BAGAIMANA kisah bisa menjadi sedemikian pentingnya dalam tradisi para sufi, sehingga orang-orang yang masuk ke dalam lingkaran ini (tasawuf) akan menjadi demikian bersemangat dalam ibadahnya. Tentu hal ini tidak berdiri sendiri sebagai suatu hal yang “baru”, yang diada-adakan, melainkan karena al-Quran juga memandang pentingnya kisah sebagai medium untuk memasuki pemahaman yang lebih tinggi, menjadi peneguh hati orang beriman, pengajaran dan peringatan bagi yang berpikir. Bahkan salah satu surah dalam al-Quran dinamai al-Qashash, Kisah-kisah.
Ada banyak kisah dalam tradisi para sufi. Baik yang diambil dari al-Quran, seperti kisah Nabi Yusuf dan Zulaikha, kesabaran Ayyub, Musa dengan seseorang yang Allah beri ilmu dari sisiNya, yang umumnya kita kenal sebagai Nabi Khidir, serta kezuhudan Isa. Adapula kisah-kisah tentang mereka (para sufi) sendiri, seperti Ibrahim bin Adham, Fudhail bin Iyadh dan banyak lagi para kekasih Allah, seperti disebutkan dalam Hilyatul Awliya (Abu Nu’aim al-Ashfahani), Tadzkiratul Awliya (Fariduddin Attar), dst.
Ketika para salik melingkari Syekhnya, entah dalam pengertian tawajuh maupun suhbah (Turki, sohbet), mereka tidak sekadar berzikir secara berjamaah. Dalam halaqah yang demikian, kisah menjadi salah satu pendorong untuk beramal.
Ketika seorang syekh atau pir atau mursyid tengah bercerita, para murid mendengarkan dengan khidmat. Seolah-olah mereka berhadapan sumber cahaya, yang membawa mereka ke pemahaman terdalam tentang iman.
Seorang teman yang bersuluk kepada seorang syekh mengisahkan cerita-cerita yang tidak umum dalam khazanah literatur Islam. Kisah yang bersumber dari al-Quran itu seperti memiliki makna baru tersendiri baginya. Ini persis seperti yang dikatakan Syekh Ragip al-Jerrahi tentang pesan gurunya, Syekh Mozaffer Ozak, yang kurang lebihnya:
“Kisahkan-lah kisah-kisah ini kembali, karena setiap momentum akan berbeda-beda hikmah yang dibawanya bagi setiap orang dalam setiap waktu yang berbeda. Meskipun kisah-kisah itu sudah pernah dikisahkan. Dan orang-orang masih akan memetik manfaatnya.”
Adapun soal runtutnya kisah dan keseiringannya dengan peristiwa sejarah, menjadi tak terlalu penting dalam lingkaran ini. Hikmah, atau efek dari kisah tersebut terhadap jiwa seseorang-lah yang lebih diutamakan. Bagaimana kisah dapat mengubah seseorang yang malas menjadi rajin, seorang yang kasar menjadi lembut hatinya, seorang fasik menjadi mukmin dan saleh, dst.
Hal-hal seperti itu, sedemikian lazimnya dalam cerita perubahan diri seseorang dalam khazanah dunia Islam atau tasawuf.
Berbeda halnya dengan periwayatan suatu sumber hukum, terutama dalam kajian hadis, di mana kejelasan faktual dan periwayat sangat diperhatikan kesalehan dan daya ingatnya; riwayat (kisah-kisah) dalam konteks hikmah tasawuf seringkali bisa berubah-ubah tokoh dan zamannya, meskipun alur dan ujung cerita bisa bermuara pada kisah yang serupa.
Tidak sekali dua saya mendengar kisah dengan tokoh (dalam zaman) yang berbeda, namun begitu persis ceritanya. Seolah kisah-kisah itu awalnya bersumber dari satu kisah yang kemudian tokoh dan plotnya disusun ulang. Yang demikian, bisa saja bermaksud menguatkan kisah (hikmah) itu sendiri, atau untuk menguatkan peran tokoh sezaman. Dan ini sah-sah saja, dengan catatan muara yang diharapkannya sama, membuat orang makin cinta pada sumber segala Cinta.
Kisah-kisah itu umumnya pendek saja. Di Barat, yang tertarik pada bagaimana kisah memberi pengaruh terhadap cara berpikir masyarakat, umumnya dikenal sebagai anekdot. Kisah pendek. Di kita, kata ini kaprah menjadi “sekadar” humor. Lelucuan. Bahkan kadang turun kasta menjadi sekadar slapstick, humor pemanis pergaulan yang bagi sebagian orang disebut humor (kelas) “rendahan”.
Kisah-kisah Abu Nawas, Mulla Nasruddin, Bahlul, misalnya, kemudian diperdengarkan tak lebih dari sekadar candaan mengisi waktu jeda atau nganggur. Dalam sebagian periwayatan bahkan bercampur dengan sensualitas dan kebodohan yang menghinakan. Padahal tokoh-tokoh itu adalah orang-orang cendikia, yang kadang konyol, namun benar-benar membawakan kesegaran bagi kejumudan berpikir dan beragama.
Sikap mereka adakalanya merupakan bentuk kritik terhadap sikap-sikap penguasa dan ahli hukum yang kaku dan kejam—takberpihak pada rakyat atau masyarakat penyangga kekuasaannya. Bahkan ada yang benar-benar satire dan menyesakkan dada, bagi orang-orang yang lalai dan lupa karena kemewahan dan kemudahan hidupnya.
Kisah-kisah mereka ini bahkan diadaptasi sedemikian rupa untuk “menyerang” penguasa sezaman. Nama-nama mereka bisa berubah mengikuti tradisi lokal, semisal Palui, Kabayan, atau Mukidi. Atau sebaliknya, kisah-kisah kontemporer lokal dilegitimasikan dengan nama-nama mereka yang sudah sedemikian kuat memberi pengaruh di benak pendengar: Bahlul, Nasruddin Hoja, Abu Nawas.
Sekali lagi, tidak penting benar siapa tokohnya, sejauh ia mampu memberi penyegaran dalam ketaatan beragama, kepada Allah swt sebagai “sumber” segala kisah dan cinta, maka mutashawwifun(para calon sufi) akan mendapatkan kebahagiaannya. Tentu dalam bimbingan, dengan hikmah-hikmah yang disarikan, oleh sufi atau seorang mursyid.
DalamEssential Sufism, yang dalam edisi Indonesianya “Indahnya Menjadi Sufi”, Fadiman dan Frager (SyekhRagip al-Jerrahi) menukilsebuah anekdot tentang Nasruddin Hoja. Begini kisahnya.
Serombongan anak muda mendatangi Nasruddin dan memintanya menjadi guru mereka. Sang Mulla yang bersedia, dengan syarat mereka menemaninya ke pondok sufi, menaiki keledainya dengan posisi duduk membelakang, ke arah rombongan yang mengikutinya. Sepanjang perjalanan mereka diejek dan dicemooh. Ketika sampai di pondok, terbukti yang bertahan hanya satu orang, dan anak muda ini pun bertanya,
“Mulla, mengapa Anda duduk menghadap ke belakang seperti itu?”
“Kamu tahu,” kata Nasruddin. “Tidak sopan bagi murid untuk berjalan di depan guru mereka. Dan juga tak benar jika aku memunggungi kalian, jadi inilah cara yang paling baik menurutku.”
Kisah ini menurut penukilnya, Syekh Ragip, memiliki beberapa tingkatan makna. Pertama, Nasruddin menunjukkan kritiknya terhadap pendapat klasik ketika dia menguji muridnya. Kedua, ia memerankan guru sejati, yang tahu jalan dan perhatian utamanya tertuju pada murid-muridnya. Dan ketiga, ia sebenarnya tengah menggambarkan adab di antara guru dan murid.@