KETUA Pengadilan Agama (PA) Martapura, M Radhia Wardana melalui Panitera Lutfhia Subekti menerangkan ihwal banyaknya kasus perceraian akibat ekonomi keluarga di ruang tunggu kantornya, Senin (3/4/2023) siang.
Lutfhia menyampaikan, perceraian berawal dari pertengkaran yang terus menerus oleh pasutri yang dipicu dari permasalahan ekonomi.
“Dari sinilah muncul rasa tidak bertanggungjawab, antara suami terhadap keluarganya,” ucap Luthfia.
Dari rekapitulasi yang dilakukan PA Martapura, setiap tahunnya (2021 – Maret 2023) jenis perceraian yaitu cerai gugat dari pihak istri, lebih mendominasi dibandingkan dengan cerai talak dari pihak suami. Tercatat sejak Januari 2021 hingga Maret 2023, sebanyak 1.966 kasus perceraian terjadi di Kabupaten Banjar.
“2021 sebanyak 947 kasus perceraian, 2022 ada 822 kasus, dan 2023 (Januari-Maret) sebanyak 197 kasus,” beber dia.
Faktor meninggalkan salah satu pihak, Luthfia menyebut kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah menjadi faktor penyebab perceraian terbanyak nomor dua, setelah masalah ekonomi.
“Sebenarnya, mediasi juga dilakukan oleh kita ketika kedua belah pihak hadir dipersidangan untuk tidak cerai. Ada yang berhasil, ada perjanjian yang ditandatangani, namun ada juga yang tidak berhasil,” jelas dia.
Berikut rekapitulasi faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian sejak Januari 2021 hingga Maret 2023: Pertengkaran terus menerus : 1.465 kasus. Masalah ekonomi : 219 kasus. Meninggalkan salah satu pihak : 89 kasus. KDRT : 54 kasus. Lain lain (zina, mabuk, madat, judi, penjara, poligami, cacat badan, kawin paksa, murtad) : 151 kasus.@
*foto doc. rsb