Pada mulanya ia menyukai buku-buku petualangan. Buku-buku bersifat sejarah dan petualangan yang umumnya ratusan halaman milik ayahnya ia lahap saat di bangku SMP. Seperti Iskandar yang Agung, Petualangan Huckleberry Finn (Mark Twain), Benyamin Franklin, 80 Hari Mengelilingi Dunia, dan buku=buku lainnya.

“Yang paling tebal saya baca hingga selesai adalah Sang Boma, bentuk roman. Mungkin saya suka dengan sifat petualangan dan heroisme yang ditampilkan di dalam buku-buku itu. Latar belakang ini barangkali turut mendorong saya kemudian memilih studi ilmu sejarah setelah lulus SMA,” kenang Prof. Dr. Bambang Subiyakto, M.Hum, salah satu Guru Besar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, dalam wawancara di penghujung Juli 2021.

Tetapi, usai menamatkan pendidikan di SMAN 2 Banjarmasin (1976), ia justru diarahkan oleh ayah dan ibunya untuk menempuh studi ilmu ekonomi. Ia pun memilih Fakultas Ekonomi sebagai pilihan pertama di UGM (Fak. Psikologi pilihan kedua) ketika mengikuti penerimaan mahasiswa baru yang untuk pertama kalinya menerapkan sistem penerimaan mahasiswa dengan SKALU (Sekretariat Kerja Sama Antar Lima Universitas).

Awalnya, ketika diumumkan ia termasuk yang lulus. Namun ternyata kemudian dilakukan seleksi ulang dan ia gagal. Menurutnya, ada kekisruhan memang pada waktu menerapkan pertama kali sistem penerimaan mahasiswa baru itu.

“Agar saya tidak pulang ke Banjarmasin, saya mendaftar dan diterima di Fakultas Ekonomi Atmajaya Yogyakarta,” kisahnya.

Pada tahun berikut (1978), meskipun naik tingkat II (masih sistem tingkat) ia kembali mendaftar SKALU dengan pilihan tetap ke UGM untuk ke Fakultas Psikologi sebagai pilihan pertama dan Fakultas Sastra dan Kebudayaan Jurusan Sejarah pilihan kedua. “Dan saya diterima di pilihan yang disebut terakhir,” ucapnya.

Ditanya apa perlunya mempelajari sejarah, Pak Bambang—begitu biasa disapa, menyebutkan bahwa teorinya selalu mengatakan agar kita tidak kehilangan jati diri (sebagai bangsa) atau belajarlah dari masa lalu supaya dalam mengelola kehidupan hari ini dan yang akan datang lebih baik.

“Belajar sejarah berarti seperti kita berkendara dengan spion kata Kuntowijoyo,” kutip Pak Bambang yang sekarang menjabat sebagai Koordinator Program Studi Pendidikan IPS Program Magister Pascasarjana ULM.

Maksudnya, sesekali penting melihat ke belakang dan kendaraan terus melaju ke depan. Dan ia setuju dengan pandangan Pembimbing Akademik (PA) sekaligus pembimbing skripsinya itu. Dalam arti, supaya kita tidak kehilangan arah dan tujuan dalam kehidupan. Di sinilah menurutnya esensi bahwa mempelajari sejarah itu perlu karena sejarah konsepsinya menyangkut ruang dan waktu. Kehidupan manusia tidak lain berada di dalam ruang dan waktu itu.

“Ruang dunia dan waktu dunia bukanlah akhirat. Di akhirat sudah tidak ada lagi sejarah, karena kiamat telah mengakhiri segala-segalanya, mengakhiri kehidupan. Konsepsi ruang dan waktu di akhirat, di neraka atau di surga tidak kita ketahui seperti apa,” jabarnya.

Lebih jauh ia menerangkan, mempelajari sejarah perlu sebagai pedoman dalam mengelola kehidupan sekarang dan akan datang. Bagaimana menusia bisa membuat pesawat terbang atau pesawat ruang angkasa apabila tanpa ada petunjuk dan pengalaman sebelumnya. Bagaimana manusia bisa membuat alat transportasi dan komunikasi yang terus semakin canggih tanpa ada penemuan dan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Menurutnya, berbagai kemajuan di dalam kehidupan saat ini dan yang akan datang tidak akan tercapai tanpa belajar dan diketahui dari waktu-waktu sebelumnya. Oleh karena itu, katanya, bangsa yang cepat maju adalah bangsa yang belajar sejarah bangsanya dengan baik.

Balik ke sejarah masa kecil, Pak Bambang yang kelahiran Ciamis, 9 Februari 1956 ini pernah mengecap Sekolah Rakyat (SR) sebelum kemudian berubah sebutan menjadi Sekolah Dasar (SD) sampai sekarang ini. Masa SR/SD ini ia jalani pada empat sekolah, bermula di Jawa Barat karena mengikuti ayahnya menjalani Secapa (Sekolah Calon Perwira) di Bandung. Kemudian di Pelaihari, Sungai Ulin, dan terakhir di Banjarmasin. Ini terjadi karena ayahnya kerap berpindah tempat tugas.

Selepas SD ia merasa beruntung mendapat pendidikan di sekolah hingga universitas yang pada zaman dan lingkupnya kala itu dikesankan unggul atau hebat. Meskipun demikian, ada hal yang tidak ia lupakan ketika menjalani pendidikan di perguruan tinggi, yaitu bahwa dalam menempuh kuliah sarjana muda, sarjana, magister dan doktor seluruhnya sebagai mahasiswa penerima bantuan bea siswa.

“Saya menempuh pendidikan doktor ketika usia sudah tidak muda lagi, lebih dari 50 tahun. Itu karena “terpaksa”. Teman-temanlah yang memaksa, mendorong dan mensupport saya untuk mengambil dan menjalani pendidikan S3. Peristiwa ini sangat mengesankan bagi perjalanan pendidikan saya,” kenangnya.

Namun, bagi Pak Bambang yang paling berjasa tentu saja ayahnya, Tatang Suyoto, seorang militer dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel dari generasi angkatan ’45 yang sangat perhatian terhadap pendidikan putra-putrinya. Ketika ia kemudian diterima UGM, ayahnya menghadiahinya satu set (30 jilid) Encyclopedia Amaricana terbitan terbaru ketika itu tahun 1978. Bahkan ayahnya juga turut membantunya untuk sumber atau data-data di daerah yang diperlukannya ketika penulisan skripsi.

Sejumlah nama lainnya yang juga berjasa bagi Pak Bambang dalam hal pendidikannya, di antaranya almarhum Prof. Kuntowijoyo, baik sebagai pembimbing akademik maupun pembimbing skripsi S1-nya, serta didukung pula oleh perhatian almarhum Prof. Ibrahim Alfian. Orang berjasa berikut yang tak bisa ia lupakan adalah Prof. Djoko Suryo selaku pembimbing tesis dan sahabatnya, Prof. Bambang Purwanto.

Yang tak kalah penting jasanya, katanya lebih lanjut, adalah orang-orang yang mendorongnya untuk menempuh pendidikan S3 ketika usianya telah mencapai 45, sementara ia telah memutuskan untuk tidak akan mengambil pendidikan S.3 Namun hanya sewindu kemudian menjadi berubah ketika rekan sejawat yang sekaligus juga sahabatnya, Prof. Ersis Warmansyah Abbas, memaksanya untuk bersamanya mengambil studi Doktoral (S3) Pascasarjana UPI yang didukung pula sepenuhnya oleh Dr. Ahmad Sofyan (Dekan FKIP ketika itu).

“Dari sini jadilah saya doktor di Bidang Pendidikan Ilmu Sosial, suatu yang tak pernah terlintas dalam pikiran saya sebelumnya,” ucapnya penuh syukur mengingat keberhasilannya meraih gelar itu di tahun 2015, dengan disertasi “Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Upaya dan Ajaran Nilai-Nilai Karakter dalam Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial”.

Atau motto hidup yang selalu dipegang Pak Bambang terkait dalam menempuh pendidikan dan mencari ilmu pengetahuan, yang diperolehnya dari gurunya ketika SMA. Bunyinya; “The more you study it, the more you want to know about it”. Satu lagi pesan yang selalu ia pegang adalah dari guru SMP-nya; “Dalam mencari ilmu bersikaplah seperti pemancing ikan”, yang intinya sabar, tekun, dan bergairah.

Dua pesan penting itu menurutnya mesti dipegang mereka yang ingin sukses dalam menempuh pendidikan. Tentu saja, lanjutnya, harus tetap banyak membaca, memenuhi isi kepala dengan informasi sebanyak mungkin terutama terkait dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Mengenai masa depan pendidikan di Kalimantan Selatan, Pak Bambang berpandangan bahwa sekarang ini jarak di dalam ruang dan waktu nyaris bukan lagi kendala. Nyaris tak ada lagi jarak ruang dan jarak waktu. Semua aspek kehidupan menjadi sangat dimudahkan dan cepat. Oleh karenanya, tidak lagi ada alasan sesungguhnya dunia pendidikan di Kalimantan Selatan tertinggal atau tidak maju. Dengan prasarana dan sarana teknologi canggih sekarang ini segala hal menjadi serba serempak dan serentak.

Dengan kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi sekarang ini, hal itu menurut Pak Bambang sangat mempermudah penyediaan dan pemanfaat sumber atau data, termasuk untuk penulisan sejarah. Sedangkan hasilnya bisa digunakan untuk menunjang pendidikan sejarah di Kalimantan Selatan.

Karena itu, Pak Bambang berharap generasi muda sekarang dapat memanfaatkan secara optimal internet guna mendapatkan pengetahuan sejarah (termasuk sejarah daerahnya sendiri) maupun dalam menggali sumber untuk penulisan sejarah.

“Jadi, dengan internet, pandemi bukan kendala bagi siapapun untuk mempelajari sejarah maupun menggali sumber sejarah,” ucapnya.

Memiliki istri dengan satu anak, keluarga bagi Pak Bambang adalah kesepakatan hidup bersama secara harmoni, saling menghormati, menghargai, dan saling mendukung. Posisi dan peran masing-masing di dalam keluarga menurutnya sangat berarti bagi kehidupannya sebagai pribadi, sebagai bagian sebuah keluarga dan bagian dari masyarakat. Satu hal yang selalu dijaganya dalam keluarga adalah suasana harmoni dan kehangatan. Tidak terkecuali juga pada cakupan keluarga yang lebih luas bahkan pada lingkungan masyarakat di sekitarnya.

Saat ini, Pak Bambang mengaku sudah tidak banyak lagi yang bisa dikerjakannya di luar tugas pokok perguruan tinggi seperti mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat (Tri Dharma PT). Sekarang Pak Bambang masih berusaha menyelesaikan penulisan penelitian sejarah BI Kalsel dan baru saja terpaksa tidak bisa menerima tawaran penelitian lain dari suatu instansi di Kaltim. Faktor uzur dan daya dukung fisik utamanya yang tidak memungkinkan dirinya bekerja berlapis dan padat.

Dalam hidup, Pak Bambang mengaku bersifat mengalir saja, menjalani apa yang harus dijalani. Tidak didasarkan pada suatu cita-cita atau keinginan tertentu yang besar.
“Begitupun saat ini, rasanya tidak ada cita-cita besar yang ingin dicapai kecuali berupaya menjalani sisa-sisa usia kehidupan ini dengan sebaik mungkin,” tutupnya. (tim Majalah Berita ULM)