LELAKI muda itu berjalan sendiri, menyusuri trotoar pertokoan yang ramai sekali. Langkahnya cepat dan tegap. Pandangan ke jemari kaki menatap. Orang-orang yang berpapasan menyeruak memberi lelaluan. Tak ada yang berani dekat. Melihatnya, wajah mereka pasi dan pucat.
Tiba-tiba, ia berhenti di depan sebuah toko perhiasan. Memejamkan mata, ke langit tengadah kepala. Kedua tangan terangkat, mulutkomat-kamit. Ia seperti sedang berbicara, tapi entah dengan siapa. Dari kejauhan, ia seperti seorang aktor pentas sandiwara tuna rungu yang sedang memerankan sebuah cerita.
Lama ia begitu, di situ; Orang-orang menatap menunggu.
Tubuhnya hebat bergetar, mulut meracau hingar-bingar; Orang-orang menanti dengan dada berdebar, pandang terbuka lebar.
Mata lelaki muda itu mulai berwarna darah, lidah mulai basah oleh air ludah; Orang-orang mulai resah,hati mereka gelisah.
Dentuman petir tunggal terdengar menggelegar; Tubuh lelaki muda itu menggelepar; Orang-orang memekik, lutut mereka menggeletar.
Melihat itu, semua pengunjung dan karyawan toko perhiasan bergegas keluar satu persatu, dengan langkah cemas,takut dan terburu-buru. Bibir mereka kehilangan darah; mulut kehilangan hujjah. Mereka memilih berselindung di punggung kerumunan orang yang memenuhi jalan, menyaksi dari kejauhan. Mereka ingin tahu, apakahsesungguhnya yang terjadi?
Sedang pemilik tokoterlihat senang tak kepalang. Bahkan, ia langsung mencabut laci duit dari bawah meja besi berkunci, dan meletakkannya di atas etalase kaca, tempat yang lebih mudah mengambil isinya. Jumlahnya banyak sekali. Berkebat-kebat. Dolar Amerika dan Singapura semua,rupiah tak ada. Ia berharap, duit itu diambil dijarah oleh lelaki muda itu. Sebab ia percaya, lelaki muda itu membawa keberkahan bagi sesiapa saja yang diambil dijarah olehnya. Pemiliknya akan berlimpah rezeki, semakin kaya. Begitu keyakinannya. Setelah itu, perlahan-lahan, ia beringsut pergi lewat pintu belakang.
Namun, belum sempat ia berkelebat, lelaki muda itu keras memanggil. Suaranya terdengar seperti membentak,parau dan serak. Pemilik toko tak berkutik, peluh takut deras menitik. Bahkan, saking takutnya, ia sampai terkencing dalam celana.
“Keluarkan… Keluarkan….” Lelaki muda itu menunjuk-nunjuk etalase yang berisi bermacam bentuk perhiasan.
Pemilik toko sangat terkejut.Tidak cukupkah yang di laci itu?Bukankah jumlahnya sudah banyak sekali?Alisnya terlihat bertaut, kening berkerut dan ubun-ubun tak berhenti berdenyut. Namun, tersebab dikungkung takut, ia menurut. Dan setelah terkumpul, semua perhiasan dimasukke dalam lima kantong kain tebal ukuran sedang.
“Semua… Semua…”
“Sudah habis, Tuan Faqih.”
“Di atas… Di atas… Semua… Surat-surat… Buku Tabungan… Berangkas… Semua… Semua… Di badan tidak…”
Pemilik toko itu betul-betul terperanjat. Namun, dengan terpaksa ia beranjak ke lantai atas. Di sana, ada tiga meja kerja pembuat perhiasan. Ketiganya masih saudara. Di sana, emas permata berserakan, baik yang sudah jadi maupun masih bahan. Ketiga saudaranya itu pun mengumpulkan semua. Sedang istri dan anaknya mengurung diri di kamar, menangis ketakutan.
“Tuan Faqih minta semua, kecuali yang di badan.Yang ini pakai saja, Momo, harganya teramat mahal,” ujarnya.
“Jangan. Dia pasti tahu, Koko.Nanti kita malah susah,” ujar istrinya.
Ia menerima. Pasrah. Mereka pun mengumpulkan semua: dua kantong kain tebal ukuran sedang. Kantong itu dibawa ke bawah dan diserah.
“Sudah… Sudah…”
Lalu, lelaki muda itu keluar, dan memilih sebuah kendaraan untuk membawa. Pemilik kendaraan dipanggil, dan datang dengan berurai airmata.
“Bawa… Bawa… Hantar Wahab… Wahab…”
Dengan peluh bercucur di badan, bergegas pemilik kendaraan memasukkan dan membawa isinya ke rumah Pak Wahab, tanpa banyak tanya. Di belakang, dua orang adik pemilik toko perhiasan itu mengikuti. Toko mereka persis berseberangan.
Tapi, mengapa ke rumah Pak Wahab? Memang, semua orang tahu siapa Pak Wahab dan di mana rumahnya.Tapi, mengapa rumah Pak Wahab yang dipilih Tuan Faqih? Belakangan barulah orang tahu, ternyata lelaki muda itu hampir saban pagi ngopi di rumah itu. Alangkah beruntungnya Pak Wahab. Pantaslah…
Setelah kendaraan pergi dengan kecepatan tinggi, lelaki muda itu pun juga pergi. Ia melenggang santai, jubah dan surbannya melambai-lambai.
(Kata pemilik kendaraan dan kedua adik pemilik toko perhiasan,ketika mereka sampai di rumah Pak Wahab, lelaki muda itu sudah ada di sana. Ia duduk santai di lantai, menghirup kopi. Sendiri, tak ada yang menemani.Padahal, di rumah Pak Wahab ada tujuh orang anak bujang. Bahkan ada yang seumuran dengannya. Namun, semua mereka pergi. Nak berdekat-dekat tak ada yang berani)
“Beruntung Koko Liong. Orang baik berpadah baik. Tinggal nunggu hari, semua akan balik lagi. Dan lebih banyak. Mewah… Mewah…”
“Belum tentu. Ingat kedai kopi Yong Dolah? Tuan Faqih singgah, lalu menunjuk-nunjuk kedai itu dengan hamun berkecaibak ludah. Seminggu sesudah itu, hangus semua jadi abu. Tak bersisa, selain baju di badan.”
“Itu ditunjuk dihamun. Beda, ini disamun. Kalau disamun, biasanya alamat baik. Macam Rumah Makan Long Hera, toko Buyung, Cafee Tarak Abah, dan banyak lagi. Aah, kita tengok sajalah nanti.”
Lawan bicaranya terdiam, tak berani lagi bersuara.
Tak lama, polisi datang. Rupanya mereka dapat laporan, toko perhiasan itu disamun. Dan penyamunnya masih muda. Sebagian dari polisi berpakaian preman ala anak punk. Tapi, orang tetap tahu mereka (intel) polisi, sebab ‘paha ayam’ tersembul di pinggang. Menakut-nakuti.
Mereka bertanya kronologis peristiwa, jumlah penyamun, jumlah kerugian dan lain sebagainya.Pemilik toko terkejut mendengar semuapertanyaan itu.
“Pak, Tuan Faqih yang tadi kasi ambil semua, Pak. Apa boleh kita olang bilang itu pelampokan?”
Mendengar nama itu, polisi terpana dan saling pandang.
“Ke mana dibawa?”
“Rumah Pak Wahab, kata Tuan Faqih.”
Mendengar nama itu, mereka tercengang dan kembali saling pandang. Lalu, setelah pura-pura sibuk memeriksa itu ini, mereka berangsur pergi, satu demi satu. Orang-orang memandang dengan senyum sumbang.
Dan malamnya, kebakaran hebat terjadi di sana. Tiga toko hanya bersisa puing batu saja. Isinya tandas semua. Sedang toko sekitar yang ketakutan, melemparkan semua barang jualan ke jalan, untuk menyelamatkan. Namun hal itu malah mengundang aksi penjarahan yang dilakukan banyak orang yang menyaksikan. Kecuali toko perhiasan itu, barang perhiasannya telah aman tersimpan.
***
Kedai tenda Bang Budi terlihat sepi dan nelangsa. Aneh. Padahal beberapa motor parkir di sana. Bahkan ada sebuah mobil juga. Waktu aku menjengah, di atas meja panjang itu belasan cangkir kopi masih utuh. Pada kemana orangnya?
“Assalamu’alaikum…”
“Alaikumsalam…”
Seorang lelaki kurus tua renta yang menjawab, sebelum menghirup kopinya dengan nikmat. Ia mengenakan jubah putih lusuh, dan sebuah surban di kepala berlabuh. Hidungnya mancung, mata tajam cekung, alisnya lebat bersambung.
Malam ini lumayan dingin, aku harus bersembunyi dari angin. Aku pun mengingsut sebuah bangku, memilih duduk di dekat tungku. Hangatnya tentu akan membantu. Di atasnya sebuah cerek besar bertenggek jumawa. Tak mewek, walau terus diganggang bara.
“Bang Budi?”
“Pergi… Pergi…”
“Pergi?”
“Ngopi?”
“Iya.”
“Bikin… Bikin…”
“Bikin sendiri?”
Ia anggukkan kepala; hatiku penuh tanya. Siapakah gerangan lelaki kurus tua renta ini?
Ia menyeruput kopi itu lagi, menggelegak berbunyi. Ia terlihat happy dan santai sekali. Kakinya sebelahkanan diangkat, paha lutut lurus di depan dada. Dan saban ia menghirup kopi, tangan kanannya bersanggah ke lutut kaki itu. Aku terkesiap mengamati.
“Bikin… Bikin sendiri.”
Aku seakan tak dapat menolak, lalu berdiri tegak, dan mengambil sebuah cangkir dan piring alas. Lalu, aku memasukkan sesendok mujung kopi hitam dan sesendok gula ke sana. Dan selepas diseduh dengan air tanak dari cerek di atas tungku berbara, bau kopi itu merebak. Lelaki kurus tua renta itu pun menghidu uapnya. Lama…
“Saya Hamzah, Pak Tua. Belum lama di sini. Saya ngontrak di Desa Wonosari, Jalan Subrantas, rumah kontrakan Cik Jali.”
“Iya… Hamzah…”
“Dan saban malam, sebelum berkokok ayam, saya terbiasa keluar, setelah mandi taubat. Kadang langsung ke masjid mushala, kadang singgah dulu minum kopi, seperti malam ini. Saya salah seorang pelanggan tetap Bang Budi.Bapak?”
“Ghani… Abdul Ghani…”
“Bapak orang sini?”
“Iya… Eh, tidak juga. Saya lahir di Lukit, Merbau.Engkau?”
“Saya dari Tapanuli, Mandailing Natal, Pak Tua. Ayah Harahap, mak Batubara. Sedari kecil hingga besar saya mondok di berbagai tempat, dengan berbagai guru syariat dan makrifat.”
“Apakah engkau memang suka memakai kurtah dan peci di kepala?”
“Iya, sedari dulu lagi, semenjak nyantri.”
“Apakah engkau lahir tak bernajis, tak berdarah?Apakah ketika bayi, sepasang ketitir sering menyanyikanmu di dalam buaian?”
“Entahlah, saya pun tak tahu.Tapi mak memang pernah bilang begitu.Eh, bolehkah saya memanggil bapak dengan panggilan Aki, Aki Ghani?”
Sebelum menjawab, tiba-tiba lelaki tua itu berdiri.Raut wajahnya aneh sekali.Ia menatapku tajam, matanya pisau yang menikam. Aku bergidik, tak berani mendelik.
“Siapa engkau sebenarnya? Siapa?”
“Masyaallah… Ada apa, Aki? Saya Hamzah, Aki. Hamzah! Hasbunallah…”
Lama kami bertatap mata, sebelum ia kembali duduk dan menghela napas sepanjang-panjangnya. Dari mata, air telah mewudhu wajahnya. Ia pun meneguk kopi lagi, dengan mata terpejam. Kepalanya tertunduk dalam.
“Ajib. Sedari muda aku enggan banyak bicara.Tapi denganmu, malam ini, aku merasa boleh lepas bebas bicara, sesuka-sukanya.Aku merasa terlepas dari semua beban derita dan dera kata-kata. Dan yang paling menggembirakan, aku suka engkau memanggilku Aki, Aki Ghani.”
Aku memegang ujung jemari tangannya; lembut, sejuk dan basah.
“Maafkan saya, Aki Ghani.”
“Sepertinya, setelah malam ini, tugasku membawa perjalanan ini menuju bibir pantai sudah selesai. Awalnya, aku kira, umur ini tak kan sudah-sudah didera.”
Aku tak berani menyahut, memilih mengunci mulut. Dan dengan jernih, ia pun bercerita tentang masa telah, sedang, dan akan datang.
“Sedari remaja hingga kini, aku selalu dihantui. Saban aku berkata-kata selalu berpadah pada lawan bicara. Bisa baik, selalu sebaliknya. Karenanya aku tak berani lagi banyak bicara. Lalu, aku menukar kata-kata dengan laku.Tapi rupanya, hasilnya lebih kurang sama saja. Orang-orang tetap saja takut berdekat-dekat, apatah lagi berbincang denganku. Mereka takut ada akibat buruk dalam laku dan kata-kataku atas mereka. Aku begitu didera oleh laku dan kata-kata itu. Sebagian dari mereka sampai sempat menyebutku “Tun Majnun”, sebelum memanggil dengan nama“Tuan Faqih” saja.”
“Tuan Faqih?”
“Iya. Tuan Faqih. Rupanya, engkau pun sudah mendengar nama itu.”
“Oh, Akikah Tuan Faqih itu? Faqih Ghani!”
Mungkin tersebab hangat api tunggu, dari kepala tiba-tiba bercucur peluh, membasahi rambut, tengkuk dan keningku.
“Akulah yang dipanggil begitu, Hamzah.Tapi aku tak peduli dan tak mau tahu.”
Lalu, kami pun berbincang tentang banyak hal. Tentang dia. Tentang aku. Tentang amalan. Tentang Tuhan. Tentang pulau ini. Tentang negeri.Tentang pemimpin.Tentang berbagai hal. Dan sedikit demi sedikit aku menjadi suka bersembang dengannya. Aki orangnya santai, tapi tak suka perkara lalai.
Dan hingga kokok ayam jantan mengoyak senyap malam, Bang Budi dan pemilik kendaraan di parkiran belum juga kelihatan.Tapi aku memaklumi, setelah mengetahui. Lalu, kami pun memilih pergi dari situ, berdua, masjid di pusat kota yang kami tuju.
“Insyaallah, sejak malam ini, aku tak akan kesepian dan didera laku dan kata-kata lagi. Aku telah menemukan seorang kawan, dan kata-kata telah bebas lepas kuucapkan,” ujarnya. Senyumnya lebar, cahaya di wajahnya berpendar.
Itulah perjumpaan pertama dan terakhirku dengannya. Setelah itu, tak terdengar lagi kabar berita. Aki Ghani seolah hilang begitu saja, dan tak ada orang yang merungsingkannya.
Dan entah oleh kekuatan dari mana, sejak malam itu,aku pun berpenampilan seperti dirinya: jubah putih, surban melilit kepala, kemana pun jua kaki ini dilangkahkan. Dan itulah mulanya aku begitu didera oleh laku dan kata-kata, hingga kini. Sebab rupanya, setiap laku dan ucapku telah berpadah pada lawan bicara. Bisa baik, selalu sebaliknya. Aku merasa kesepian sekali.@