Bab 1
Malam memang belum lagi setengahnya. Hawa yang mengerutkan kulit terasa sudah menyelimut. Fulah terkejut. Entah apa maksudnya setelah mendengar kisahku yang telah lewat, sepuluh tahun silam kukira. Sekonyong-konyong Fulah ternganga, bengong, terburu-buru mengambil alat perekam dan buku catatan. Lalu memesan dua buah kopi kepada pelayan. Waktu sudah hampir tengah malam.
Akan kuceritakan kepada kalian seorang sahabatku ini. Dia berada di hadapanku sekarang. Namanya Nisfullah, aku lebih sering menyapanya dengan sebutan Fulah. Seorang santri yang telah menjadi jurnalis di salah satu koran Nasional. Seorang jenius yang memunyai pemikiran cerdas nan menawan. Pemuda yang hobi sekali berdebat pendapat, bahkan masalah keagamaan yang sudah jelas titik akhir pengembaliannya.
Mungkin karena buku-buku yang selalu dia tanpa pandang bulu. Aku paham betul kelakuannya. Karena kami dulu, tinggal dalam satu rumah sewaktu sama-sama menuntut ilmu di madrasah. Dia melahap semua buku apa pun jenisnya. Tentang sejarah, penghambaan, ketuhanan, sampai kaum yang tak bertuhan. Soal berdebat, dia memang pakarnya. Cukup mumpuni sebagai anak muda berstatus mahasiswa pascasarjana Psikologi di Jakarta. Fulah telah menyelesaikan studi S1 Fakultas Kimia di Banjarbaru. Dan, dia akan selalu tertawa di akhir perbincangan.
Sedangkan aku, kau tahu, aku hanyalah seorang pedagang buah di Pasar Batuah yang sempat kuliah di Fakultas Tarbiyah. Entah apakah setelah ini aku akan melanjutkan kuliah? Semua tergantung kehendakNya.
Setelah berpisah, sekian lama, bertahun-tahun rasanya, Tuhan mempertemukan kami berdua malam ini. Aku yakin sekali Tuhan mempertemukan seseorang dengan seseorang lainnya bukan tanpa sebab. Selalau ada alasan, selalu ada petunjuk, selalu ada kebaikan di baliknya, selalu ada hikmah yang dipetik, dan selalu ada rahasia pada setiap pertemuan. Di sebuah warung kopi tepatnya. Di pusat keramaian kota. Malam yang kukira akan menjadi malam bersejarah baginya. Tentu untukku juga. Karena kuyakin kami bernostalgia.
“Untuk apa ini?” Aku bertanya ketika Fulah menyodorkan sejumlah peralatan kerjanya.
“Santai saja. Aku ingin mengingatnya, Val. Di bagian-bagian yang… mungkin saja aku bisa melogikakannya. Atau suatu waktu aku bisa menulisnya untuk dijadikan sebuah cerita!” Fulah beralasan.
Aku mengangkat kedua bahu antara mengizinkan dan keheranan. Ia memasang mimik wajah serius. Santai tapi pasti seperti kebanyakan para pemikir yang tampil di acara televisi. Aku menyeruput kopi yang baru saja tiba di hadapan. Menyalakan sebatang lintingan tembakau. Memandang ke langit malam, melihat orang-orang di sekelilingku yang juga bertingkah sama seperti asyik berbincang-bincang dengan kelompoknya masing-masing di tiap meja. Dan di meja berbentuk bundar bercat putih ini, hanya kami berdua yang setia memesan beberapa cangkir kopi, Aku dan Fulah.
“Kau yakin penglihatanmu itu benar?” tanggapnya berjeda.
“Kau ingat, dulu sewaktu di pesantren, Guru Muhammad pernah menjelaskan kalau manusia bisa mencapai tingkat spritualnya sendiri. Tingkat kesadaran tertinggi. Hal semacam itu berlaku ketika seorang meditator mengosongkan diri. Bahkan dia bisa meraih indra ke enam dengan meditasi. Kau ingat itu, Val?” ucapnya sekali lagi. Aku menduga, Fulah hanya ingin berdebat perihal tersebut denganku. Aku sebenarnya tidak terlalu menyukai perdebatan-perdebatan yang dibawanya.
Suasana malam yang dingin membuat kami selalu memesan kopi panas berkali-kali. Cangkir yang disediakan pengelola kios ini begitu mini. Sedari awal, Fulah tak henti-hentinya menceritakan perihal masa lalunya yang katanya, begitu lurus, mulus, tanpa hambatan. Sampai meraih beasiswa, lulus menjadi sarjana, lantas melanjutkan S2. Proses yang tanpa terkendala itu dianggapnya sebagai momok batin, pengalaman hidup yang sama sekali tidak menarik.
“Kalau hidup ini lurus-lurus saja, apa yang mau diceritakan, Val, ya, kan?” tanyanya meminta persetujuan. Anehnya, cita-citanya untuk menjadi seorang penulis novel seperti kandas. Sekarang, dia disibukkan dengan kehidupan sebagai kepala rumah tangga sembari menulis jurnal bersama istrinya yang juga seprofesi dengannya, seorang jurnalis di satu majalah lokal.
Dulu, sewaktu di pesantren, Fulah sangat terpengaruh buku-buku bacaan yang jauh dari kaidah agama, -kitab-kitab kuning yang jelas menjadi kurikulum di pesantren-. Kukira, jelas teramat jauh dari pelajaran-pelajaran yang sudah semestinya seorang santri hapalkan.
Buku bacaan yang aku maksudkan itu semisal novel-novel barat terjemahan, stimulus ilmiah, fisika metafisis, astronomi, hypnosis, micro eksperesi, partikel tuhan, konspirasi beragama, teori politisis ketuhanan, sampai-sampai bertekad menulis buku-buku tentang keimanan dalam otaknya yang gila dengan sains. Katanya juga, ia ingin sekali menulis cerita religi bercampur sains berdasarkan sudut pandanganya sendiri. Tapi malu-malu ia mengakui itu, baru saja malam ini ia mengatakan. Itu juga setelah beberapa kali diremehkan oleh orang-orang di lingkaran komunitasnya.
“Lalu, bagaimana keadaan keluargamu sekarang setelah kau kuliah?” tanyanya.