Plato, si bapak filsafat barat itu, tidak menyukai sistem demokrasi. Menurutnya, sistem politik yang mengandalkan suara terbanyak sebagai similaritas dari kebenaran itu menjadikannya sangat rentan dimanipulasi oleh Demagog.

Plato meyakini, demagog akan selalu memanfaatkan kebebasan berpendapat pada sistem demokrasi untuk mencari kekuasaan yang selalu, dipastikan akan bersifat tiran.

Menurut Buya Syafii Maarif, demagog adalah pemimpin atau penghasut politik yang pandai membakar naluri massa/gerombolan untuk meraih tujuan-tujuan tertentu. Seorang demagog sangat lihai dan piawai membakar dan menghasut massa untuk mengubah iklim politik yang tak menentu agar berpihak kepadanya, khususnya massa yang sedang dalam suasana terhina, kalah, dan perasaan malu.

Seorang demagog hampir selalu meraih popularitas dengan jalan mengekploitasi prasangka dan ketidakpedulian di kalangan masyarakat awam. Demagog sangat pintar memanfaatkan kelemahan utama demokrasi: suara terbanyak. Karena itu, negara demokrasi di mana mayoritas warganya tidak terdidik, adalah ladang subur para demagog.Semakin gampang rakyatnya dibodohi, semakin mudah demagog menjadi pimpinan mereka.

Senjata andalan demagog paling utama adalah: Kambing Hitam. Menyalahkan kelompok lain sebagai penyebab masalah yang dialami adalah teknik mumpuni demagog. Biasanya yang disalahkan adalah etnis tertentu, pemeluk agama tertentu, kelas sosial negara tertentu, atau siapa saja yang paling bisa menyentuh emosi massa target suara. Misalnya ketika Hiter menyalahkan Yahudi karena kekalahan Jerman di perang dunia I, atau ada satu negara tertentu yang kerap menyalahkan Tiongkok sebagai penyebab penurunan ekonomi mereka.

Langkah berikut demagog setelah mencari kambing hitam, adalah menciptakan batasan antara “kita” dengan “mereka”.Kita bisa siapa saja, mereka juga bisa siapa saja.Bisa jadi kita “warga asli” dengan mereka “warga pendatang”. Atau kita “agama A” dengan mereka “kafir infidel”. Atau kita “si miskin yang selalu dibodohi” dengan mereka “si kaya yang culas”.  Apa saja, yang penting dapat dijadikan tangga untuk menaikkan popularitas.

Setelah tercipta batasan kita vs mereka, demagog selanjutkan akan mencari justifikasi untuk merendahkan pihak “mereka”.

Akan banyak beredar kisah-kisah kenapa “kita” lebih baik dari “mereka”. Kenapa “kita” berbeda dari “mereka”. Dan karena mereka bukan kita, berbeda, maka kita yang lebih baik ini diperbolehkan untuk memperlakukan mereka tidak sebagai sesama.Mereka wajar-wajar saja diperlakukan berbeda. Diusir, dibuang, sampai akhirnya, dimusnahkan.

Dalam tahap selanjutnya, demagog yang sudah meraih popularitas akhirnya menjadi pemimpin gerakan kita vs mereka ini. Dan trik lain dari demagog ketika mereka sudah punya massa, adalah menyebar ketakutan dan perasaan urgensi harus melakukan sesuatu secepatnya. Ancaman ketakutannya bisa jadi macam-macam. Ketakutan lapangan kerja direbut, agama dihina, atau mungkin negara bubar tahun 2030 , misalnya.

Lalu bagaimana cara mencegah demagog berkuasa?

Karena demagog memanfaatkannya prasangka dan ketidakpedulian, maka cara paling utama mengatasinya adalah melalui pendidikan. Jadi warga negara yang pintar. Jangan mau gampang dipecah-belah. Sudah. Mudah bukan?@

 

Facebook Comments