Senja berakhir. Orang-orang berbaris rapi layaknya semut yang akan memasuki sarang. Usai Djenar masuk ke dalam resto, pintu masuk BetelNut dibuka. Barisan yang sedari tadi mengantre masuk perlahan. Saya ke lantai dua agar view angle lebih lebar dan leluasa.

Gelaran bertajuk Live Music & Arts: Musical Storytelling: Aroma Karsa itu Dee menyanyi. Menyampaikan proses kreatifnya menulis Aroma Karsa yang meraih Ikapi Award Books Of The Years 2018. Dee menjadi speaker pada Main Program: Serial Storrytellers, Live Music & Arts: Musical Storytelling: Aroma Karsa, dan Jagadhita.

Dalam forum, Dee mengungkapkan punya sahabat yang ahli sekali dalam menulis cerita pendek. Dialah Djenar Maesa Ayu, yang duduk di sudut paling kanan panggung. Sembari mengarahkan tangan terbuka kepadanya, Dee berkata:

“Djenar itu seperti ratunya bikin cerita pendek. Sedangkan saya, kalau sudah menulis banyak sekali analisis dan perkembangan. Saya besar melalui cerbung di majalah-majalah yang dulu menampung tulisan para pengirimnya,” katanya.

Hal itu juga yang dilakukan para penggemar karyanya pada serial Supernova lalu dilanjutkan ke Aroma Karsa. Mereka Digitribe, sebutan untuk penggemar serial petualang digital Dee, membuat mind map sendiri. Si tokoh ini akan menjadi seperti ini, kelak dia akan pergi ke sana untuk menemui si A. Bahkan, karakter paman siomay yang lewat di depan rumah kontrakan menjadi pembahasan mereka.

“Teknik dan jam terbang juga memengaruhi penulis. Kamu gak bisa, baru mulai tau-tau bisa menulis hebat tanpa jam terbang. Karya yang kita tulis juga bisa jadi mencerminkan pendewasaan dalam berpikir. Proses besar ini berkali-kali saya pelajari. Tidak ada lagi tantangan yang terlalu sulit bagi si penulis jika ia menguasi teknik dan jam terbangnya cukup tinggi,” paparnya.

Sebagai penulis, terkadang kita harus terima menghabiskan berjam-jam di depan laptop. Bahkan kalau lagi blank, kita cuma duduk manis memandangi layar yang tidak bergerak dan belum menulis sama sekali.

“Pada akhirnya yang masuk ke dalam cerita paling dua sampai tiga bab. Gak semua riset terpakai dalam cerita. Namun, tentu tidak ada yang sia-sia. Saat berproses menulis, alam bawah sadar kita bisa muncul dan masuk dalamnya,”

Dee bilang, sejatinya dia adalah storyteller. Seorang penulis juga sepatutnya menguasai metafora yang bukan sekadar kata-kata indah. Meskipun hal tersebut bukan priortias dalam menciptakan sebuah cerita yang memikat dan mengikat.

Dalam konstelasi seni, Dee tak hanya sebagai penyanyi. Tetapi berusaha kembali menyampaikan cerita-cerita itu melalui lagu dengan prinsip yang searah, sertaa bagaimana caranya memikat dan mengikat.

“Menulis menjadi medium eksplorasi yang lebih pas. Begitu pun menulis lagu. Ketika menulis lagu, ada cerita yang ingin saya bagi dalam tiap liriknya. Sajatinya hanya itu saja. Ingin membuat cerita agar bisa memikat dan mengikat,”

Lalu di mana letak kebebasan pembaca untuk memaknai tulisan para pengarang? Kata Dee, kebebasan pembaca tidak bisa diganggugugat. Ia seringkali mendapatkan pertanyaan demikian. Lalu diminta bagaimana sikap pertanggungjawabannya sebagai penulis kepada pembaca?

“Saya menulis untuk diri sendiri terlebih dulu. Setiap pembaca memiliki filter masing-masing dalam menilai karya. Sama halnya seperti buku yang difilmkan. Tidak bisa semua yang tertulis mampu divisualkan dan masuk dalam frame kamera,” jawabnya.

Setiap pembaca menumbuhkan kreator sendiri-sendiri dalam kepalanya. Penulis tidak bisa mengintervensi itu. Pembaca adalah pemilik teritori sepenuhnya. Sebagai penulis, ia mengaku hanya berusaha menyampaikan pesan sejernih mungkin. “Saya bikin cerita, dan kepingin terikat dalam cerita ini.”

Baginya, pembaca juga memunyai selera. Ada yang tidak suka ya gapapa! Pembaca juga berhak menduga-duga sendiri alur cerita akan seperti ini jadinya. Hal demikian, masuk dalam proses kepenulisan.

“Mereka bilang, para Digitribe itu, seolah menjadi peneliti, ketika bagian ini ibu suri lagi apa ya? Terus pada bagan ini, pasti ibu suri lagi galau, ya? atau datang bulan? Kok, kesannya si anu marah-marah. Nah, begitu respon mereka!”

Dee mengaku tipe penulis yang menulis untuk kepuasan diri sendiri. Dan menurutnya itu sebuah tantangan. Tantangan untuk diri sendiri. Membawanya kepada perkembangan karya yang filosofis dan berfeedback dalam berkehidupannya sehari-hari.

Ia merasa lucu karena banyak sekali yang mengirim surat elektronik menceritakan pengalaman, lalu meminta agar dituliskan ceritanya. “Saya bilang, setiap orang pastilah merasa dirinya punya hidup yang menarik. Nah, untuk menuliskan itu semua, tentu dirimu sendiri yang harus menuliskan. Salah sambung jika orang lain yang menuliskan ceritamu,” ingatnya.

“Saya menulis segala tema yang memang saya suka dan ingin saya baca. Saya sedang bekerja dengan yang namanya ide. Karena kalau kita melayani segala permintaan para pembaca ya, gak akan ada habisnya. Dan gak mungkin bisa terpenuhi semua,” tegasnya.

Dee membenarkan kata suaminya, Reza Gunawan. Pada satu ketika Reza mengatakan; Jalan tercepat menuju ketidakbahagiaan adalah memuaskan keinginan semua orang. “Jika itu terjadi pada diri saya sebagai penulis, maka saya akan kehilangan tujuan awal saya bercerita,” ingatnya.

Fenomena dan sistem ini bakal terjadi untuk para penulis baru, apa pun yang sedang kamu tuliskan. Ini sebenarnya pertanyaan hipotesis, saya tidak bisa meramalkan apa yang akan terjadi. Namun tak semua mesti sepakat. Tidak sedikit dari mereka yang baru memulai menulis pas dengan yang ia inginkan.

“Ada trampoline moment dalam menulis. Kalau tidak ada moment itu maka sulit sekali untuk mengikat. Hal ini terjadi ketika penulis mendesain cerita dan mendalami karakter tokohnya.

Tapi, tidak semua penulis yang mengarah ke sana. Saya suka membuat cerita bersambung, tapi ada juga penulis lain yang pandai mengakhiri ceritanya dengan singkat. Sahabat saya, Djenar, misalnya!

Keindahan cerbung itu bisa dinikmati panjang oleh pembaca. Karena ada jeda waktu. Dari sana bisa menumbuhkan leadership. Ada boom knife yang telah ditancapkan. Dan kita harus pandai menjadikan platform untuk memungkinkannya. Bagaimana sebuah cerbung bisa berhasil tergantung bagaimana kita mendesain semua cerita itu. Fenomena kompleks ini adalah bursa teknis.”

Menurut Dee, pembaca bebas menarik dirinya atas keterikatan yang terjadi. Hal yang paling seru adalah saat para pembaca membuat casting sendiri, atau membuat manekin dalam kepalanya terhadap karakter yang dia baca.

“Hanya saja, agar pembaca lebih menjiwai, kadang saya berikan mereka figure untuk mendukung apa yang ada dalam pikiran pembaca. Theater of mind setiap orang itu berbeda-beda!”

Lalu bagaimana dengan film? saya sendiri bahkan berpendapat, film dan teks itu adalah format yang jauh sekali berbeda. Kadang berpikir juga, yang punya kendali adalah yang punya duit. Beda sekali dengan buku. Karena ada sutradara, produser, dan tentu saja sejumlah kru yang membantu perwujudan semua itu. Bahkan jika suatu film itu adaptasi, maka dia memunyai karya yang dipinjam.

“Adaptasi itu bentuk pendewasaan diri. Karya kita sedang dipinjam untuk pengembangan ide. Kita penulis meski tahu diri, jika karya itu adalah adaptasi dari karya teks kita, misalnya, maka sepenuhnya itu adalah haknya,” ungkap Dee.

**

Pertunjukkan dan diskusi usai. Saya keluar bersama Eva, seorang readers dari Tanah Lombok yang sebelumnya bahagia setelah mendapatkan tanda tangan Djenar pada pertemuan tak berencana. Mungkin pembaca bisa mengingat kejadian ini pada catatan ini Djenar Maesa Ayu; Tentang Seni Mencintai Diri Sendiri.

“Senang sekali, bisa nonton langsung perform Dee. Kepala saya merasa penuh dengan istilah baru. Kok bisa ya, dia itu cerdas sekali,” kata Eva, setelah memberikan saya sebotol cola dan mengajak duduk di tempat persis ketika saya interview dengan Djenar sehari sebelumnya.

“Kamu tipe membaca banyak atau menulis banyak?”

“Aku… membaca banyak sih, kayaknya!”

“Nah, Dee pembaca yang banyak pasti, kayak kamu!”

“Beda, Mas. Aku memang membaca banyak, tapi gak bisa nulis!”

“Kamu gak mau foto bareng Dee?” tanya saya sambil mengarahkan pandangan ke meja penuh kerumunan.

“Mau, sih. Tapi Mas gak liat apa, anjay…! antreannya bejibun gelo! Ya, kita tahu, kan, betapa Dee fansnya banyak sekali!”

Fine. Kami membicarakan banyak hal tentang buku apa yang pernah dia baca. Tentang bagaimana kesehariannya sebagai pekerja di balik kubikel bank. Dan bagaimana proyek mural di Banjarmasin yang awalnya sempat mau dikerjakan suaminya yang pelukis/desain grafis lalu ditolaknya karena tersandung cagar budaya. Saya tahu itu. Finally mural itu dikerjakan beberapa kawan-kawan pelukis banua di lorong-lorong gang di Banjarmasin.

“Akan ke mana setelah ini?”

“Ke Taman Baca, ada live music di sana, kan!”

“Oke!”

Kami beranjak dari kursi. Berjalan berhamburan bersama beberapa orang lainnya. Pada parkiran, tanpa ada tanda-tanda, Dee terlihat berdiri bersama Reza Gunawan menunggu driver yang akan membawa. Saya lihat Eva, dia seperti bingung harus berekspresi bagaimana tersebab penulis idolanya ada di hadapan mata tanpa jeda, tanpa kaca, tanpa antrean malahan. Saya sapa Dee sebagaimana mestinya.

“Halo, Mbak Dee. Sukses penampilannya, ya! Saya Ananda, jurnalis yang kemarin bertemu anda di Taman Baca!”

“Oh iya… Nanda. Saya ingat… saya ingat. Terima kasih sudah menonton, ya. Besok berarti kita ada sesi wawancara, kan!”

“Iya. Teman saya ini, dari Lombok datang ke sini untuk menonton anda. Dia ingin berfoto dan tentu saja meminta tanda tangan!”

Seperti biasa, saya kebagian jatah menjadi fotografer foto bersama. Setelah usai. Kami berdadah-dadah dan berjanji akan bertemu kembali. Dia, si Eva mengungkapkan kepada saya.

“Ya Tuhan, mimipi apa saya semalam. Hari ini begitu banyak keberuntungan. Bertemu dengan orang baik dalam suasana yang membahagiakan. Gak sia-sia memang. Tapi sayang, besok saya sudah harus pulang pesawat siang!”

“Semoga masih ada sisa-sisa keberuntungan yang tak disangka menghampiri kita!” sahut saya. “Amin…” Saya bilang kepadanya, mungkin Dewi Fortuna sedang berkeliling di sekitaran sini dan memilih orang-orang yang berbahagia.

Dingin menusuk kulit. Lampu jalanan temaram. Besok adalah hari penghabisan. Kadang kebahagiaan bisa saja datang dadakan, tanpa pengumuman, tanpa perencanaan. Ya, harapannya… harapan orang awam. @