Saya tak pernah bisa menyukai badut bahkan sejak kecil. Dalam imajinasi masa kecil saya, badut adalah sosok dengan senyum yang membuat ketakutan. Sementara badut yang saya kenal di masa dewasa adalah cerita sedih tentang seseorang yang harus terkurung dalam pakaian yang begitu menyiksa karena di luar kapasitasnya, dan berpura-pura bahagia.

Tapi, biar bagaimanapun, sebagian besar anak-anak menyukai badut, sebagian orang dewasa juga. Mereka menyukai keberadaannya. Seperti boneka besar hangat yang senantiasa menceriakan suasana. Kadang, selama tidak mencoba membayangkan orang di dalam badut boneka itu, saya juga bisa turut larut dalam suasana keceriaan itu. Kadang.

Kesan hangat dan ceria itu masih melekat selama beberapa waktu pada badut boneka itu, sampai akhirnya mereka mulai muncul di jalan-jalan, membawa wadah menampung uang dan membunyikan musik remix dangdut entah apa. Jumlah mereka pun makin bertambah banyak, dan celakanya sebagian besar dari mereka adalah anak-anak.

Sampai di sini, saya tak lagi bisa melihat apapun dari fenomena badut boneka ini selain tragedi kemanusiaan. Saya benci perasaan yang menggayut setiap kali saya melihat mereka di pinggir jalan, di perempatan lampu merah, atau bahkan di jalan-jalan kecil gang atau kompleks. Setiap kali melihat mereka, perasaan saya bercampur antara kasihan, muak, sedih, dan marah. Ini adalah jenis perasaan yang sangat mengganggu secara psikologis. Bayangkan ketika perasaan seperti ini muncul beberapa kali dalam sehari, dan itu suatu keniscayaan karena pemandangan badut boneka itu menjadi lazim hari ini, paling tidak di kota Banjarmasin.

Kasihan? Tentu saja kita kasihan. Meski dibalut kostum boneka dari berbagai karakter kartun terkenal, tak lain mereka juga peminta-minta. Mereka secara tersurat menyodorkan wadah untuk diisi uang. Kita akan terenyuh, bahkan mungkin terluka dengan pemandangan semacam itu. pemandangan menyedihkan ketika mereka harus berjalan kaki dalam kostum semenggerahkan itu, terlebih di hari kerontang membara. Mereka mungkin mengalami dehidrasi. Barangkali mereka sakit kepala bahkan merasa akan pingsan.

Dengan dominasi rasa kasihan semacam itu, saya tak bisa lagi menganggap mereka menghibur bagi anak-anak. Musik yang mereka mainkan bukan musik anak-anak. Sebagian besar musik remix yang memusingkan untuk didengar. Jelas bukan konsumsi anak-anak. Tak jarang mereka melepas kostum di kepala mereka, sehingga kita akan lebih syok lagi melihat wajah-wajah manusia dengan tubuh badut. Wajah-wajah yang tidak bahagia. Buyarnya kesan hangat lucu menghibur itu semakin jelas ketika kaleng untuk meminta uang  mereka sodorkan. Pada akhirnya itulah tujuan utamanya.

Facebook Comments