Oleh: Yusva Zulaeha & Patricia Lenda Lino (Mahasiswa Pendidikan SendratasiK FKIP ULM)
PADA Minggu 8 Maret 2020 Pukul 20.00 WITA yang lalu, bertempat di Gedung Balairung Sari Taman Budaya Kalimantan Selatan, digelar sebuah pertunjukan teater dengan judul “Balada Bawah Jembatan: Rabin”. Disutradarai oleh Bayu Bestari Setiawan, pementasan ini adalah adaptasi dari naskah monolog “Si Rabin” karya Saini KM. Pementasan malam itu adalah salah satu program program “Smart Room” dari Human and Inspiring (HAI), yang diproduksi secara kolaboratif antara pihak Ruang Aktor Project dan Dapur Teater Kalsel.
Pada awalnya, para penonton, apresiator, kritikus, ataupun seniman yang datang diarahkan untuk registrasi di tempat yang sudah disediakan. Yaitu di samping kanan pintu masuk, dan diberikan sebuah kertas berisi lirik lagu yang akan dinyanyiakan dalam pementasan tersebut. Sesudah itu, penonton langsung diarahkan memasuki Gedung Balairung Sari, duduk di kursi penonton. Sebelum pementasan dimulai, ada kata-kata sambutan dari sang Sutradara (Dapur Teater) dan Direktur HAI.
Sang sutradara, Bayu Bastari, dalam dunia perteateran di Kalimantan Selatan, khususnya Banjarmasin, tidak ada yang tidak kenal. Bayu Bastari dikenal karena berbagai prestasinya dalam berteater. Salah satunya, ia pernah menjadi juara 1 lomba monolog pada internasional “South Borneo Art Festival”, dengan membawakan naskah “2000+25 = S.O.S”. Tidak heran jika para penonton sangat menanti-nanti dan penasaran ingin menonton pementasannya. Bisa jadi, para penonton pun berekspektasi tinggi terhadap pementasan yang akan disuguhkannya.
Di dalam gerung Balairung Sari, malam itu panggung terbagi menjadi dua bagian, yang pertama bagian atas merupakan area pemain musik. Bagian bawah, tempat permainan monolog tampak dihiasi robekan-robekan koran. Dengan lighting yang redup, menerangi alat-alat musik yang sudah ditata dengan rapi di atas panggung.
Ketika tepuk tangan meriah di awal selesai berbunyi, itu menandakan bahwa pementasan dimulai. Berawal dari adegan rayu-rayuan oleh seorang laki-lagi bertato, layaknya preman di suatu daerah yang kumuh, dengan sosok ibu-ibu yang menggunakan daster. Keadaan tiba-tiba chaos karena ada laki-laki lain yang cemburu dan merasa tersaingi. Kemudian datang laki-laki berambut gondrong, sepertinya dia adalah kepala geng atau kepala preman yang membuat keadaan tiba-tiba tenang. Lantas ia mengajak para teman-temannya, berjumlah 7 orang, untuk duduk diam di tempat masing –masing (jangan lupa kepala geng dihitung, jadi jumlahnya ada 8 orang ya!).
Ternyata mereka adalah para pemusik dari pementasan tersebut. Mereka membuka pementasan dengan musik distorsi bergenre metal. Asyik sih! Tapi, nanti ah ngebahasnya…
Lalu delapan orang gelandangan yang berperan sebagai pemain musik itu masuk ke panggung, sambil beraktivitas dan bersenda-gurau, sebelum mereka duduk sesuai dengan musik yang akan dimainkan. Sebelumnya perlu dikasih tahu dulu ya, pemeran pokok dari karya ini yaitu Rabin yang diperankan oleh Abi, lalu Udin diperankan oleh Syaifullah dan Nur diperankan oleh Ainul. Selain itu, pementasan ini juga didukung oleh kurang lebih 15 pemeran pendukung. Sebagian berperan sebagai gelandangan. Tidak sempat menghitungnya, pokoknya kisaranny segitu dan ada 2 orang polisi.
Pada bagian atas panggung,kemudian muncul sekelompok gelandangan yang masuk sambil bernyanyi. Mereka dipimpin oleh Rabin. Rabin adalah pahlawan bagi gelandangan bawah jembatan. Seseorang yang memiliki semangat berjuang, sangat peduli, dan berperan penting bagi masyarakat bawah jembatan.
Tiba-tiba, kawanan gelandangan itu keluar melalui sisi kanan dan kiri panggung. Tidak lama kemudian masuk tokoh Udin. Ia berlari ketakutan ke sana-ke mari ketakutan, seperti dikejar oleh seseorang yang ingin membunuhnya. Sampai di bagian bawah panggung, ia lantas bersembunyi, masuk ke dalam kardus besar yang sudah ada di bagian bawah panggung. Setelah yakin tak ada orang yang membuntutinya, Udin pun perlahan keluar dari kardus. Ia berbalik melihat ke arah penonton dengan terkejut. Setelah memastikan orang di depannya bukan orang-orang yang mengejarnya, ia menarik napas lega, tersenyum malu, dan salah tingkah.
Tingkah Udin seakan mencoba terlihat keren. Ia tersipu malu saat melihat ke arah pakaiannya yang tidak serasi, dengan sangat bangga. Udin pun bermonolog sambil terengah-engah, lalu sejenak Udin diam. Sadar bahwa emosinya sedang meluap, ia tersenyum dan berusaha santai kembali. Setelah itu ia tertawa jahat penuh kepuasan, dan melihat ke arah penonton, seakan-akan penonton tersebut adalah Rabin. Ia membayangkan masa lalu, saat detik-detik kemunculan Rabin.
Setelah itu masuklah tiga laki-laki yang menutup mukanya dengan kain. Mereka memperagakan adegan mencuri, sesuai dengan perintah Udin. Sesudah adegan tersebut, masuklah tokoh Inur. Ia menemui Udin untuk memberikan bungkusan baju, pemberian dari Rabin. Udin pun menolak mentah-mentah pemberian tersebut, lalu dengan sangat marah melempar bungkusan itu ke arah Inur. Menangislah Inur sambil berlari keluar panggung.
Setelah itu, gerak-gerik Udin seolah-olah menggambarkan ia akan melakukan sesuatu untuk menjebak dan mencelakakan Rabin. Nyatanya memang benar, Udin ingin Rabin ditahan polisi di penjara. Maka dengan sengaja ia membawa bungkusan berisi baju dan membuangnya di depan pos polisi yang sedang berjaga, seolah-olah barang tersebut merupakan hasil curian. Dua orang polisi yang masing-masing memegang senter, lalu mendekati dan menginterogasi Udin. Singkatnya, Udin menjawab bahwa Rabin adalah pelaku pencuri baju itu.
Setelah laporan Udin diterima, polisi pun menangkap Rabin yang berusaha melarikan diri. Akhirnya Rabin berlari ke arah Udin. Saat itulah Rabin tertembak dan tersungkur di pelukan Udin. Suasana sedih tergambar pada adegan tersebut. Udin yang tadinya iri dan dengki kepada Rabin, tiba-tiba syok, gemetar, dan tak tahu harus berbuat apa.
Lampu fokus menyorot tubuh Udin. Para gelandangan bersenandung lirih, diiringi alunan musik kesedihan. Masih dalam lingkaran cahaya lampu sorot, Inur Nampak berdiri di depan Udin. Ia menatapnya dengan penuh benci. Udin mencoba meraih dan memegang tangan Inur, namun Inur menepisnya dengan kasar. Bukan kepuasan yang didapatkan Udin, namun rasa bersalah dan perasaan tidak tenang. Ia akhirnya malah dibenci oleh kawan-kawan gelandangan bahwa jembatan, yang akhirnya mengetahui kejahatan si Udin. Mereka pun menyerang Udin untuk melampiaskan amarah. Balas dendam akibat kematian Rabin, seseorang yang sangat berjasa bagi gelandangan bawah jembatan.
Sebenarnya pementasan ini merupakan teater jenis monolog, tetapi dibuat dengan inovasi baru oleh sang sutradara. Di sini seorang aktor yang menceritakan alur cerita tersebut tetap berinteraksi dengan pemain lain. Ada gambaran-gambaran cerita yang diperankan pemain yang lain, agar cerita menjadi jelas dan mudah tersampaikan pada penonton. Gambaran atau gerak-gerik pemain sebagai penggambaran pikiran dari aktor inilah yangmenyebabkan penonton mempunyai ruang imajinasi tersendiri.
Pada sisi musik pendukung teater, biasanya pemusik itu diletakkan di sisi kanan atau kiri panggung yang tidak terlihat oleh penonton. Namun dalam pertunjukan ini dikemas berbeda, pemusik berada di atas panggung. Dan choir yang biasanya berdiri posisi bernyanyinya, tetapi di sini dibuat dengan sentuhan koreografi atau tarian-tarian.
Beberapa kekurangan pementasan ini, misalnya pada artikulasi tokoh Udin yang kurang jelas, sehingga kata-kata yang diucapkannya sering tak terdengar di telinga penonton. Dari awal Udin bermonolog, memang vokalnya tidak stabil, artikulasi tidak jelas, timing terkadang kurang pas, dan emosi yang sering tidak terkontrol. Hal itu sangat sulit dinangkap apa yang sedang diceritakannya. Namun karena cerita yang dibawakan pementasan ini sangat mainstream, maka masih dapat ditangkap dan bisa disimpulkan isi ceritanya.
Tidak hanya penampilan dari aktor utama yang kurang, namun tentang hubungan antara musik dengan keadaan perkampungan yang kumuh. Yang perlu dipertanyakan apakah di perkampungan kumuh, musik-musik yang terdengar itu berupa alat musik distorsi bergenre metal? Bukankah musik di daerah perkampungan lebih dikenal dengan setelan musiknya yang bergenre dangdut? Kemudian apakah banyak gelandangan yang mengerti tentang teori musik, sehingga mereka bisa memainkan musik se-keren dengaan suara vokalis semerdu itu? Bukankah pada kenyataannya, para gelandangan sering menyanyi dengan nada yang sembarangan? Umumnya mereka hanya tahu nyanyi dan membunyikan alat musik seadanya. Tidak peduli apakah nada yang mereka nyanyikan selaras dengan alat musik yang mereka mainkan atau tidak.
Kekurangan lain pementasan ini adalah soal tata panggung yang tidak sesuai realitas.
Bagaimana mungkin, di daerah perkampungan yang kumuh hanya sampah kertas yang mendominasi? Jangankan perkampungan kumuh, di kota pun sampah plastik sangat banyak. Masak iya, di perkampungan kumuh seakan-akan bebas dari sampah plastik? Kemudian, biasanya daerah kumuh para gelandangan itu sangat berantakan, misal banyak kayu bekas di mana-mana, atau bisa jadi banyak tumpukan seng dan besi bekas. Yaitulah pokoknya.
Berbicara tentang sutradara, tentu merupakan elemen pokok dalam teater. Berhasilnya suatu pementasan teater dan tercapainya artistik yang diperlukan, tergantung pada kepiawaian sutradara. Sutradara harus mengerti dengan baik hal-hal yang berhubungan dengan pementasan teater, sutradara harus mampu mengatur dan mengharmonisasikan seluruh unsur artistik yang diperlukan. Oleh karena itu, kerja sutradara sebenarnya dimulai sejak merencanakan sebuah pementasan, yaitu menentukan lakon. Setelah itu, tugas berikutnya adalah menganalisis lakon, menentukan pemain, menentukan bentuk dan gaya pementasan, memahami dan mengatur blocking, serta melakukan serangkaian latihan dengan para pemain dan seluruh pekerja artistik. Akhirnya karya teater pun diharap benar-benar siap untuk dipentaskan.
Pada pementasannya kali ini, sutradara Bayu Bastari sepertinya kurang mengobservasi dan kurang memahami realitas sesungguhnya dari naskah yang ia bawakan. Nampaknya ia belum memahami dengan benar ilmu tentang stratifikasi sosial. Oleh karenanya banyak hal dalam pementasan ini yang tidak sesuai dengan kondisi perkampungan yang kumuh. Bisa dikatakan bahwa, dari sekian banyak garapannya, ini bukanlah salah satu garapan terbaik dari seorang Bayu Bastari. Meski demikian, masih tetap dinanti pementasan ulang dari naskah ini. Karena sebaik-baiknya pementasan, adalah pementasan yang telah dipentaskan berkali-kali, dengan melakukan berbagai perubahan-perubahan guna menciptakan karya yang semakin baik.@