Diorama Kecemasan
Aku masihlah hanger di gagang gantungan menunggu bahu sepotong kemeja, ketika bahkan kau lebih suka menyetrika dan melipatnya; kapur barus di sudut almari begitu ikhlas mengauskan diri, seraya terus bertanya, kurang sublimkah semua ini?; masihlah pas foto masa kecil di meja kerja, kenangan yang demikian ingin kau ingat saat kau sibuk menjadi dewasa;
Plaster dan obat merah dalam kotak p3k, diam-diam berdoa supaya lutut atau telunjukmu tak berdarah, walau luka justru akan membuat kau ingat, aku ada bagimu sebagai juru selamat; masihlah sebuah jendela yang setia meghitung waktu, mengamati kepulanganmu, sembari terus mengutuk diri, “mengapa hidup tak menjadikanku pintu?” Aku hanya ingin tercipta sebagai semacam benda yang menyambut dan kau tuju kali pertama.
Masihlah buku-buku dongeng masa kanak-kanak yang kini berkerak-debu di lajur sebuah rak mini milikmu, kisah-kisah mitos penuh keajaiban yang ingin kembali kau percayai, ketika ilmu pengetahuan acap kali tak bisa selesaikan pelik hidup yang kau alami; atau, hanya sebuah puisi cinta yang tak dapat mengubah apa-apa, berharap akan kautandai dalam sebuah buku — yang bahkan tak pernah meletakkan hati kita, pada satu halaman yang sama.
Aku Merindukanmu, Masih
: Kepada Sindy Novia
I.
Hanya sayup kendaraan di kejauhan.
Dan kenangan yang melompat dari nganga jendela,
hinggap di kedalaman kepala.
Kutoleh ke arah ponselku, dingin dan bisu.
Bayangmu, liuk asap yang hampa,
bahasa lain dari fana.
Dan rindu, napas yang memberat di paru-paru,
di antara keinginanku menyulut ulang
berpuntung-puntung dirimu, sekali lagi.
II.
Hanya nyala lampu di gedung-gedung jauh,
bintang-bintang di langit teduh,
dan kenangan yang melompat ke nganga jendela.
Di sini, di larik-larik sajak picisan ini,
di tengah-tengah kota yang beranjak ke ranjang tidurnya,
aku kata-kata, yang masih terus menyala,
masih sayup kendaraan, berderum di kejauhan,
masih ponsel dingin dan bisu, menunggu pesan darimu,
masih puntung-puntung tumbang, terus kusulut ulang.
2021
Ilusi-Ilusi Tengah Malam
Setiap tengah malam, ingatan menjelma alarm,
berdering nyaring membangunkan
kenangan yang pulas tertidur di ranjang masa lampauku.
Aku terbangun setengah mengigau, menyebut-nyebut nama kau.
Demam berenang-renang di lengang keningku, membuat
isi kepala menyerupai kekacauan kota, yang mencintai huru-hura.
Berjalan sedikit terhuyung, aku menuju wastafel
dan raut wajah telah sekumel selembar hand towel.
Kudapati sebuah cermin memantulkan sisi lain gelap diri.
Ia membisikkan kata-kata, menisik cemas ke dalam dada:
“Ia telah tandas, ia sudah pungkas, ke dalam rahasia!”
Lalu kupahami: melupakanmu tak ubahnya memandang
ke sebuah cermin — tak bisa kumengelak, sekalipun aku ingin.
Kutelan beberapa butir pil tidur sekaligus, berharap bayangmu
bakal terhapus, tetapi ia menyelinap ke dalam mataku
merupa hembus angin dan gerimis yang melebat di luar jendela,
dan kau berkelebat sebagai reranting pohon yang mengetuk-ngetuk
di luar sana. Kemudian kecemasan henti berkelesik,
ia malih sebagai bunyi yang mericik dari sunyi kamar mandi,
“Yang tak mampat tertutup itu adalah keran, ataukah
mungkin sesuatu yang memang bocor di pipa ingatan?”
2021