ALI MUNAWAR terbangun karena air liur yang merembes ke sudut bibirnya. Bibirnya bergerak-gerak dan menimbulkan suara seperti seorang anak yang sedang menyesap es mambo. Setelah duduk dan mengucek matanya, kepalanya menyembul dari balik taplak meja vinil bekas spanduk minuman berenergi yang menjuntai ke bawah meja. Laut tampak lebih tenang, tapi hatinya tetap saja rusuh.

“Bangsat sialan! Kapal keparat sialan!” makinya tiba-tiba.

Tidak puas dengan apa yang dilihatnya, Ali Munawar merangkak ke luar dari kolong meja tempat dia tertidur sejak menjelang subuh. Semalam dia muntah dan hampir tidak bisa menolong dirinya sendiri—brem itu terlalu keras dan membuatnya terkapar sebelum botol ketiga. Masih tersisa pening di kepala bagian belakang dan tenggorokannya terasa kering dan lidahnya seperti baru saja diolesi cuka.

“Sial, sudah saya bilang kapal keparat ini yang bakal sandar!” ujarnya seraya berjalan mendekati tanggul penahan ombak.

Dia menyeret kursi plastik dari lapak Mustakim Tua dan menaruh barang rongsok itu di belakang dua sosok laki-laki yang sedang duduk di bibir tanggul. “Harusnya saya menang! Mana uangnya?” ujarnya seraya menepuk pundak Hasan Sanusi.

Tepukan keras itu tidak membuat Hasan Sanusi menoleh kepadanya. Ali Munawar bersungut-sungut. Tangannya meraih bungkus rokok kretek yang tergeletak di samping Hasan Sanusi dan mulai memeriksanya. Tinggal sebatang, tapi dia tidak peduli. Dia selipkan sebatang rokok itu di antara bibirnya yang mengering dan menyalakannya. “Sialan!” gerutunya kemudian. “Mana uang saya? Sudah saya bilang kapal keparat itu yang datang, kan? Tebakan saya benar, kan?”

“Uang matamu itu!” semprot Hasan Sanusi tanpa menoleh sedikit pun.

Ali Munawar tergelak. Dia baru berhenti tertawa setelah tersedak oleh air ludahnya sendiri.

“Kalian ini senangnya ribut. Ada rokok ribut, tidak ada juga ribut. Habis nenggak brem ribut, habis minum kopi ribut. Tidak ada bedanya sama sekali,” timpal Fahmi Idris.

“Kamu tahu,” sela Ali Munawar, “dia yang mengajak taruhan semalam. Kami menunggu sampai subuh dan tebakan saya jelas-jelas benar. Kamu lihat sendiri, kapal pengangkut minyak warna biru itu yang datang. Dia pegang warna merah. Nah, artinya saya yang menang, kan? Lumayan, dua puluh ribu bisa dapat sebungkus rokok!”

Hasan Sanusi tersenyum sinis. Fahmi Idris bergantian menatap mereka berdua lalu menggelengkan kepalanya.

“Tebakanmu memang benar,” ujar Hasan Sanusi. “Itu kapal yang pernah bikin kamu nekad berenang ke sana dan ingin membakarnya, kan? Benar-benar tindakan bodoh. Untung saja ada nelayan yang melihat. Coba tidak, kamu sudah mampus digulung ombak. Dan kami, pasti akan merasa kehilangan dengan mulut besarmu itu. Hahaha!”

Ali Munawar memberengut. Dia meniupkan asap rokoknya ke wajah Hasan Sanusi yang sedang mencibirnya.

“Saya melakukannya karena ingin menyelamatkan Ida Zubaida dari mandor keparat kapal itu,” bantah Ali Munawar. “Coba kamu bilang, apanya yang salah?”

Ali Munawar kembali tertawa. Fahmi Idris kembali menggelengkan kepalanya.

“Meskipun sudah lama tidak melihatnya, saya masih ingat dengan jelas wajah laki-laki itu. Dia seorang bosun, kan? Dia terlihat seperti laki-laki yang punya banyak pengalaman. Terlatih dan tidak banyak bicara,” ujar Fahmi Idris.

Kata-kata itu membuat Ali Munawar semakin memberengut. Dia berdiri di atas tanggul dan memandang ke arah kapal pengangkut minyak itu dengan tatapan cemburu. “Hoi, bosun jahanam!” teriaknya seraya mengacungkan jari tengahnya.

“Benar-benar tidak ada gunanya,” celetuk Hasan Sanusi. “Meski kamu teriak sampai putus urat lehermu, siapa juga yang mau peduli? Kamu kira mereka akan mendengarnya? Hahaha! Kepala geladak itu juga sudah pergi. Kamu tidak tahu, kan?”

“Dari mana kamu tahu? Sok tahu kamu!”

Hasan Sanusi tidak peduli dengan ujaran Ali Munawar. Dia menyesap kopinya dan kembali memandang ke laut. Kapal pengangkut minyak itu tampak besar dan kaku seperti bangkai besi raksasa yang mengapung. Berjarak seratusan meter darinya, sekumpulan perahu nelayan terombang-ambing oleh ombak perariran teluk. Dua atau tiga kali dalam seminggu, sebuah kapal tanker melepas jangkar dan bersandar sehari semalam di bekas pelabuhan itu. Sembari menunggu waktunya melaut lagi dan muatan disedot dari terminal bahan bakar minyak, beberapa awak kapal akan mengaso di darat. Mereka singgah untuk minum kopi di lapak-lapak pedagang kaki lima yang berdesakan di sepanjang pesisir. Dulu—dulu sekali—tempat itu pernah berjaya. Ia adalah bandar laut besar pertama yang pernah ada di pulau itu. Sejak pelabuhan dipindahkan ke teluk yang lebih tenang, tempat itu hanya meninggalkan kenangan bersama pagar-pagar bangunan tua yang korosif, bau menyengat kencing tikus pesisir, bau amis-basah kondom bekas yang dicemplungkan di gelas plastik air mineral murahan, juga bau samar alkohol—sisa brem atau tuak yang tertinggal di botol terakhir para pemabuk kurang beruntung.

Barangkali karena membesar-besarkan alasan semacam itulah, pemerintah kota mengambil inisiatif penataan kawasan pesisir. Tidak tanggung-tanggung, seluruh bangunan—yang oleh seorang sejarawan lokal disebut sebagai ‘jejak-jejak peradaban’—diluluhlantakkan. Lantas, di atas ‘jejak-jejak peradaban’ itulah dibangun sebuah destinasi baru. Orang-orang mulai berniaga kembali di tempat itu. Mereka membuka lapak-lapak baru, menjual segala jenis makanan instan untuk melayani para pelancong lokal. Beberapa pelancong datang dari tempat yang jauh dan barangkali dituntun oleh cerita kejayaan masa lalu tanpa pernah membayangkan malam-malam yang dingin ketika sejumlah kuli angkut pelabuhan menahan lapar karena kapal yang menjadi harapan satu-satunya tidak kunjung datang.

Dari semua yang pernah ada dan dihilangkan itu, yang paling bertahan lama adalah bau menyengat bahan bakar minyak ketika para petugas pangkalan menyedot seluruh isi tangki di kapal berwarna biru itu. Dan Ali Munawar sangat membencinya; kebencian yang tidak selalu bisa dihindari karena dia kerap melihat kapal itu berada di sana.

“Tadi Pak Bosun minum kopi di sini, pagi-pagi sekali,” ujar Mustakim Tua yang datang dengan segelas kopi. “Ali, kemarin dua gelas belum kamu bayar, ya? Ingat itu!”

Ali Munawar meringis. Dia mengacungkan dua jempolnya kepada Mustakim Tua yang menatapnya dengan sinis.

“Sekelas mandor kapal, minum kopi cuma di lapak kaki lima,” Ali Munawar kembali menggerutu. “Kalian tahu, kan? Sama diri sendiri saja pelit, apalagi sama anak istrinya!”

“Kenapa kamu jadi sinis?” bantah Hasan Sanusi. “Justru dia itu tidak pelit sama sekali. Setiap bertugas ke sini, dia selalu mampir ke lapak orang-orang ini. Coba kamu tanya Pak Mus, berapa dia bayar hanya untuk segelas kopi saset. Mantap kan, Pak?”

Kini Mustakim tua yang mengacungkan jempolnya. Dia merogoh kantong celananya dan memamerkan selembar lima puluh ribuan kepada Ali Munawar. Ali Munawar mencibir, tidak ada satu kata pun yang bisa keluar dari mulutnya.

“Oh, ya,” ujar Mustakim Tua, “Pak Bosun ingin menyewa sepeda motor. Dia akan kembali lagi ke sini. Sepeda motor siapa yang kira-kira bisa disewa? Tadi dia titip pesan pada saya.”

“Sepeda motornya Ali itu sepertinya bisa,” celetuk Hasan Sanusi. “Ayo, cepat mainkan! Lumayan, harga sewanya cukup tinggi. Dijamin utang-utangmu bakalan lunas.”

“Saya sepakat. Sangat setuju,” timpal Fahmi Idris.

Ali Munawar meludah dengan keras. “Mending saya pingsan menahan lapar, ketimbang terima uang dari orang itu. Asal kalian tahu, saya juga tidak akan pernah menyewakan sepeda motor saya kepada siapa pun. Tidak akan pernah!”

“Astaga!” sindir Fahmi Idris. “Sekarang dia semakin idealis. Atau memang sudah kaya.”

“Hahaha!” Hasan Sanusi tergelak mendengarnya—dia berdiri, lalu jongkok seraya memegangi perutnya dan kembali terpingkal-pingkal. “Saya baru tahu, dia benar-benar seorang yang idealis.”

Hasan Sanusi baru berhenti tertawa ketika pandangan matanya terantuk pada sosok laki-laki yang sedang berjalan di kejauhan. “Lihat, siapa yang datang!” ujarnya kemudian.

Seketika ketiga orang itu menatap ke arah telunjuk Hasan Sanusi. Seorang laki-laki mengenakan uniform berwarna oranye, sedang berjalan mendekati mereka.

“Itu Pak Bosun. Bersiap-siaplah, siapa pun yang bersedia sepeda motornya disewa. Jangan menolak rezeki, jaman lagi susah!” kata Mustakim Tua seraya melangkah kembali ke lapaknya.

Itu Kamis siang yang panas dan lengang. Kursi-kursi plastik dan meja yang biasanya dipacak sepanjang pinggiran tanggul, dibiarkan menumpuk di sejumlah tempat. Para pelapak baru diperbolehkan membuka rombong atau etalasenya lagi pada Sabtu pagi. Kamis—terutama sore hingga malamnya—seluruh perniagaan libur di tempat seperti itu. Namun, itu tidak pernah berlaku bagi Mustakim Tua. Dia menolak sejak pertama kali peraturan itu dibuat oleh pemerintah kota. “Yang mau beribadah, silakan beribadah. Saya mau jualan dan itu juga ibadah,” katanya suatu kali ketika ditegur oleh seorang Polisi Pamong Praja.

Sikap seperti itu pernah juga diikuti oleh sejumlah pelapak kaki lima yang lain, tapi mereka tidak bisa bertahan lama. Pantai pelabuhan lama itu selalu terasa nyenyat ketika Kamis. Tidak ada yang akan memesan kopi atau mie instan kecuali mereka yang sengaja datang untuk menghindari keramaian, atau dengan alasan yang paling masuk akal mereka memang datang dari jauh dan harus berada di tempat itu ketika Kamis—dan Pak Bosun adalah salah satunya. Namun, kedatangan yang paling menyenangkan adalah Selasa, ketika dia bisa mencium segar-wangi aroma pupur tipis pada wajah Ida Zubaida. “Wajah yang eksotis,” demikian mandor kapal itu pernah mengatakannya sambil menatap Ida dengan lembut—dan Ida Zubaida tersipu malu waktu pertama kali mendengarnya.

Hanya laki-laki beraroma lambung kapal itu yang pernah mengatakannya. Barangkali para pemuda di perkampungan pesisir kota tua itu telah luput memperhatikannya sejak lama. Atau mereka enggan mendapatkan kemurkaan dari Rustam, kakak kandung Ida yang gemar menyabung apa saja—dan mengancam siapa saja—ketimbang pergi melaut seperti laiknya para tetangganya. Namun, Ali Munawar diam-diam mengincar Ida Zubaida. Bahkan demi mendekatinya, dia telah melakukan segala cara. Tidak mau kalah dengan awak kapal yang datang dari seberang, Ali Munawar kerap mengajak sejumlah pemuda tanggung duduk berlama-lama di lapak Ida Zubaida. Dia menjadi bos mereka ketika hari Selasa dan Ida Zubaida senang-senang saja menerima kedatangannya.

“Mana ada pedagang mengusir pelanggan setianya?” Fahmi Idris mengingatkannya pada suatu malam. “Tentu saja, Ida akan senyum-senyum gembira. Lagipula, dia memang bukan gadis angkuh. Tapi ingat, senyuman pedagang jangan sampai kamu artikan sebagi ajakan berselingkuh. Saya berani taruhan, Ida dan mandor kapal itu sudah punya hubungan yang istimewa.”

Namun, Ali Munawar bersikeras menyanggah. Dia malah menuduh Fahmi Idris tidak berpihak pada upayanya mendapatkan cinta Ida Zubaida. Ali Munawar bahkan belum bisa menerima kenyataan ketika sebuah sekoci membawa gadis impiannya itu ke kapal induk pada suatu siang; itu Jumat yang lengang dan suara khotbah para khatib belum lama hilang dari pelantang suara Masjid. Ali Munawar berteriak-teriak dan menuduh bosun itu akan mengajak Ida Zubaida berzina. Tidak ada yang bersedia mendengarnya, kecuali Mustakim Tua yang menyarankannya agar mengurus dirinya sendiri.

“Jangan asal bicara!” tegur Mustakim Tua ketika itu. “Sembarangan saja menuduh. Rustam sudah memberi ijin. Ida cuma penasaran, dia ingin tahu seperti apa di dalam sana. Lebih baik kamu urus dirimu sendiri sekarang.”

Ali Munawar muntab. Dia melucuti pakaiannya dan langsung menghambur ke laut. Dia pernah berenang ke sana dan berhasil menyentuh dinding kapal, tapi itu dulu, jauh sebelum peristiwa itu. Hari itu rupanya dia tidak siap. Baru saja setengah jarak tempuh, kakinya tiba-tiba tidak bisa bergerak—kaku dan kram. Seorang nelayan yang sedang memeriksa mesin perahu melihatnya. Kalau saja nelayan itu kalah sigap, dipastikan nasib Ali Munawar berakhir dalam gulungan ombak. Tidak ada peristiwa mencemaskan yang bisa diingat setelah itu. Ida Zubaida diantar kembali menjelang Magrib. Dia melambai hingga sekoci yang dikendarai laki-laki bosun itu merapat ke dinding kapal. Dia menunggu hingga klakson keberangkatan kapal melolong panjang hanya untuk melambai sekali lagi dengan senyumnya yang lepas.

Seminggu setelah peristiwa itu, Ida Zubaida dipinang. Dan malam selepas resepsi pernikahan, kepala geladak itu menghadiahi tiga krat bir untuk Ali Munawar dan kawan-kawannya. Dia menitipkannya lewat Rustam dengan sebuah pesan persahabatan. Namun, Ali Munawar tidak datang. Dia melampiaskan rasa kehilangannya kepada seorang perempuan paruh baya yang kerap mangkal di kompleks pelacuran dekat Kasanofa Karaoke—sebuah tempat yang jauh dari pantai dan orang-orang yang tidak mempercayai hasratnya yang terpendam kepada Ida Zubaida.

Sejak saat itu, kebencian—sekaligus kecemburuan—Ali Munawar terhadap laki-laki bosun itu berlipat-lipat. Dia tetap datang ke pantai pelabuhan lama, meski tidak sesering biasanya. Rupanya dia telah mencatat jadwal kedatangan kapal minyak itu dan berharap dirinya tidak harus berada di sana pada hari-hari tertentu. Namun, ada kalanya kapal terlambat datang atau tiba sehari lebih cepat dan itu di luar perhitungan Ali Munawar. Belakangan, dia malah kerap terjebak di tempat itu—duduk melingkar di larut malam, bermain gaple dengan taruhan-taruhan kecil, lantas merayakannya dengan menenggak minuman keras.

Semalam, dia bernasib sial. Dia tidak bisa memenangi satu kali putaran pun. Ketika lingkaran kecil itu bubar, dia dan Hasan Sanusi masih bertahan. Mereka sama-sama meracau sampai dini hari, sampai Hasan Sanusi mengajaknya bertaruh tentang kedatangan kapal pengangkut minyak itu. Mereka duduk di tanggul penahan ombak, mengamati lautan, lalu bergantian menuang brem pada gelas bekas air mineral murahan sebelum kemudian menenggaknya cepat-cepat. Namun, kapal yang ditunggu-tunggu itu tidak muncul juga. Ali Munawar berjalan sempoyongan dan menyelinap di antara lapak-lapak kaki lima. Dia baru bisa tertidur setelah isi perutnya terkuras habis akibat muntah.

“Kamu yakin tidak mau menyewakan sepeda motormu?” bisik Hasan Sanusi. “Ojek lagi sepi, lumayan kalau kamu mau. Ya, minimal nanti malam kamu bisa beli sebotol dua botol bir.”

Ali Munawar menatap Hasan Sanusi seraya mencibir. Sementara, laki-laki bosun itu semakin mendekat. Dia tersenyum ramah dan melambai ke arah mereka. Ali Munawar membuang pandangannya ke tempat lain.

“Bagaimana?” tanya Mustakim Tua ketika laki-laki bosun itu sudah duduk di lapaknya. “Siapa yang sepeda motornya bisa disewa?”

Hasan Sanusi dan Fahmi Idris menatap ke arah Ali Munawar. Ali Munawar menggeleng.

“Pak Bosun tidak hanya butuh sepeda motor, tapi sekalian sama jokinya,” tambah Mustakim Tua. “Nanti harga sewanya dua kali lipat, yang penting mau mengantarnya ke suatu tempat. Kepalanya sedang pusing soalnya.”

“Sayang sekali saya tidak bawa sepeda motor,” ujar Hasan Sanusi.

“Itu sepeda motor siapa?” tanggap laki-laki bosun itu.

Fahmi Idris mengernyitkan dahinya. Dia menoleh ke arah laki-laki bosun itu. Tampak ragu-ragu sejenak, kemudian dia berkata,”Itu sepeda motor saya.”

“Nah!” sela Mustakim Tua. “Bisa disewa, kan?”

Fahmi Idris kembali mengernyitkan dahinya. Laki-laki bosun itu menatap Fahmi Idris dengan penuh harap. Lalu, tanpa berbicara sepatah kata pun, Fahmi Idris berjalan menuju sepeda motor yang terparkir di samping tanggul itu. “Ayo berangkat!” katanya seraya menyalakan mesin.

Laki-laki bosun itu tersenyum senang. Dia berdiri dan bergegas menyambut ajakan Fahmi Idris.

* * *

Fahmi Idris sedang menyesap kopinya yang dingin dan hampir tandas ketika Ali Munawar datang dan langsung duduk di sampingnya. “Kopi satu!” ujarnya kepada Mustakim Tua. “Nanti yang bayar bos ini, ya. Uangnya pasti banyak, habis disewa juragan minyak soalnya.”

Fahmi Idris tidak begitu menggubris. Dia menoleh sekilas, lalu kembali membakar rokoknya yang sudah padam di bibir asbak. Lampu-lampu di sepanjang bekas pelabuhan itu mulai dinyalakan. Menjelang Magrib dan cuaca cukup cerah sehingga para pengunjung bisa menikmati pemandangan matahari tenggelam lebih lama dari biasanya.

“Kemarin dia minta diantar ke mana?” tanya Mustakim Tua sambil menyodorkan segelas kopi pesanan Ali Munawar.

“Paling-paling ke panti pijat!” celetuk Ali Munawar.

“Ngawur!” bantah Fahmi Idris. “Asal bicara saja kamu. Memangnya apa yang kamu tahu tentang dia?”

Ali Munawar meringis. Dia meniup kopi sasetnya yang masih hangat dan mulai menyesapnya dengan suara keras. “Semua orang juga tahu,” ujarnya kemudian. “Mereka butuh hiburan, butuh senang-senang. Bukan saya saja yang bicara seperti itu. Coba tanya Hasan itu, dia juga pernah mengantarnya. Ke mana lagi kalau bukan ke seputaran tempat itu?”

“Ya, saya memang mengantarnya ke daerah itu,” tanggap Fahmi Idris.

“Benar seperti itu, ya?” timpal Mustakim Tua. “Apa masalahnya? Pijat itu bagus untuk memulihkan kesegaran badan. Habis pijat, badan teras enak, kan? Bisa tidur nyenyak sebelum melanjutkan perjalanan.”

“Hahaha!” Ali Munawar terbahak. “Ya, memang enak, Pak. Apalagi kalau pijat plus plus. Hahaha!”

Kening Mustakim Tua berkerut-kerut. Dia memandang Ali Munawar dengan tatapan tidak mengerti. Lalu dia menoleh kepada Fahmi Idris seolah mencari jawabannya. Fahmi Idris menggelengkan kepalanya.

“Sebenarnya saya tidak mau bercerita,” ujar Fahmi Idris kemudian. “Tapi, agar si mulut besar Ali ini tidak sembarangan menuduh, lebih baik saya jelaskan saja. Tidak semua orang yang ke sana itu tujuanya pijat, tapi ada juga yang berobat. Kamu tahu, di samping panti pijat itu ada sebuah gang kecil. Masih satu kompleks dengan bangunan itu, di bagian belakang, ada praktik pengobatan alternatif. Herbal pokoknya…”

“Terus?” sela Ali Munawar.

“Sudah saya bilang, saya mengantarnya ke sana. Ke tempat pengobatan herbal itu. Saya malah dibiarkan menunggu. Dan dia tidak malu-malu menceritakan sesuatu yang sebenarnya rahasia. Bagaimana pun, karena saya ada di sana, akhirnya saya tahu juga rahasianya,” jelas Fahmi Idris.

Ali Munawar dan Mustakim Tua saling pandang dengan wajah tidak mengerti. Fahmi Idris berhenti untuk menyesap kopi dan mengisap rokoknya. Kedua orang itu menunggu dengan penuh harap, seolah-olah Fahmi Idris akan menceritakan bagian yang paling menakjubkan.

“Dia ke sana untuk berterima kasih, sekaligus mengambil resep terakhirnya,” jelas Fahmi Idris. “Pengobatannya selama ini berhasil dan dia sangat senang. Nah, karena itulah, dia ingin memberi bonus uang tambahan kepada tabib itu.”

“Memangnya dia sakit apa?” tanya Ali Munawar polos.

Sambil berdiri, Fahmi Idris menggerus puntung rokoknya di dasar asbak. Dia menoleh ke arah Ali Munawar barang sejenak lalu mengamati kapal pengangkut minyak yang sedang bersiap-siap berangkat. Klakson keberangkatan pun berbunyi—melolong panjang beberapa kali. Kedua alis Fahmi Idris mengerut.

“Burungnya tidak bisa berdiri,” ujar Fahmi Idris sambil menggerak-gerakan telunjuknya. “Tapi sudah sembuh. Makanya dia sangat senang. Dan ini minggu terakhirnya mampir ke tempat ini. Bulan depan dia dipindahkan ke kapal lain. Pelayarannya lebih jauh katanya.”

“Pak Bosun tidak ke sini lagi?” tanya Mustakim Tua penasaran.

Fahmi Idris menggeleng. Sementara itu, Ali Munawar justru tergelak. Dia berdiri dan memandang kapal pengangkut minyak yang pelan-pelan mulai meninggalkan bekas bandar laut besar itu.

“Saya senang, saya senang!” teriak Ali Munawar. “Burungnya tidak bisa berdiri. Dasar laki-laki lemah. Lemah, hahaha!”

Sejumlah pengunjung menoleh kepadanya, tampak keheranan sekaligus geram. Namun, Ali Munawar tidak peduli.@

Ampenan, 2021

 

Facebook Comments