Bagi audiens dengan wawasan epigram yang mumpuni tapi “hanya punya waktu sedikit”, peluang menutup buku yang sampul bukunya didominasi warna putih ini sangat besar, sangat dekat.

Hingga epigram kelima,

/5/
sudah sampai mana
penundaan?
atau jangan-jangan
segalanya memang serba
dan serbi
yang itu-itu saja

Ubai membuat kecurigaan itu belum beranjak. Ubai terlalu nekat mengamalkan “lambat panas” dalam menyusun isi buku.

Namun, setelahnya, epigram-epigram Ubai bagai berkumpul, menghadang, dengan mata melotot menghunjam pandangan audiens. Ya, epigram kedua puluh:

/20/
ada yang tiba-tiba hadir
ia mengunci pintu dada
dan membuka
jendela hati

adalah ledakan siginifikan, hingga kemudian epigram ketiga tujuh:

/37/
sekiranya kepahamanmu sadar, sejauh apa
pelukku menuju ketidaksampaian

bagai berteriak:

“Hei, sejauh mana jarak memberimu pelajaran tentang katana bermata dua bernama harapan: menebas keputusasaan sekaligus memangkasnya sampai batas terbawah?”

Maka, membuang kerangka epigramisme dalam membaca Tangan Tangan Kisah adalah sebuah pilihan tanpa cabang. Pada simpang dan liukan yang tak pernah berambu-rambu, saya menemukan premis sebagaimana cerita, meskipun ia tak pernah hadir secara bulat dan persistens sebab ini memang bukan prosa.

Lalu, siasat membaca yang bagaimana, yang disarankan, untuk menikmati kedatangan kawanan epigram ini ke ladang pemikiran terbuka audiensnya?

Cobalah membaca Tangan Tangan Kisah sebagai serangkaian subplot yang malu-malu berkisah tentang hasrat menjumpai karena kenangan-kenangan mengambang di sekujur tubuh manusia yang sepi, baik karena jauh dari kekasih, atau terasing oleh tempat-tempat ramai yang tidak pernah berbunyi selain, “Apa benar kau punya rumah untuk pulang” atau “Sampai kapan kau ingin menulis puisi di dalam kamar dan keluar sebagai seseorang yang depresi tapi takut bunuh diri?”

Membacanya sebagai prosa tanpa jantung (baca: nirkonflik) adalah sebuah tawaran sekaligus eksperimentasi ekstrem yang, meskipun belum tentu berhasil untuk penggemar puisi tulen, patut dicoba bagi prosais, penggemar prosa, atau awam.

Ya, sebagaimana puisi, kata Budi Darma dalam sebuah kesempatan di Pertemuan Penyair Nusantara IV di Palembang (2011), epigram juga kerap dan banyak ditulis karena tak memiliki beban konflik. Kemudahan itu mengandung konsekuensi tak menggembirakan: epigram dan atau puisi kerap “terlihat” menggenang, daripada “mengalir”, “jalan di tempat” ketimbang “maju”.

Maka, ketika Ubai menawarkan lanskap pernyataan yang ditumbuhi melakolisme atas jarak, audiens bukan hanya diberi kesempatan untuk membaca jarak dalam epigram-epigramnya sebagai rentang antara pencinta dengan kekasih atau perantau dengan tempat pulang, tapi juga sebagai tubuh cerita yang magis: kuasa berkisah, meski jantungnya tiada.@