Abdussukur memang kemudian lebih dikenal sebagai seniman tradisi Mamanda, posisi tetapnya sebagai Khadam—pembantu Raja yang sering melontarkan kelucuan-kelucuan di tengah sidang kerajaan. Lebih lanjut ia juga dikenal sebagai pewaris seni Bapandung, sebuah lakon tunggal di mana pemerannya bisa berganti-ganti peran (juga pakaian) dalam satu pementasan. Sederhananya seperti dalam monolog teater, atau jika dilihat sisi materi (kelucuannya) seperti stand-up comedy hari ini.
Yang sering dilupakan adalah, ia juga seorang sastrawan Kalimantan Selatan. Bang Micky Hidayat pernah bilang, Sukur digadang-gadang meregenerasi penyair atau sastrawan Kalsel sesudah era HPMB tahun ‘80-an Bang Micky dan kawan-kawan seangkatan. Ya, sastrawan Kalsel generasi ’90-an. Tapi kemudian beliau kecewa, karena Sukur membelok ke ranah seni pertunjukan dan tak lagi produktif menulis puisi dan esai, hingga kemudian datanglah generasi saya, Nahdiansyah Abdi, Nailiya Nikmah, Dewi Alfianti, Ratih Ayuningrum, dll.
Nama-nama yang saya sebut ini adalah kawan-kawan pengurus Komunitas Sastra Indonesia Banjarmasin, di mana Ka Sukur sebagai yang paling tua termasuk menjadi pengurusnya. Bang Micky dan Ka Agus (Y.S. Agus Suseno) lebih sebagai penasehat saja. Sepanjang tahun 2008-2011 itu saya bersama kawan-kawan KSI-Banjarmasin (termasuk Ka Sukur) sering mendiskusikan karya-karya kami, juga membuat kegiatan kesusasteraan lainnya yang berpusat di Taman Budaya Kalsel. Keakraban itu terus terbawa, antara Ka Sukur dan Ratih, misalnya, jika bertemu kemudian di Kotabaru, atau Ka Sukur dengan Dewi dan Nai jika sesekali kami bertemu di kegiatan-kegiatan kebudayaan lainnya di Banjarmasin maupun di daerah. Ka Sukur adalah kawan, senior, sahabat, yang selalu menemani dengan kejenakaannya.
Beberapa hari yang lalu ia mengirim pesan WA, mengabarkan ia sedang sakit. Saya sangat ingin mengunjunginya, ini saya sampaikan pula ke Ka Agus, namun hingga datang hari ini tak kunjung sempat saya mendatanginya. Di samping memang, dalam percakapan terakhir kami ia bilang tak usah datang karena ia sendirian di rumah (isterinya masih kerja saat itu) dan tak mungkin pula melayani saya. Ahh, inilah sesal yang tak mungkin lagi dihapus dalam benak saya hingga menambah satu lagi kenangan yang membuat airmata turun berderai dan tak ingin saya hapus.
Selamat jalan, Ka Sukur, damailah di sisi (makam) Ayah di sana. Jasa dan peranmu terlalu banyak untuk disebutkan, di sini, bagi dunia kesenian Kalimantan Selatan. Cukuplah penggalan-penggalan ini mengantarmu pulang dalam keabadian.@