Anggap saja saya sedang mendamik diri karena enggan menjadi guru karena alasan-alasan privat  setelah menyimak dua puluh tiga judul tulisan dari  Catatan Guru yang diterbitkan Zukzez Express 2020. Buku ini adalah buku ketiga Isnaini Shaleh setelah Guru (bisa) Menulis 2018 dan Kisah Hujan di Bulan Desember (2019). Marka yang digamit oleh penulisnya tidak lain adalah unek-unek yang dielaborasi dengan keprihatinan, kekhawatiran, ketakpuasan, sekaligus kepasrahan.

Isnaini dengan bersahaja menuturkan pengalaman dirinya yang pernah didaulat sebagai wakil Kalimantan Selatan dalam Diseminasi Nasional Literasi bagi Guru SMP Berprestasi 2017. Guru dituntut untuk meningkatkan profesionalitas dengan membuat karya tulis (artikel) dan dikirimkan ke media massa. Namun, bagi Isnaini tak semua guru mau dan mampu karena tak sedikit guru yang minat bacanya rendah, sehingga mereka juga kesulitan untuk menulis. Otomatis karena minat baca yang rendah maka daya nalar, logika, dan analitis mengalami kesulitan bahkan kerancuan dalam berpikir dan berbahasa.


Isnaini Shaleh bersama Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Prov. Kalsel

KEKERASAN SIMBOLIK

Sebagai guru di usia produktif yang kritis, Isnaini bergeming melihat kekerasan simbolik atas dikotomi antara anak pintar dan bodoh karena setiap anak terlahir istimewa. Menggali potensi anak dengan melihat kecerdasan majemuk; memaknai kecerdasan anak dengan cap-capan adalah stempel berterima yang sampai hari ini masih berlaku di sebagian masyarakat. Cap anak usil, cap nak bodoh, cap anak nakal. Teori kecerdasan majemuk dikembangkan oleh Howard Gardner yang mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk solusi situasi. Berangkat dari sini ada sembilan model kecerdasan anak; logika–matematika, linguistik, spasial, musik, kinestetik, naturalis, interpersonal, intrapersonal, dan eksistensial. Menggali potensi anak dengan kecerdasannya masing-masing dengan baik dan benar adalah jalan pilih terbaik yang harus dilakukan orang tua dan pendidik untuk mencetak generasi unggul.

Agaknya Isnaini gerah dengan situasi pendidikan yang seperti mengudap buah simalakama. Kurikulum yang berubah dan standar acuan nilai akhirnya guru malah seperti bermain akrobat angka-angka agar standar tertentu bisa terpenuhi, dalam konteks ini adalah KKM (kriteria ketuntasan minimal).

Di bukunya yang sarat informasi mutakhir soal pengajaran di Indonesia, Isnaini cenderung menguatkan model kerjasama tripusat sebagai solusi terbaik untuk meningkatkan karakter peserta didik. Isnaini yang juga dikenal sebagai Duta Baca Kalimanatan Selatan punya beban tersendiri atas praktik literasi dan stigma rendah terhadap minat baca orang Banua. Saya mencoba mengurai data dari skor terbaru PISA Indonesia yang dirilis liputan6.com lewat googling. PISA (Programme for International Student Assessment) adalah standar evaluasi untuk anak-anak sekolah yang usianya 15 tahun di berbagai negara. Bidang yang diujikan adalah membaca, matematika, dan sains, saat ini ada 79 negara yang sudah berpatisipasi untuk PISA dengan melibatkan enam ratus ribu murid sekolah dari berbagai negara.

Test PISA Indonesia mutakhir dilaporkan merosot, skor membaca Indonesia berada di peringkat 72 dari 77 negara, matematika peringkat 72 dari 78 negara, dan sains peringkat 70 dari 78 negara (terkait info detail PISA dan mekanisme tes ujian sila googling).

PENGUATAN LITERASI

Jamaknya keberaksaraan selalu diselaraskan dengan eksistensi buku, belakangan yang lewat, penguatan literasi lebih banyak didominasi pameran-pameran buku. Apakah pameran buku benar dapat mendongkrak minat baca masyarakat? Apakah dengan menjual buku-buku murah akses keterbacaan masyarakat secara barometrik bisa menaik?

Di bukunya, Isnaini mesti menghela napas karena komitmen orang tua pada faktanya tidak sejalan dengan budaya keberaksaraan. Orang tua setelah membelikan sang anak buku, mereka kemudian membiarkan anaknya berpikir sendiri dan memahami apa yang tengah dibaca. Sepertinya, ada yang tidak relevan di sini. Bagaimana dengan orang tua yang berasal dari keluarga yang tidak paham soal keberaksaraan, padahal secara ekonomi mereka mapan? Apalagi orang tua yang memiliki keterbatasan ekonomi dan pengetahuan, masihkah penguatan keluarga menjadi rujukan untuk penguatan? Ada tujuh literasi dasar yang agaknya tak bisa menanggalkan keluarga sebagai matra utamanya.