Sihirku berupa nyanyian. Bukan sekadar jalinan huruf tanpa makna. Pun bukan pula rentetan puisi patidusta. Suara-suara memekik keras. Seruan sakral terngiang. Sampai langit terbelah. Menembus batas nalar. Kaulah sang pemilik sunyi. Dengarkanlah. Nikmatilah. Tunggu sampai alunan berhenti. Kalau tidak, maka kau akan binasa.

***

Deru mobil jeep meraung-raung. Debu dan pasir berterbangan ke sana ke mari. Warga kocar-kacir ketakutan. Gerombolan orang yang keluar dari dalam mobil jeep itu mengacungkan pistol. Menembak brutal siapa saja yang dikenainya. Satu per satu tubuh rebah. Mayat berserakan. Darah segar mengucur di mana-mana. Dalam sekejap, pasir putih berubah hitam pekat.

Usai sebuah pelor menembus jantungku saat peristiwa destruksi Suku Theodore oleh Suku Mateo itu, aku juga turut binasa. Namun, Tuan Elicas—kepala Suku Theodore—berhasil mengucap mantra untuk meniupkan ruh-nya sendiri dalam tubuhku. Aku kembali hidup dan Tuan Elicas yang mati.

“Aku meniupkan ruh-ku sendiri dalam ragamu. Hiduplah kembali,” pesan Tuan Elicas sebelum meninggal.

Sejarah kelam dua puluh tahun silam masih terpatri dalam ingatanku. Hal itulah yang menyebabkan aku menjadi gadis berbeda. Usiaku berhenti di angka tujuh belas. Tidak bertambah, apalagi berkurang. Orang-orang mulai menua. Sedangkan aku masih tetap gadis remaja.

Apalah yang layak untuk diceritakan dari pulau yang murung dan hanya didiami oleh orang pinggiran seperti kami. Hidup di pesisir Laut Yeva tak ubahnya dengan kaum terbelakang. Pulau terpencil nun jauh dari peradaban. Namun, jangan salah, sihir dari suku kami bisa membuat orang rusak alat indra bahkan alat vitalnya. Kami mampu membunuh seseorang dengan sihir. Sihir kami berupa nyanyian, dan aku sendiri yang telah menciptakannya.

***

Aku mendengar desis rintihan. Diiringi bau amis menusuk hidung. Anyir sekali! Kuputuskan untuk memeriksa apa yang terjadi. Laut masih tenang. Aku mencoba menerawang ke depan. Rupanya, di bibir pantai terlihat sosok manusia tergeletak bersimbah darah.

“Astaga! Dia orang dari Suku Mateo. Untuk apa dia ke sini? Apa mau cari mati?” gumamku heran.

Aku menghampirinya. Dugaanku benar. Aku mengenalinya dari kulitnya yang putih bersih. Berbeda halnya denganku gadis kumuh dan berkulit hitam legam ini. Begitulah garis pembeda antara Suku Theodore dengan Suku Mateo yang amat kentara. Selain itu, Suku Mateo sudah jauh lebih mengenal peradaban dunia. Sementara Suku Theodore senantiasa menutup diri dari dunia luar.

Suku tersebutlah yang membuat aku kehilangan segalanya. Ayah. Ibu. Semuanya direnggut oleh Suku Mateo. Pun tersebab Suku Mateo pula membuat aku menjadi gadis berbeda.

“Saya di mana?”

Orang itu terbangun. Matanya mengerjap.

“Kau sekarang ada di Theodore.”

Bola mataku masih menyala tajam. Tiba-tiba orang itu mengiba, “Tolong … jangan bunuh saya. Saya hanya tersesat bisa sampai di sini.”

Suaranya masih lemah. Hatiku sedikit melunak. Aku tak menjawabnya. Orang itu terus mengiba. Sebenarnya aku pun bisa membunuhnya saat ini juga. Namun, masih ada setitik rasa belas kasihan dalam diriku. Sesaat kemudian aku kembali membuka suara.

“Siapa namamu?” tanyaku mengalihkan.

“Damian.”

“Baiklah Damian, aku Aludra. Aku tahu engkau orang dari Suku Mateo. Bila ada suku kami yang mengetahui keberadaanmu, engkau bisa mati. Tinggallah di rumahku sebentar, sampai kau benar-benar pulih. Aku akan merawatmu.”

Sesampainya di rumah, segera kuobati lukanya dengan jampi dan ramuan. Mengoleskan getah batang pisang untuk menghentikan pendarahan. Ramuan temulawak, daun jarak, dan daun sirih aku gunakan untuk membebat lukanya. Air kelapa muda kuberikan untuk diminumnya.

Aku tak tahu bagaimana persisnya aku bisa akrab berbincang dengannya. Pria tampan dari Mateo itu tidak sepenuhnya jahat seperti yang aku pikirkan. Berhari-hari aku merawat Damian. Meracik ramuan, mengganti bebatan lukanya, dan memberinya makan.

“Ayolah, makan dulu,” ucap Damian sembari meletakkan daging cincang di atas pasir.

Hey! Apa kau mau cari mati? Sebentar lagi akan ada orang-orang yang pergi melaut. Cepat pulang!”

“Baiklah, Nona,” balasnya dengan sedikit mencibir.

Selepas Damian pergi, aku tidak langsung menyentuh makan yang dibawa Damian. Sejak keberadaan Damian di Theodore, membuatku sama sekali tidak nafsu untuk makan. Rasa waswas terus menghantui diriku bilamana keberadaan Damian diketahui oleh orang-orang dari Suku Theodore.

Semangkuk daging cincang aku biarkan di atas pasir. Sebentar lagi pasti akan datang anjing liar yang akan menyantapnya.

***

Pagi-pagi sekali aku mendengar suara riuh dari luar rumah. Aku mengintip dari celah dinding rumah. Rupanya warga Suku Theodore sudah berkumpul di tepi Laut Yeva. Semua mengenakan pakaian adat. Mereka seperti akan melakukan ritual. Tapi, ritual apa? Hari ini bukan hari berkabung tiba. Lalu, ritual apa? Malka Moma [1]? Iya benar. Mereka sepertinya hendak melakukan ritual Malka Moma.

“Apa yang terjadi? Mengapa kalian melakukan ritual Malka Moma?” tanyaku setibanya di pesisir pantai.

“Kau yang telah mengundang malapetaka bagi Suku Theodore. Semua ini kau penyebabnya!”

Kulihat wajah kepala suku penuh amarah kala mengetahui kehadiranku di sana.

“Apa maksudmu?” tanyaku.

“Engkau yang telah diam-diam memelihara malapetaka untuk kami. Di mana dia sekarang? Suku Mateo yang menginjakkan kaki di Theodore harus mati!”

Aku tercekat. Dari mana mereka tahu? Tiba-tiba alunan kidung mulai berdendang. Gadulka [2] mulai digesek. Sesaat kemudian Damian—aku tidak tahu kapan ia keluar rumah—tersungkur di atas pasir. Kedua tangannya memegang kupingnya masing-masing. Sudah pasti suara gesekan gadulka yang telah merusak indra pendengarannya.

Aku menghampirinya. Namun, Damian sepertinya ingin berusaha bangkit dan menghindar dariku. Aku mencegahnya.

“Tunggu! Jangan pe … pergi! Biarkan sampai alunan ini berhenti. Kau akan binasa jika pergi sekarang,” sergahku sembari menarik lengan Damian.

“Tidak! Aku harus pergi sekarang. Aku akan mati di tangan orang-orang Suku Theodore,” ujarnya sembari berlari dengan terhuyung-huyung.