SEJUMLAH data hasil survei dibeberkan Prof DR Mohtar Mas’oed, Guru Besar Fisipol UGM dalam acara diskusi “Wajah Demokrasi Pasca 25 Tahun Reformasi” yang digelar Ambin Demokrasi di Rumah Alam, Sungai Andai, Banjarmasin, Selasa (15/8/2023).
Salah satu hasil survei yang dibeberkan adalah bahwa indeks demokrasi bangsa Indonesia saat ini mengalami kemandegan, tidak membaik, bahkan cenderung merosot.
“Bila dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu, indeks demokrasi kita tidak berkembang, stagnan,” ujar Mohtar yang purna tugas di Fisipol UGM pada 2019 ini.
Namun yang menarik, lanjutnya, kendati indeks demokrasi tak berkembang, rakyat tetap mencintai pemimpinnya, Presiden Jokowi. “Bahkan data menunjukkan, walau miskin rakyat tetap bahagia,” ucap Mohtar.
Noorhalis Majid, aktivis Ambin Demokrasi, mencoba menanyakan bagaimana perbandingan kepemimpinan Soeharto dengan Jokowi.
Dengan beberapa contoh, Mohtar mengesankan bahwa kepimpinan Soeharto bergaya otoriter, sementara Jokowi lebih merakyat.
“Jokowi saat menjabat Walikota Solo membuat suatu kebijakan yang saat itu cukup mengejutkan, yakni mengganti pimpinan Satpol PP dengan sosok perempuan, kebayaan. Padahal kan selama ini pimpinan Satpol PP mesti gentle dan terlihat kuat dan tegas,” kata Mohtar.
Begitu pula, lanjut Mohtar, pada sebuah acara peresmian, Jokowi yang kala itu masih Gubernur DKI Jakarta pernah mengangkat, menggeser gong, untuk dipukul presiden.
“Mana mungkin ada pejabat sekelas gubernur mau mengangkat gong, tapi Jokowi melakukan itu. Kebijakan dan sikap apa adanya semacam itulah yang mungkin membuat ia dicintai,” ujarnya.
Tetapi, seorang peserta mahasiswa memberikan perbandingan data survei, bahwa tingkat kepercayaan terhadap Jokowi juga menurun seiring kasus Sambo, IKN, dan lain-lain.
Kembali pada persoalan demokrasi, menurut Mohtar, Indonesia pernah dipuji dunia, sekaligus mengundang tanda tanya.
“Perkaranya, Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, dan melayu, kok bisa,” katanya.
Dalam diskusi yang dipandu Lidia Agustina itu, Pakar Hukum Tata Negara Mohammad Effendi menyorot dan mempertanyakan mengapa demokrasi Indonesia pasca 20 tahun reformasi, sistem kepartaian tidak banyak kemajuan. “Bahkan masih belum menuju ke arah partai politik modern. Itu kenapa?” tanya Effendi.
Mohtar dengan enteng menjawab, “Andai saya tahu jawabannya, saya sudah mendirikan partai.” Gelak tawa pun lepas dari para peserta diskusi, di antaranya Harris Makkie, Winardi Sethiono, Siti Mauliana Harini, Pathurrahman Kurnain, Abdani Solihin, Nasrullah, dan sejumlah mahasiswa FISIP ULM.
Namun Mohtar menjelaskan, persoalan itu selalu berujung pada apa yang ia istilahkan dengan “follow the money” pada partai. “Jadi, dari mana atau siapa yang menjadi donor partai, itulah yang paling menentukan,” katanya.
Ia juga melihat, bahwa masih kuatnya klaim kebenaran pada satu pihak. Padahal, katanya, kebenaran tidak mutlak berada pada satu pihak atau pihak lainnya. Kebenaran itu ada di antaranya. “Dan itu hanya bisa dicapai melalui dialog, negosiasi,” cetus penerima Penghargaan Achmad Bakrie 2022 Bidang Pemikiran Sosial ini.
Kepada anak muda atau mahasiswa ia berpesan, demokrasi dan kepemimpinan tidak bisa dipelajari pada ruang kosong. Ada sosiologinya. “Di kampus, kalian harus aktif. Harus berorganisasi. Sekalipun hanya kelompok tim olahraga. Karena saat berkumpul itu, kalian pasti akan melakukan kegiatan dan di sana muncul pengorganisiran dan jiwa pemimpin,” katanya.
Dalam pengertian lain, Mohtar mengatakan bahwa mahasiswa tidak hanya belajar di ruang kuliah. Demokrasi, yang menurut Mohtar adalah soal bagaimana mengatur hubungan antara pemimpin dengan anggota atau rakyat, tidaklah seperti belajar matematika.
“Berdemokrasi itu seperti belajar berenang. Tidak ada buku tentang belajar berenang. Kamu harus mengalaminya, harus bercebur ke dalamnya. Itulah maka mahasiswa tidak hanya suntuk belajar, tetapi perlu juga ‘bermain’,” ujarnya.
Di akhir acara dilakukan penyerahan buku “Tionghoa Banjar” oleh Winardi Sethiono kepada Mohtar Mas’oed, dilanjutkan foti bersama seluruh peserta diskusi.@