SEBAGAI seorang muslim yang taat tentu saja Nasruddin tak pernah meninggalkan salat. Sudah jelas, itu perkara wajib. Dan ia selalu berjamaah di masjid. Tak mau ketinggalan biarpun sibuk. Bahkan bila-bila ia harus berlari untuk mengejar takbir pertama ketika iqamah sudah diserukan modin.
Hal ini beralasan bagi Nasruddin. Bertahun-tahun yang lalu ketika masih muda dan memiliki keberanian mengkritik raja, ia pernah mendekam di penjara karena protesnya. Nasruddin muda memiliki guru yang sangat menyayanginya. Bahkan ketika di penjara, gurunya ini sering mengunjunginya.
Karena kedekatan mereka, Nasruddin tak segan mengutarakan keinginannya ingin kabur dari penjara raja yang lalim itu. Dan di waktu yang lain, ia menyampaikan perasaan malasnya untuk salat, karena sepertinya Tuhan tak mendengar doanya. Gurunya hanya mendengarkannya dengan tersenyum dan menasihatinya untuk selalu berbaik sangka pada Sang Kuasa.
Satu hari sang guru mengunjungi Nasruddin, dan ia membawakan selembar sajadah. Ia terima sajadah itu dengan muka masam, ia berharap di dalam hatinya gurunya membawakannya senjata atau cara melarikan diri. Gurunya menyarankannya agar menjalankan salat dengan khusyuk dan tertib.
“Hadiah yang tak berguna,” katanya sepulang sang guru.
Karena tak banyak yang bisa dilakukannya, Nasruddin menjalankan juga perintah gurunya. Meski awalnya malas-malasan, lambat-laun ia merasakan ketenangan setelah berbulan-bulan mengerjakan salat seperti anjuran gurunya. Sampai satu hari ia menyadari, desain yang lain dari biasanya yang ditenun pada sajadahnya ternyata adalah jalan keluar dari penjara!
Gurunya telah lama meninggal, Nasruddin pun sudah lama keluar dari penjara. Bukan karena melarikan diri, tapi karena sikapnya yang baik selama di dalam sana.