Ubud. Sabtu pagi. Dengan udara wangi yang menyelimuti. Bunga-bunga bertebaran di setiap persimpangan jalan. Sajen yang dibakar terselip pada patung-patung dewa-dewi. Kendaraan berhias kembang berlalu-lalang. Sepagi itu juga, saya bersiap mendatangi beberapa panel diskusi di Indus Restaurant, dan melakukan wawancara di siang harinya. Sepagi ini, bunga-bunga yang terangkai mesra semakin saya dapati bahkan di setiap kendaraan. Why?

Hari ini adalah hari raya, Mas! Hari raya Tumpek Landep. Makanya saya sekarang memakai pakaian adat. Begitu pun beberapa daerah di Bali. Saya juga harus pulang kampung mengupacarai beberapa senjata, sepeda motor, mobil, semuanya ada bunga-bunga, dan sekarang melakukan apa pun di kantor agak susah, ya,” ungkapnya.

Siang itu, Bali sedang cerah. Lima hari saya mengelilingi Ubud, belum merasakan panas seperti di Kalimantan yang membuat saya mesti berpeluh basah sampai kewalahan. Secara kondisi geografis memang jauh, sih, dengan khatulistiwa. Panas siang hari di sini, lebih terasa hangat. Sehangat obrolan saya dengan penulis kumpulan cerpen Kutang Sayang Gemel Madui yang telah memperoleh penghargaan Sastra Rencage 2017 lalu.

Adalah Dewa Ayu Carma Citrawati, akrab disapa Citra. Dan kami seumuran, sebut saja anak era 90’an dengan segala kenangan bola bekel, loncat tali, bola kasti, intingan, serta permainan rakyat lain yang bisa jadi sebutannya berbeda-beda pada tiap daerah di Indonesia. Citra hadir sebagai speaker di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2018 pada sesi Main Program: Hidden Bali dan Still The Morning of The World?.

Hari Raya Tumpek Landep

Tumpek Landep menjadi rangkaian dari hari raya saraswati. Mereka melakukan ritual puji syukur atas berkah Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Ida Bhatara Sang Hyang Pasupati. Perayaan tersebut jatuh setiap Saniscara atau hari sabtu Kliwon wuku Landep. Secara perhitungan kalender Bali, hari raya tersebut dirayakan setiap 210 hari sekali.

“Dewasa ini pengertian lancip luas sekali. Jika dulu di jaman kerajaan hanya keris dan tombak, kini sudah merambah ke benda-benda hasil cipta karsa manusia yang dapat mempermudah hidup seperti sepeda motor, mobil, mesin, komputer, dan sebagainya. Benda-benda itulah yang diupacarai, makanya, mas tadi lihat mobil dan motor berhias kembang semuanya, kan?” ujar perempuan yang saya dapati sedang memakai baju adat Bali berwarna kuning dihiasi selendang merah di pinggang.

Semua tentang Bali kini sangat mudah diakses. Termasuk wisatawan yang berdatangan. Ada sisi positif dan negatif. Dalam segi pendapatan daerah tentu sangat bernilai. Tetapi negatifnya juga tidak sedikit.

“Alam kami di Bali sudah mulai agak rusak. Ya, itu juga lantaran sebagian orang Balinya juga. Orang Bali prinsipnya sederhana, ekonomis, dan cepat. Terkait begitu banyak investasi yang terjadi di beberapa bagian wilayah Bali, hanya sedikit sekali yang peduli. Pun demikian ada juga sebagian tergerak dan termotivasi membuat gerakan cinta lingkungan agar alam di Bali masih terjaga,” ungkapnya.

“Saya kecil dan besar di Pancasari, Beleleng, Bedugul. Daerah perbukitan penghasil strawberry, wortel, dan sayur-sayuran lainnya ada di sana. Masa kecil saya begitu dekat dengan alam. Nah, ketika sudah mulai kuliah kemudian datang lagi, tempat-tempat itu hilang, digantikan villa-villa dan hotel di lereng-lereng gunung. Perkebunan masih ada memang, tapi semakin tahun semakin mengecil saja,” paparnya.

Tempat-tempat tersebut dulu, didatanginya ketika berkemah sewaktu pramuka dan pelantikan osis. Dan sekarang, ia merasa agak miris. Jalan-jalan yang semakin besar dan diisi oleh pendatang dan wisatawan saja.

“Dan tempatnya semakin agak aneh-aneh. Saya merasakan betapa indahnya Bali 20 tahunan yang lalu. Tentu orang yang lebih tua merasakan lebih indah lagi ketika Bali tidak seperti sekarang ini. Dampak pariwisata sampai sekarang begitu membekas.”

Saya katakan, ini adalah momentum daerah lain untuk “mencuri” agar para wisatawan di Bali tidak mengendap. Tapi berusaha supaya mereka berputar seperti jarum jam. Setiap daerah memunyai keotentikan budaya yang tidak bisa didapatkan di wilayah lainnya. Ada 17.000 pulau se-Indonesia dengan segala kunikan budayanya tentu bukan angka yang sedikit. Event-event bertaraf international juga sedang digalakkan beberapa daerah termasuk upaya agar makro ekonomi visa luar negri tidak berkutat di Bali saja. Ya bahasa sederhananya bagi-bagi rejeki dengan daerah lain lah.

Tentang Kutang Sayang Gemel Madui

Obrolan kami yang random melalui udara siang itu menjamah ke segala penjuru arah hingga membuat kami tertawa. Saya tanyakan poin tentang Kumpulan Cerpennya Kutang Sayang Gemel Madui yang telah meraih penghargaan Sastra Rencage 2017 itu.

“Ada 13 cerpen yang saya tulis dalam Bahasa Bali tentu saja. Saya tidak mengkritik Bali di situ, tapi mengemukakan suasana Bali yang saya tahu dulu. Segala kenangan yang terlalui yang memang saya tuangkan dalam karya fiksi. Tetapi seperti refleksi yang terjadi. Karena memang terinspirasi dari kehidupan dan orang-orang di sekeliling saya,” jelasnya.

Citra memaparkan setiap Kabupaten/Kota di Bali memunyai regulasi masing-masing soal keluar/masuknya pendatang atau wisatawan. Dan yang paling berperan dalam aturan itu adalah desa adatnya. Dan lagi, dari beberapa kecamatan, Ubud lah yang paling kuat dalam hal tradisi adat.

“Saya pernah ditanya, mengapa tidak tinggal di Ubud saja? Saya tidak tinggal di Ubud karena segala urusan untuk menjadi warga Ubud itu banyak sekali. Kita harus masuk Banjar adat (seperti lingkup RT/RW)-nya. Kemudian ada kewajiban ngayah di pure setiap hari. Saya rasa di Denpasar justru paling gampang.

Satu ketika saya bertanya kepada tetangga karena ingin mendiami rumah di sana. Tetangga itu bilang, karena itu perumahan, cukup lapor ke Kepala Desa saja, tak usah ke desa adat,” jelas Citra meyakinkan.

Ubud, Kabupaten Gianyar secara umum, menjadi Kabupaten yang paling kuat menjaga adat. Hampir setiap hari wajib ngayah di pure. Sebagaimana yang saya temui. Udara yang harum menyelimuti. Bunga dan sesajen di sana-sini, dan orang-orang yang saya sangka begitu menghargai waktu istirahat. Pukul 22.00 lewat, Ubud sentral mulai sepi dari orang yang berlalu-lalang. Hanya sebagian resto dan pub saja yang beroperasi. Sembari para Pecalang berpatroli.

Proses kreatif menulis Citra sudah dimulai sejak SMA. Saat kuliah, dosen memberikannya tantangan kepada siapa saja yang karya cerpennya dimuat Bali Post akan mendapatkan nilai A. “Dan saya tertantang, Mas. Demi nilai A! Dan itu koran berbahasa Bali, lho! Yang masih terbit sampai sekarang. Singkatnya, karya saya terbit, dan dosen menepati janjinya,” semangatnya berapi-api membesarkan bola mata kepada saya. Saya pikir, upaya seperti ini juga bisa saja diadaptasi beberapa dosen bahasa/sastra yang ada di Kalsel. Semisal karya cerpennya terbit di korang lokal, akan mendapatkan nilai A.

Tentang Lontar

Singkatnya, ia jadi punya karya berbahasa Bali. Makin ke sini, Citra selalu tertantang untuk menulis dalam Bahasa Bali. Dalam panel Main Program di #UWRF18 ia juga menjelaskan tentang bagaimana masyarakat Bali masih kuat dengan Lontar, yakni manuskrip dalam aksara kawi yang ditulis di daun dan batang tumbuhan.

“Manuskrip lontar itu menjadi buku di jamannya. Dan proses keratif memang harus praktek. Kalau teori saja tidak akan menjadi karya. Lontar masih dilakukan masyarakat Bali dan banyak orang yang minta dibacakan dan diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Pengetahuan orang Bali ditulis di lontar. Karena masih banyak masyarakat yang awam dengan aksara kawi. Itu yang saya dan kami lakukan secara berkesinambungan,” terangnya.

“Menulis adalah tentang konsistensi, membaca adalah kunci utamanya. Semua hanya tentang sebuah perjalanan kata untuk menemukan makna. Jika ingin menemukan makna, tetaplah berjalan dengan merangkai kata.”

Jumlah penulis perempuan di Bali masih sedikit sekali, terlebih yang menggunakan Bahasa daerah. Ia bertekad serius sekali dalam bidang Bahasa Bali dengan segala budayanya.

Tak hanya aktif menulis lontar, ia berjuang bersama rekannya di komunitas Hanacaraka Society dan Aliansi Peduli Bahasa Bali. Citra adalah dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Dwijendra, Denpasar. Citra telah menerbitkan dua buku yaitu Smara Reka (2014), merupakan antologi dengan suaminya dan Kutang Sayang Gemel Madui (2016) yang meraih penghargaan Sastra Rencage 2017. Dan keduanya berbahasa Bali.@