AKU kenal Didi Gunawan sudah cukup lama, waktu itu bersama Sandi, Ka Agus dan beberapa kawan seniman dan jurnalis kami minum este-emje di warung langganan di Kayu Tangi. Kalau tak salah ingat itu sehabis menutup pameran lukisan di Taman Budaya. Tahunnya lupa. Terkait este-emje beberapa waktu terakhir, kami–aku dan Ka Agus–ditraktir Didi di warung langganannya dekat jembatan Handil Bakti, sekalian mangatupat.
Rupanya Didi suka mewarung, dan ini khas Urang Banjar sekali. Didi suka mampir, mewarung di Kampung Buku, pada sore menjelang malam, waktu Kambuk sepi-sepinya. Sambil ngopi ditemani kacang bungkus dan cemilan lainnya, dia biasanya duduk menyendiri di pojok sambil asyik membuat berita.
Ya, aku kenal Didi sebagai Pemred jejakrekam.com dan jurnalis yang idealis. Kadang sambil ngetik, atau bila-bila berhenti dan sengaja mendekat meninggalkan laptopnya tetap di ujung sana, ia bicara panjang lebar dan penuh semangat. Apalagi jika kebetulan dia nongkrong di Kambuk ada Ka Agus (Sastrawan Y.S. Agus Suseno), mereka akan ngobrol dengan sama berapi-apinya, mengkritisi banyak hal, terkait peran dan masalah-masalah pemerintahan. Terkait kepeduliannya pada para seniman, aktivis, dan lain sebagainya.
Didi juga termasuk paling kooperatif dengan seniman, apa saja pemberitaan terkait seni di kota Banjarmasin dan sekitar kegiatan di Kampung Buku pasti akan ia bantu publikasikan. Selain Sandi Firly, dengan asyik.asyik.com-nya, tempatku paling mudah mengirimkan rilis berita-berita kesenian ya ke jejakrekam.com. Kadang hanya mengirimkan flyer kegiatan saja ke wa-nya, dia akan kirim wartawannya, atau kadang dia sendiri yang datang, untuk meliput kegiatan seni-budaya yang kami giatkan. Seminim-minimnya dia akan membalas wa-ku dengan katanya, “ketikkan beritanya, lah…” Untuk hal ini aku pun tak pernah malas untuk sekadar mengirimkan berita pendek, yang akan dia ubah-tambah sana sini redaksinya agar tetap “khas” pemberitaan jejakrekam yang kritis.

Beberapa waktu yang lalu aku merasa tak enak sendiri, karena dia sering mampir di Kambuk tapi aku tak jua menyambut undangannya untuk mampir ke kantor jejakrekam di Komplek Banjar Indah sana. Sampai hari itu, aku ketemuan dia di kantor/kafenya Bang Sukro di muara Banjar Indah, ia bilang, “Kantorku dekat sini”. Kesampaian-lah aku membalas kunjungannya, dan dia menunjuk satu bangunan yang agak di depan sebagai rencana pengembangan podcast-nya jejakrekam.
Tapi itu pun sekali saja. Berkali-kali juga dia mengundang ke acara diskusi yang diselenggarakan AJI (aliansi jurnalis independen) Banjarmasin, yang dia ketuanya. Yang terakhir ini, sampai malam ini aku melayat jenazahnya di rumahnya di Alalak Tengah, tak jua kesampaian.
Didi orang baik. Didi Gunawan bin Muhammad Sanusi, aku bersaksi dia orang baik. Dia selalu menyupport kegiatan kami di Dewan Kesenian Banjarmasin, juga Kampung Buku, dan aktivisme budaya lainnya di Kalimantan Selatan ini. Aku ingat satu hari di ASKS XIX Pelaihari dia menelpon dan menanyakan nginap di mana. Aku sebut nama tempatnya, yang sekarang aku sudah lupa, dan dia menyusul bersepeda motor. Dia sengaja datang ke ASKS Pelaihari untuk menunjukkan dukungannya. Dia datang di hari kedua sampai selesai kegiatan Aruh Sastra Kalimantan Selatan di hari Sabtu. Paginya dia ngajak aku mewarung, makanan kotak kiriman panitia katanya tidak mencerminkan gaya Banjar sama sekali. Kami nyari warung khas Banjar, dan ketemu dekat Taman Pasar Lawas. Sebuah warung nasi kuning. Sambil jalan kubilang, di Pelaihari ini susah nyari warung makan pagi-pagi. Dia mengiyakan, maklum di seputaran kota itu lebih kuat nuansa Jawa-nya dibandingkan Kebanjarannya yang terbiasa dengan gaya mewarung pagi-pagi.
Selain mengobrolkan soal-soal kebudayaan, kebanjaran dan kebakumpaian, kami terkadang pula bicara soal-soal keagamaan.
Seperti yang kami bicarakan sambil makan nasi kuning pagi itu, dan bila-bila juga di Kampung Buku. Didi bilang dia dulu suka ngaji ke mana-mana sejak kecil hingga masa remaja. Keluarganya juga, dia bilang, dikenal di sekitaran kampungnya di Alalak sebagai keluarga Qari’. Kadang dari masalah-masalah permukaan kami menjurus ke soal-soal yang lebih dalam, terkait keyakinan beragama Urang Banjar. Dalam hal ini kami sama-sama besar dari kalangan tradisional, yang dekat ke soal-soal kerohanian atau perkara batin.
Yang sampai hari ini dia belum tuluskan janjinya kepadaku, adalah menunjukkan keris pegangannya yang katanya berwafak. Ya, dia tahu aku sedang berusaha menyelesaikan penelitian S3 terkait wafak Banjar, dan dia ingin turut membantu menghubungkan aku ke beberapa “urang-pintar” yang dia kenal dalam hal itu. Dan sampai kubacakan tahlil baginya malam ini, hal itu belum tulus kesampaian.
Bersama Cupi (Shufiyadi Akbar), pengurus DK-Banjarmasin yang juga seorang komika yang kadang merangkap ustaz baca doa di DK-Bjm, kami membacakan ayat dan doa-doa mengantar kepergiannya. Selesai doa, aku buka tapih bahalai penutup wajahnya, kulitnya bersih dan seakan air matanya mengembun. Aku sentuh lengannya, lemah dan lembut. Di jalan pulang, di kendaraan Cupi, kubilang “Baik!” Ya, dia orang baik, dia orang baik.