“Ini dari siapa, di mana?”
“Ini dari Rizwan di Kapein.”
“Kapein dimana tuh?”
“Kota Padi Keren kak,”
“Oh…dari Gambut ya, mau request lagu en titip salam ga?”
“Mau request lagunya Padi yang judulnya ‘Begitu Indah, lagunya dikirimkan buat Risna si Bidadari Kesunyian di PangKoPad alias Pangkalan Kota Padi, salam sayang selalu dari Rizwan si Pangeran Terluka.”
***
Saat asyik-asyiknya bersepeda di sore hari sembari menikmati hamparan persawahan yang tak lagi permai, di sepanjang jalan Pemajatan menuju ke Pematang Panjang, entah kenapa di dalam kepala saya tetiba saja terlintas sebuah kenangan, saat-saat saya masih suka mendengar radio di kisaran tahun awal 2000an hingga pertengahan tahun 2000. Suatu masa ketika ketika saling berkirim salam dan request lagu-lagu terkini di radio adalah hal yang keren.
PangKopad(Pangkalan Kota Padi) atau Kapein(Kota Padi Keren) pernah menjadi nama keren untuk tempat lahir saya ini, yaitu Gambut. Suatu kecamatan yang merupakan bagian dari Kabupaten Banjar dan dulunya terkenal sebagai salah satu lumbung padi di Kalsel.
Sawah yang luas dan membentang dulu sekali pernah menjadi trademark Gambut. Dari Kertak Hanyar menuju Liang Anggang di sisi kiri dan kanan jalan akan ada pemandangan berupa hamparan sawah yang memanjakan mata dan juga menjanjikan ketersediaan pangan yang melimpah. Tapi, itu dulu. Keping-keping ingatan yang saling menjalin dan memilin di dalam kepala saya hanya menghadirkan kenangan, sesuatu yang lampau, dan tak lagi faktual.
Semakin saya kayuh sepeda saya melintasi jalan Pemajatan menuju Pematang Panjang, semakin saya sadari sebutan kota padi sudah tidak relevan lagi untuk Gambut.
Misalnya saja, kalau dulu dari arah Kertak Hanyar menuju ke Liang Anggang di kiri dan kanan jalan terdapat hamparan sawah. Maka, sekarang di pinggir jalan hanya ada jejeran ruko dan komplek perumahan yang semakin tahun semakin banyak. Pun, dengan jalan Pemajatan tempat saya tinggal saat ini, setidaknya ada sekitar dua calon komplek perumahan baru yang akan segera dibangun di atas bekas sawah.
Jauh di dalam hati saya sebenarnya membatin, “Lah…ini kok bisa seenaknya bangun perumahan di atas persawahan,” atau kadang juga berucap seperti ini di dalam hati, “Kalau semuanya jadi perumahan dan sawah-sawah dijual hingga tak ada lagi padi yang bisa dipanen, kita semua nanti mau makan apa?
Saya mendengus, menarik napas perlahan, mencoba menenangkan pikiran di sela-sela mengayuh sepeda saat melintasi rentetan ruko dan perumahan di sepanjang jalan Pemajatan. Perlahan amarah saya mereda, otak saya bisa berpikir lebih jernih lagi. Lalu, timbul lagi pertanyaan.
Lah, kenapa saya sedih? Atas dasar apa saya sok marah. Toh, bukan sawah saya juga yang diambil dan dijadikan perumahan atau dijadikan ruko.
Ketika tanah atau sawah diputuskan untuk dijual lalu dijadikan perumahan atau ruko pastilah sudah dipirkan secara matang oleh si empunya. Tidak mungkin, empunya sawah alias petani menjual aset yang menghidupi dirinya dan keluarga tanpa alasan. Dan saya pikir salah satu alasan kenapa sawah akhirnya dijual adalah tidak adanya regenerasi petani.
Sejauh yang bisa saya ingat, hal paling utama yang menyebabkan tidak adanya regenerasi petani, bahkan di keluarga petani itu sendiri adalah para orang tua yang dulunya petani itu tidak menginginkan anak keturunannya menjadi seperti mereka. Teman-teman saya yang berasal dari keluarga petani pun dikuliahkan oleh orang tua mereka di kampus-kampus yang tidak mencetak kelahiran petani muda yang intelek.
Kawan-kawan saya hampir semuanya kuliah di kampus yang melahirkan guru, perawat, bidan, dan juga polisi. Tentu saja bisa dimaklumi, orang tua mereka tidak ingin anak mereka berlelah-berpeluh keringat di sawah sepanjang hari, dengan penghasilan yang tidak menentu, dan tidak memiliki uang pensiun yang kelak menjamin hari tua mereka.
Mungkin saja orang tua mereka berpikir, bahwa anak mereka bisa saja menjadi seperti seorang Soeharto yang awalnya cuma anak seorang petani dan dengan sedikit keajaiban bisa menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Di Gambut, di tempat yang saya tinggali ini, dan mungkin saja di sudut manapun di Indonesia ini, menjadi pegawai pemerintah alias ASN masih merupakan primadona, dan memiliki anak yang berhasil menjadi ASN adalah bukti keberhasilan orang tua dalam mendidik.