Era Infotek hari ini, salah satu konsekuensinya, adalah memberikan ruang tak terbatas untuk aktualisasi diri. Aktualisasi itu pun terejawantah seharfiah-harfiahnya. Termasuk menampilkan apa saja yang ingin dilakukan, termasuk spontanitas-spontanitas yang—tanpa sadar—mendorong hasrat tampil (aktual) seperti joget-joget, marah-marah, makan-makan, tertawa-tertawa, nyanyi-nyanyi, di hadapan kamera, di hadapan publik, tak terkendalikan. Semua mereka anggap sebagai (ber)karya!
Era ini membuat orang-orang melupa-abaikan peran kuratorial yang merilis buah aktivitas di ruang publik. Kuratorial alias peninjauan elemen-elemen berkreativitas adalah keniscayaan untuk menguji-ukur apakah sebuah aktivitas dapat disebut karya atau tidak. Tidak perlu memaknai bahwa kerja kuratorial harus ditangani orang-orang kompeten di luar kreator, tidak perlu. Era serbaterbuka dan serbakompromi ini sangat mungkin melahirkan aktivitas autokuratorial. Artinya, dengan pemahaman yang mumpuni tentang bagaimana suatu aktivitas memiliki standar mutu dan konten, siapa saja bisa jadi kurator.
Bagaimana kuratorial itu berjalan?
Kuratorial adalah anak tangga kelima dalam proses kreatif. Artinya kuratorial bisa dilakukan setelah proses kreatif melalui premisisasi, riset, eksekusi, dan penyuntingan.
Dalam premisisasi, seseorang membuat rancangan dasar karyanya. Tanpa ini, pekerjaan akan kehilangan arah, bahkan potensial melebar ke mana-mana. Setelah masa depan suatu calon karya mulai kelihatan, riset mengambil peran. Di tahap eksekusi, sebuah calon karya mulai dikerjakan. Dalam penyuntingan, draf digodok agar menemukan bentuk terbaiknya. Dalam penyuntingan ini, uji kelayakan akan berlangsung. Dalam dunia kreatif, ini disebut simulasi atau rehearsal. Dalam penulisan, hal ini mewujud dalam bentuk berdiskusi dengan para first reader.
Siapa saja bisa membuat apa saja. Hanya yang memahami—dan mau menjalankan—proses kuratoriallah yang akan menghasilkan karya. Aktualisme diri secara spontan dan apa adanya bukanlah (ber)karya. Ia barulah berada dalam tahap eksekusi yang … akan menjadi bertambah kacau apabila core (premis) dan riset diabaikan.
Oleh karena itu, duhai para kreator yang tumbuh bak cendawan di musim hujan, apakah yang Anda rilis di ruang publik adalah karya atau sekadar hasil eksekusi spontan tanpa persiapan—premis dan riset—yang beres; apakah karya atau sekadar draf? Apakah karya atau sekadar aktualisasi?
Anda sendiri yang bisa menjawabnya, sebagaimana Anda sendiri yang memutuskan.@