asyikasyik, LIPUTAN KHUSUS-Sebagai manusia modern, baik perempuan atau laki-laki sama belaka, kita mestilah menengok usaha keras R.A Kartini sebagai pecutan untuk turut menirunya dalam menyuarakan dan/atau melaksanakan usaha-usaha penyetaraan gender sehingga di dunia hari esok, kita tak lagi menemukan stereotip bahwa perempuan mestilah di rumah saja, harus feminim, laki-laki harus maskulin, dan streotip-streotip menjengkelkan lainnya. Anggapan-anggapan semacam itu sudah mesti dikubur dalam-dalam guna kehidupan bermasyarakat yang lebih baik: bahwa siapapun ia, apapun jenis kelaminnya, bagaimanapun rupa tubuhnya, kita mesti sadar bahwa ia tetaplah manusia yang dilahirkan bebas dan sama, setara dalam pemenuhan hak dan kewajiban.

Secara singkat, Kartini lahir hari ini, 21 April 143 tahun silam di Jepara, Jawa Tengah. Ia menempuh pendidikan hanya sampai usia 12 tahun di Eorupese Lagere School, sekolah dasar milik pemerintah Hindia Belanda bagi anak-anak peranakan Eropa, keturunan timur asing, atau pribumi dari kalangan bangsawan. Ayahnya, setelah usia 12 tahun itu, meminta Kartini untuk tidak lagi melanjutkan sekolah dan dipingit atau tidak boleh keluar rumah sesuai tradisi yang berlaku kala itu.

Selama pemingitan tersebutlah Kartini aktif menulis surat untuk teman-temannya yang berasal dari Eropa, di surat-surat tersebut ia menyuarakan kritik tajam atas dunia sekitar, dan merekam bagaimana pengalaman dan pemikirannya sebagai perempuan priyayi Jawa. Ia mengecam kungkungan tradisi, patriarki, dan pemerintah kolonial yang sangat laki-sentris. Ia konsisten memperjuangkan kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki di lingkungannya, soal pekerjaan  yang tidak setara, bagaimana perempuan kudu di rumah dan tidak boleh berpendidikan tinggi, juga persoalan kawin paksa yang—bahkan hingga beberapa tahun terakhir masih sering juga—terjadi. Kelak, surat-suratnya terbit sebagai buku yang karib dikenal sebagai ”Habis Gelap Terbitlah Terang”. Pada tahun 1964, enam puluh tahun setelah kematiannya, oleh Presiden Soekarno, 21 April diperingati sebagai Hari Kartini untuk mengenang jasa-jasa Kartini dalam memperjuangkan emansipasi perempuan di Indonesia.

Ratusan tahun setelah Kartini tiada, sayangnya perjuangan itu tidak jua pernah menemukan titik berhentinya. Kasus-kasus pembatasan hak perempuan baik dalam bekerja atau dalam bidang lain tetap dirasakan oleh banyak perempuan Indonesia. Infrastruktur, waktu, ruang, syarat-syarat, dan kebijakan lainnya seringkali dibikin hanya menguntungkan kaum laki-laki—yang itu pun dikhususkan pada laki-laki tertentu saja.

Syukurnya, pertanggal 12 April kemarin, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia resmi mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi undang-undang melalui rapat paripurna setelah betahun-tahun terus disuarakan dan menjadi polemik di berbagai lini.

Ada sembilan poin penting bentuk tindak kekerasan seksual dari UU TPKS, yaitu pelecehan seksual non-fisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; kekerasan seksual berbasis elektronik; penyiksaan seksual; eksploitasi sekseual; dan perbudakan sekseual.

UU TPKS ini dinilai akan jadi instrumen terciptanya kesetaraan gender di Indonesia. Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, setahun sebelum Undang-undang ini resmi disahkan mengatakan dalam satu diskusi daring bertema UU PKS, UU PRT dan Keberpihakan pada Hak Perempuan Indonesia, 24 April tahun lalu—saya kutip dari Jawapos—RUU TPKS sebenarnya sudah ada dalam pemikiran Kartini saat memperjuangkan emansipasi dan anti deskriminasi di masa lalu. Karena itu, katanya lagi, perjuangan mewujudkan RUU PKS juga (merupakan) sebagai salah satu cara untuk meningatkan bahwa perempuan bukan konco wingking, tetapi teman yang setara. Ini perjuangan perempuan untuk bangsanya.

Inilah yang mesti kita lihat di momen Hari Kartini ini, usaha-usaha serupa di atas harus tetap disuarakan dan dijalankan di kehidupan sehari-hari, sehingga kelak kebijakan berubah dan dikotomi gender tidak ada lagi. Kita bisa memperbaikinya bersama-sama, pelan-pelan tak apa, antara masyarakat luas dan pemangku kebijakan, antara warga satu kota dengan pemerintah kotanya.

Kota tempat saya tinggal sendiri, Banjarbaru, yang beberapa waktu silam sah menjadi Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan menggantikan Banjarmasin, harus membuka mata terhadap isu ini.

Sebab Banjarbaru hari esok akan jadi kota yang semakin multi ras, etnis, dan lain-lain. Dan meski kesetaraan  gender bukan sebatas soal kesempatan kerja yang sama, namun dengan adanya pemindahan ibu kota provinsi yang kelak akan membuka banyak ruang pekerjaan baru, saya—dan juga kita semua—tentu berharap Pemerintah Kota Banjarbaru (lewat kebijakan dan lain hal) tak memberikan ruang tersebut hanya untuk segelintir orang, ras, atau gender. Soal kebijakan lainnya tentu sama juga, tidak laki-sentris atau condong ke satu-dua pihak semata, sehingga Banjarbaru bisa tumbuh dengan masyarakat yang penuh toleransi terhadap perbedaan yang ada.

Saya kira ini bukan permintaan yang rumit, dan Pemerintah Kota Banjarbaru sendiri telah menyadarinya sejak jauh-jauh hari sebelum saya punya bayangan akan menulis tulisan ini. Salah satu buktinya, saya rasa, terjadi 12 April lalu, sembilan hari sebelum perayaan Hari Kartini.

Pemerintah Kota Banjarbaru—untuk meningkatkan partisipasi mayarakat dalam mensejahterakan perempuan dan anak—melantik Forum Partisipasi untuk Kesejahteraan perempuan dan Anak (PUSPA) Kota Banjarbaru periode 2022-2025.

Wali Kota Banjarbaru, HM Aditya Mufti Ariffin, yang hari itu turut hadir dalam prosesi pelantikan PUSPA Kota Banjarbaru, mengatakan bahwa dengan adanya forum ini keterkaitan dengan hak perempuan dan anak, serta perlindungan perempuan dan anak semakin bisa ditingkatkan terutama di Banjarbaru. Forum ini juga berguna sebagai bagian dari mitra kerja Pemkot Banjarbaru dalam partisipasi masyarakat untuk memberikan masukan mengenai substansi kesetaraan gender.

Lebih jauh ia berharap di Kota Idaman ini tidak akan ada pelanggaran terhadap hak perempuan dan anak, serta jangan sampai isu ini terabaikan.

Sejauh ini, ujarnya, Banjarbaru sudah mendapatkan gelar Kota Layak Anak Madya. Ia menargetkan dalam beberapa waktu ke depan Banjarbaru dapat menjadi Kota Layak Perempuan Madya.

Kepedulian Pemkot Banjarbaru terhadap perempuan saya kira sudah tepat, dan harapan menjadi Kota Layak Perempuan Madya akan lebih mudah dijalankan jika kita semua bahu-membahu membantu impian Bapak Walikota tersebut dengan menganggap perempuan sebagai manusia yang utuh, manusia yang punya hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki.@