GELARAN aksi mural dua kota, Banjarmasin dan Banjarbaru, secara resmi ditutup Wali Kota Banjarmasin Sabtu (16/10) sore kemarin. Tapi bukan berarti kegiatan itu berhenti di hari itu. Hari minggu, sehari sesudahnya, sebagai kurator saya meninjau kelima titik lokasi yang ada di kota Banjarbaru, empat kafe dan satu dinding besar di Amanah Borneo Park (ABP) yang dilukis oleh lima orang seniman mural. Begitu pula di Banjarmasin, setahu saya hari Minggu kemarin di Jalan RE Martadinata kota Banjarmasin masih ada tiga dinding yang diselesaikan. Sebelumnya dua hari saya mengikuti proses melukis dinding di Banjarmasin.
Banjar Mural Festival yang diselenggarakan oleh Semangat Muda dan NSA Project serta didukung beberapa kafe dan sponsorsif merupakan ajang silaturahmi para seniman mural yang ada di kota Banjarmasin dan Banjarbaru. Kegiatan ini berusaha memfasilitasi mereka untuk menyampaikan ekspresi dan aspirasi kesenian dalam gambar dan tulisan yang mewarnai dinding-dinding besar dan panjang, serta beberapa tembok kafe yang diajak kerjasama menyediakan ruang kreatif semacam ini.
Rata-rata yang membuat karya mural sudah punya pengalaman melukis di dinding besar, entah mereka awalnya terbiasa menggambar di kertas atau melukis di kanvas, atau malah sejak awal memang bergiat di grafiti jalanan. Karya-karya mereka secara umum tampak akrab dengan dinding, dalam pengertian proporsional dan sesuai dengan format besar yang cepat menangkap perhatian orang yang lewat.
Agak sedikit berbeda halnya dengan melukis di bidang kecil semacam kanvas, karya mural menuntut format melukis yang mudah mendapat perhatian dengan figur relatif besar dan warna-warna yang meriah, atau setidaknya bentuk yang menohok mata.
Tentu masing-masing seniman punya teknik tersendiri yang diakrabinya, baik dengan sapuan kuas blok-blok warna besar atau outline garis-garis tebal, atau teknik semprot menggunakan cat aerosol yang lazim digunakan para seniman grafiti. Kemampuan menguasai media dan ruang gambar penting sekali bagi seniman agar kerja dan gagasannya efektif tersampaikan kepada publik. Dan mereka yang sudah terbiasa membuat mural akan segera paham objek bagaimana yang sekiranya dapat dengan cepat diselesaikan, mengingat dalam hal BMF mereka dibatasi tenggat waktu (12 – 17 Oktober 2021).
Karya-karya yang dibuat ada yang secara lugas bicara soal panorama budaya Kalimantan, dengan menghadirkan figur bekantan dan burung rangkong atau enggang, atau merepresentasikan simbol-simbol semacam itu dalam konteks persoalan sosial kekinian–seperti karya Jefri misalnya. Atau, karya simbolik lainnya dengan metafora pistol dan bentuk amor pada karya Rizky Setiawan. Juga yang secara langsung menyampaikan imbauan taat prokes dan vaksinasi, seperti pada karya di dinding di ABP Banjarbaru. Dan seterusnya. Umumnya karya mereka “selesai” dari sisi teknik figuratif dan pewarnaan.
Persoalan yang mungkin ada ialah soal harmonisasi antarmural yang bersisian dalam sebuah bidang memanjang. Bagaimana menyelaraskan antara satu gambar dengan gambar di sisinya, jika diharapkan kesatuan mural ini menjadi bagian yang saling tak terpisahkan dalam tema “Seni adalah Upaya”. Ke depan, sebaran dinding mungkin perlu juga dipertimbangkan untuk keoptimalan karya atau gelaran, bisa jadi dengan satu dinding besar memanjang akan lebih terasa daya pukaunya ke publik.
Setidaknya gelaran festival mural tahun ini membuka wahana apresiasi terhadap seniman-seniman grafiti dan mural. Wacana mural sebagai suatu alternatif menghias dan memperindah wajah kota telah dibentangkan. Pelibatan stakeholder, dari pemerintah kota maupun pihak-pihak swasta, adalah upaya mengajak semua berkolaborasi dalam kreativitas kerja seniman melalui karya mereka. Sehingga, diharapkan, tidak ada lagi ada stigma negatif terhadap karya di ruang publik.
Atau, berangkat dari kerja kreatif semacam ini terbit kesadaran untuk mengapresiasi ekspresi dan aspirasi masyarakat di ruang terbuka. Seniman tentu bertanggung jawab dengan karya-karya mereka, apapun bentuk kesenian yang mereka tampilkan. Proses hingga selesainya sebuah karya bisa langsung dinikmati dan dihikmati secara bersama. Andai para stakeholder yang ada dihadirkan saat proses, tentu akan lebih terasa betapa setiap gagasan tidak dipetik begitu saja dari ruang hampa.
Melaui proses dan interaksi semacam ini, yang niscaya melibatkan banyak orang termasuk mereka yang sekadar lewat, akan hadir pengalaman memahami dan rasa menghargai. Begitu pula sebaliknya, seniman dapat merasakan aroma manusiawi yang selama ini mungkin dirasa tersekat dinding massif dan kaku, mengingat kerja birokrasi yang mesti terpaku pada standar aturan. Kerja mural, seindividual apapun saat menghadapi dinding mereka, pada dasarnya adalah kerja kolektif yang melibatkan orang-orang untuk mau tumbuh bersama. Dan kerja semacam ini patut didukung berkelanjutan di tahun-tahun yang akan datang.@