja nganggap profesi sutradara itu orang proletar. Oh iya ya. Suwun Oom. Kalau begitu, berarti produsernya dong yang mengutuki kekayaannya sendiri. Produser ‘kan pasti orang kaya. Atau jangan-jangan ini ada semacam kampanye terselubung, hati-hatilah bila jadi orang kaya, anda akan jadi sasaran azab. Jadi, lebih baik miskin saja selamanya, dan terhindar dari azab saat mati kelak, entah disambar petir, dirubuti belatung, dikerumuni kecoa dlsb.

Memang, orang miskin itu ‘kan lahan jualan orang kaya. Dari bedah rumah, pamer kemewahan selebritis, begitu pun teriakan para politisi yang menjual memperjuangkan rakyat en umat juga, semua bermuara pada eksistensi wong kere.

Arkian, asbun anak memang penting, enak dan perlu karena memaksa kita untuk berpikir dan merenung. Tapi, jangan asbun terus juga lah. Asbun, cape deh.@

Artikel sebelumnyaRUBELLA “ORANG KETIGA” BERBAHAYA BAGI PENGANTIN BARU
Artikel berikutnyaPUISI-PUISI RA
Riza Bahtiar
Pria dengan wajah ruwet ini lahir di Tanjung, Tabalong, Kalimantan Selatan pada 27 Oktober 1977. Pernah kuliah di Institut Agama Islam Negeri Antasari Banjarmasin Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah dan Filsafat. Belum sempat lulus, keburu bosan, lantas pindah ke Jakarta. Berhasil lulus kuliah di IAIN Jakarta yang berubah jadi UIN ini pada 2002. Pernah aktif sebagai aktivis prodem dan coordinator Forum Study MaKAR (Manba’ul Afkar) Ciputat, aktivis di Desantara Institute for Cultural Studies, voluntir peneliti di Interseksi Foundation. Karena tidak betah menjomblo di Jakarta, pulang kampung pada 2006 sampai sekarang. Pada 2008 sempat menerbitkan Iloen Tabalong, satu-satunya media berbahasa Banjar se-Kalimantan dan gratis. Wahini sehari-hari bekerja di PLTU Tabalong. Hobi baca buku, diskusi, wiridan dan Tai Chi.