(Catatan ke-3 tentang Buku dan Santri)
Sekelompok santri—sekitar 6 atau 7 orang, berjalan menuju kelas. Jam menunjukkan pukul 9 malam, artinya mereka telah menuntaskan makan malam di ruang makan. Setiba di kelas, seorang santri memasang 2 buah bola lampu. Satu santri lain, merapikan meja serta bangku. Seorang santri lagi, terlihat lebih senior, menaruh beberapa buku, peralatan tulis, beserta penghapus di atas meja.
Tidak sehingar kegiatan program bahasa dan amtsilati. Tidak seramai variasi tabuhan tim hadrah yang begitu digandrungi. Tidak sesemarak tepukan tangan penonton ketika ada klub bola yang bertandang ke pesantren. Tidak semeriah perhelatan haflah yang dibiayai, diapresiasi, dan dibanggakan setiap tahunnya.
Sekelompok santri itu rela menekuni ‘jalan sunyi’—istilah ini, saya pikir, jauh lebih halus untuk tidak menyebutnya sebagai suatu hal yang terabaikan—untuk saling belajar, berdiskusi, dan berbagi pengalaman.
Jalan sunyi itu bernama: Forum Pena Pesantren
Forum Pena Pesantren (FPP) berdiri pada tanggal 20 Agustus 2007. Penggagasnya ialah 2 kakak kelas saya kala itu: M. Noor dan Zian Armie Wahyufi. Berawal dari hobi yang sama, keduanya memulai kegiatan pertemuan di setiap minggunya. Tak hanya itu, keduanya juga mengajak adik kelas untuk turut bergabung. Dilansir dari akun blognya yang kini sudah lama tidak aktif, FPP didirikan atas niat kebersamaan antarsantri Al-Falah Putera yang memiliki minat di dalam dunia kepenulisan, terutama bidang sastra. Dengan adanya organisasi ini, diharapkan akan tumbuh bibit-bibit penulis berbakat dari Pondok Pesantren Al Falah.
Dengan slogan ambisius “Imagination is more important than knowledge” yang dikutip dari ucapan fisikawan Albert Einsten, FPP hadir tanpa Surat Keputusan resmi dari pihak pesantren. Semacam komunitas ‘underground’ yang belum jelas kelegalannya. Hadir, tetapi tidak sepenuhnya diakui. Bahkan, boleh jadi juga dianggap menentang. Tidak pula ada sosok penanggung jawab maupun pengarah yang bersedia untuk mendampingi komunitas kepenulisan santri ini—setidaknya, sampai saya lulus dan menjadi alumni.
FPP berdiri secara mandiri, independen. Setiap programnya ‘dijalankan oleh santri dan untuk santri’. Untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti isi ulang spidol, fotokopi materi, sedikit makanan ringan, serta langganan majalah, FPP memberlakukan iuran rutin bulanan sebesar 5 ribu rupiah kepada setiap anggota aktifnya. Iuran itu dikelola dan dimanfaatkan demi keberlangsungan komunitas kecil ini.
***
Kendati demikian, dengan segala keterbatasan, FPP boleh dikatakan cukup berhasil mengader penulis baru yang diperhitungkan di kalangan cerpenis dan penyair Kalimantan Selatan.
Sebut saja salah satunya, Arief Rahman Heriansyah. Saya ingat sekali betapa produktifnya ia semasa menjadi santri. Ia kakak kelas yang membuat kami, adik kelas di bawahnya, merasa iri dan termotivasi. Tulisannya, baik berupa cerpen maupun puisi, hampir setiap pekan dimuat di koran lokal secara bergantian. Jika pekan ini di Banjarmasin Post, pekan berikutnya Radar Banjarmasin, pekan setelahnya lagi di Media Kalimantan. Lebih dari itu, tulisannya kerap memenangkan berbagai perlombaan yang diselenggarakan kampus, seperti Universitas Lambung Mangkurat dan Komunitas Forum Lingkar Pena Banjarmasin.
Saya bisa menyebut banyak nama-nama lain yang memiliki produktivitas menulis pada masa itu yang diapresiasi media koran lokal: Farid Ma’ruf, Nuril Azmi Badali, M. Ansyar, Zian Armie Wahyufi, M. Noor, Agung, Ilham, Radiansyah, Kamal, Aziz, Syarief, Syarwani, Zaini, Abdurrahman.
Meski statusnya ‘wujuduhu ka adamihi’ FPP terus bergiat sepanjang waktu.
Sekolah Menulis merupakan salah satu program yang membawa FPP keluar dari pesantren. Program ini berlangsung selama 2 hari, pada tanggal 13—14 Mei 2010, bekerjasama dengan sekolah dasar di desa Salam Babaris, Kabupaten Rantau. Dengan menyewa sebuah angkot, kami pun berangkat. Seluruh pemateri adalah anggota aktif FPP, sedangkan peserta adalah para murid sekolah dasar di SDN Salam Babaris.
Demi mendorong para santri untuk aktif menulis dan berkarya, FPP juga menyelenggarakan seminar penulisan yang diisi oleh Sastrawan seperti: Hajriansyah, Sandi Firly, Harie Insani Putera, dan Aliyansyah Jumbawuya. Hasilnya tidak mengecewakan. Penjara Suci, Teriakan Bisu, dan Iblis Tidur, merupakan buku antologi cerpen dan puisi yang diterbitkan dan didanai secara mandiri oleh anggota FPP.
FPP pun mengelola sebuah perpustakaan sederhana yang dapat diakses khusus bagi para anggota aktif. Inilah perpustakaan independen pertama yang saya jumpai di pesantren.2 Ukurannya hanya sebuah lemari kecil dengan satu alas papan di dalamnya. Isinya pun beragam: ada serial majalah Annida, novel sastra dan populer, kumpulan cerpen dari cerpenis lokal dan nasional, buku puisi penyair maestro, serta teori menulis.
Selain itu, FPP juga turut menerbitkan secara mandiri majalah sastra bernama: Literasi—majalah yang sempat mendapat kritik oleh salah seorang ustaz, bahwa majalah ini hanya berisikan cerita-cerita fiktif yang tidak ada gunanya—Tidak sama halnya dengan majalah Iflah yang didanai oleh IKPPF, majalah ini dibiayai secara swadaya dan berorientasikan pada karya-karya sastra saja. Tercatat, edisi pertama diterbitkan pada bulan Juni 2009. Setahun berikutnya, setelah melalui 6 edisi secara tertatih-tatih, pada akhirnya majalah ini terpaksa gulung tikar karena alasan yang klise: tidak sanggup membiayai penerbitan.
Terkenang masa itu, di mana kami kesulitan soal urusan peminjaman komputer tabung perpustakaan untuk mendesain isi majalah. Kami diberi waktu pada malam hingga menjelang dini hari untuk mengetik tulisan halaman per halaman. Kantuk kerap memberatkan mata kami dalam pengerjaan majalah ini. Tak hanya itu, kami harus melatih kesabaran menghadapi mesin printer yang kerap mengalami kendala teknis. Sekali lagi, semua ini dilakukan berdasarkan inisiatif sekelompok santri tanpa apresiasi dana maupun moral.
Dan kini, komunitas menulis santri itu, sedang pulas dalam tidur yang panjang.
***
Begitulah FPP, kondisinya ‘la yamutu wa la yahya’—mati segan, hidup tak mau.
Belakangan, kisaran tahun 2015—2017, saya mendapat kabar bahwa FPP coba digiatkan kembali oleh sekelompok santri, baik dalam kegiatan internal maupun publikasi karya di media sosial.
Tiga nama mereka yang saya kenali: A. Rifki, berkuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, M. Alwi, berkuliah di UIN Kalijaga Yogyakarta, dan Andi Evan, berkuliah di UIN Walisongo Semarang. Dahulu, ketika menjadi ketua asrama, saya masih sempat menjumpai mereka sebagai adik kelas.
Ketiga nama tersebut menjadi pionir baru, mencoba membangkitkan semangat santri untuk menulis dengan sisa-sisa kejayaan yang ada. Mereka menasbihkan diri dengan nama baru: FPP New Generation. Sejauh saya lihat, mereka cukup produktif menulis di berbagai media digital. Mereka pun rajin mengikuti beberapa kegiatan menulis, berupa seminar dan pelatihan di luar Al-Falah.
Setelah angkatan mereka lulus, tidak ada kabar lagi yang saya ketahui tentang FPP. Nampaknya, faktor regenerasi selalu menjadi kendala yang berulang. Sekali lagi, FPP hilang begitu saja, tidak jelas rimbanya.
Terakhir, saya membaca status di media sosial, postingan yang diunggah oleh Ustaz Ramli di akunnya, 1 Agustus, tahun 2021. Dalam unggahan itu menampilkan gambar 6 orang santri beserta sisa buku yang terselematkan dari kebakaran hebat yang terjadi pada kamis pagi, 15 Juli 2021 yang melahap seluruh kelas tajhizi beserta asrama di bawahnya nyaris tanpa sisa.
Melalui unggahan tersebut, beliau menuturkan, sudah setahun terakhir mendampingi kegiatan santri FPP—akhirnya saya mendapat kabar lagi tentang ‘komunitas sunyi’ ini. Kegiatan mereka mulai dari saling memotivasi untuk mencintai dunia literasi, berbagi pengalaman, serta berdiskusi ihwal kepenulisan.
Setelah musibah kebakaran yang menghanguskan hampir semua buku-buku perpustakaan mereka, Ustaz Ramli tetap mencoba membangkitkan semangat mereka meski dalam keterbatasan. Selain itu, beliau atas nama pribadi, mewakili anggota FPP, membuka donasi buku-buku layak baca kepada khalayak demi mengembalikan gairah menulis para santri yang sedang tertimpa musibah.
Kontribusi literasi yang sungguh mulia. Hormat setinggi-tingginya untuk beliau.
***
Publikasi Karya di Koran Lokal; Cerita Tahun 2010—2013
Sungguh, bukan hal mudah mendapatkan akses menulis di pesantren pada masa tersebut.
Sebetulnya ada lab komputer, tetapi penggunaannya tidak berjalan optimal; lebih sering digunakan sekali-dua kali untuk pelajaran TIK dan selebihnya, yang saya amati, dibiarkan begitu saja.
Menulis, pada masa itu, mesti sedikit menerapkan muslihat. Ada banyak cara yang dilakukan sesama penulis santri, mulai dari diam-diam membawa laptop di asrama, menulis di catatan gawai—tentu kedua hal ini dilarang, atau pergi ke warnet ketika libur bulanan tiba. Saya cenderung menggunakan cara ketiga untuk menyalin, menyunting, dan mempublikasikan tulisan di koran.
Tulisan berupa esai ringan, cerpen, maupun puisi yang kurang lebih saya tulis di buku selama satu bulan, kemudian saya salin dan ketik ulang di warnet. Pada masa awal menekuni dunia penulisan, saya tentu sangat berterima kasih dengan keberadaan warnet—meski kini sudah bukan eranya lagi. Di sanalah mental sebagai penulis serta bagian proses kreatif saya tumbuh.
Hingga pada akhirnya, Minggu, 2 Januari 2011, lima puisi saya untuk pertama kalinya terbit di Media Kalimantan. Saat itu, saya duduk di kelas 1 Aliyah dan masih berusia 16 tahun. Sebagai penulis baru, saya merasa senang sekali. Saya kabarkan pemuatan itu kepada orang tua, beberapa kawan dekat, dan adik kelas. Pada bulan-bulan berikutnya, saya justru semakin berambisi dan rutin mengirimkan karya ke koran-koran lokal lainnya berupa puisi—ini yang paling sering, sesekali cerpen dan esai ringan.
Satu hal paling berkesan adalah ketika tulisan saya—dan tentunya rekan sesama anggota FPP, dimuat pada rubrik ‘Halte Bloger’ di hari Kamis dan rubrik ‘Dahaga’ di hari Minggu, koran harian Banjarmasin Post. Tulisan berupa esai ringan dan puisi dipajang di Koran Dinding yang semula terletak di depan asrama abwab—lalu dipindahkan ke samping koperasi. Rasanya senang sekali ketika tulisan karya kita dibaca dan diapresiasi, tidak hanya dari kalangan sendiri, melainkan pula oleh media cetak besar.
Menulis menjadi satu hal menyenangkan. Saya membayangkan, para santri Al-Falah dapat menghibur diri, mengasah kemampuan, serta merilis kreatifitas dan pikirannya melalui sebuah karya yang bermanfaat.
http://forumpenapesantren.blogspot.com/
Perpustakaan serupa saya jumpai lagi di tahun 2019, tepatnya ketika saya mendapat kesempatan mengajar di SMA Adzkia Daarut Tauhiid yang dipimpin oleh KH. Abdullah Gymnastiar, atau yang kerap disapa Aa Gym. Terdapat perpustakaan umum yang bisa diakses siapa saja dan perpustakaan yang dikelola secara mandiri oleh ketua tim literasi di kantor guru. Perpustakaan ini hanya memilki satu lemari; kebanyakan menyediakan buku yang sengaja diperuntukan atas dasar keinginan dan rekomendasi para santri.@