PEMENTASAN Teater Monolog Drupadi, Sabtu (3/6/2023) di Gedung Kesenian Jakarta, merupakan suatu upaya menghadirkan drama-drama dalam kisah klasik sebagai tragedi baru. Isu tentang perempuan mendapatkan porsi perhatian dominan dan dipresentasikan dalam bentuk monolog, koreografi, nyanyian, musik, tata cahaya, serta permainan teknologi visual. Kemungkinan itu dilakukan untuk mendekatkan panggung pertunjukan dengan kenyataan hidup masyarakat modern belakangan ini.
Pertunjukan ini menjadi lebih istimewa karena kehadiran Ibu Negara RI ke-4 Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga, Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset & Teknologi Hilmar Farid, dan Deputi Bidang Pemasaran Kemenparekraf Ni Made Ayu Marthini, serta Dubes RI untuk Italia (2017-2021) Esti Andayani. Selain itu hadir pula sastrawan Putu Wijaya, penari Nungki Kusumastuti, dan pendiri Teater Koma Ratna Riantiarno.
Hilmar Farid mengatakan pentas Teater Monolog Drupadi memberi perspektif baru dalam memandang perempuan.
“Pentas ini telah memberi kita cara pandang baru terhadap perempuan. Ia berangkat dari masa lalu dan membawa nilai-nilai yang harus kita perbaharui terus-menerus,” ujar Hilmar Farid saat memberi sambutan pengantar sebelum pentas, Sabtu.
Dalam kesempatan memberikan kata penutup Sinta Nuriyah mengatakan bahwa begitu banyak terjadi pelecehan terhadap perempuan. “Itu yang harus kita lawan terus-menerus. Sekarang ini begitu banyak kasusnya. Pentas tadi telah memberi pencerahan kepada kita, terutama untuk laki-laki, bagaimana seharusnya kita memperlakukan perempuan,” katanya.
Dalam kesempatan terpisah Bintang Puspayoga mengatakan, materi yang disajikan Teater Monolog Drupadi, sangat relevan dengan isu perempuan hari ini. Meski mengambil latar cerita pada epos Mahabharata, tetapi isu tentang perempuan yang tersakiti masih harus aktual untuk dibicarakan.
“Pentas yang mengesankan, sejak adegan awal sampai akhir saya menangis terus. Ingat betapa perempuan itu menderita sejak masa lalu sampai hari ini,” kata Bintang Puspayoga, Minggu (4/6/2023) di Jakarta.
Salah satu adegan pementasan monolog Drupadi (3/6/2023)
Masyarakat mewah
Menurut Sutradara dan Penulis Naskah Teater Monolog Drupadi Putu Fajar Arcana, kemegahan dan kemewahan hidup masyarakat modern, justru tidak membantunya beranjak dari perbuatan di luar batas-batas logika. Bahkan, prilaku amoral dilakukan oleh orang-orang yang diberi tugas menjaga batas-batas kewarasan sebagai makhluk bernama manusia. Celakanya, dalam rangkaian prilaku bejat itu sebagian besar menimpa perempuan.
“Drupadi adalah representasi dari kehancuran moralitas manusia terendah yang pernah menjadi isu dalam dunia sastra kita. Sebagai perempuan tubuhnya dieksploitasi oleh dua kekuatan dominan di dunia, yakni maskulinitas dan kekuasaan atau masculinity is power,” ujar Putu dalam jumpa pers menjelang pertunjukan Teater Monolog Drupadi, Jumat (2/3/2023) di Gedung Kesenian Jakarta.
Menurutnya, tidak mudah untuk mencairkan kekuatan dominan, yang telah melekat selama berabad-abad. Ia memberi contoh betapa maskulinitas dan kekuasaan itu telah menyebabkan begitu banyak kasus tentang pelecehan terhadap perempuan. Kasus-kasus pelecehan secara seksual dan kekerasan terhadap perempuan seperti gunung es, yang hanya terlihat puncak-puncaknya.
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan bahwa sepertiga perempuan di dunia, atau sekitar 736 juta orang, pernah mengalami kekerasan dari kekerasan fisik sampai kekerasan seksual. WHO telah menganalisis data hasil survei di 161 negara antara tahun 2000 sampai 2018 untuk menghasilkan estimasi terbaru. Namun, riset mereka belum memasukkan data selama pandemi Covid-19.
Hal yang mencengangkan, data WHO menyebutkan kekerasan oleh pasangan sebagai bentuk pelecehan yang paling banyak dilaporkan.
Sekitar 641 juta perempuan mengaku pernah mengalami kekerasan dari pasangannya. Selebihnya, 6 persen perempuan mengatakan mereka pernah diserang oleh orang lain, yang bukan suami atau pasangan mereka.