Judul: Biji-biji Kopi yang Bercerita di Bumi Borneo
Penulis: Syam Indra Pratama
Tebal buku: 121 halaman
Tahun/Penerbit: Februari 2022 – Tahura Media
BOLEH jadi komunitas penikmat kopi adalah komunitas paling arogan hari ini. Betapa tidak, kopi yang sejak ratusan tahun sudah dikenal dan menjadi bagian keseharian rakyat Indonesia, dan hanya punya satu cara penyajian yaitu ditubruk, selama satu dasawarsa belakangan mulai disajikan dengan cara yang demikian kompleks. Belakangan, kopi dihadirkan dalam kualitas terbaiknya (kopi specialty) dalam bentuk bebijian yang digiling di hadapan pembeli, kemudian diseduh dengan berbagai metode baik seduh manual alias penyeduhan kopi tanpa mesin atau dengan mesin.
Metode-metode ini, manual khususnya, begitu atraktif dan memerlukan kecermatan dalam tiap prosedur pelaksanaannya: v60, aeropress, french-press, syphon, vietnam drip, chemex, falt bottom, atau tubruk. Dari semua metode itu hanya satu yang tidak berasal dari luar negeri ini, apalagi kalau bukan tubruk. Demikianlah, budaya kopi yang berkembang di kedai-kedai kopi -baik kualitas biji kopi hingga bahkan kedai-kedai kopi itu sendiri- dalam satu dasawarsa terakhir adalah budaya yang diduplikasi dari tradisi negara peminum kopi (baca: Amerika dan Eropa).
Lalu di mana letak arogansinya? Tak lain ketika memilih biji kopi, menyeduh dan menikmati seduhan kopi secara manual ini menuntut pengetahuan dan keterampilan yang paripurna. Kepemilikan pengetahuan itulah yang seperti Foucault katakan, memberi efek kuasa. Mereka yang memahami kopi dengan sangat baik ini merasa pemahaman sebagai sebuah keistimewaan.
Apakah itu hal yang buruk? Menurut saya, sama sekali tidak. Rakyat Indonesia sejak penjajahan Belanda di akhir abad 19 telah dipaksa untuk menanam dan menghasilkan kopi terbaik untuk dipasarkan negara penjajah itu di Eropa. Belanda beruntung karena kopi yang dihasilkan secara paksa itu ternyata kopi kualitas terbaik. Kopi dari jenis Arabika adalah kopi yang sangat diminati di Eropa. Kopi, oleh orang Eropa bahkan biasa disebut a cup of Java.
Akhirnya industri kopi Indonesia berjalan dengan cara demikian bahkan sampai negera ini merdeka, biji kopi terbaik dihasilkan dan dijual ke luar negeri dengan harga sangat murah untuk kemudian dijual kembali sebagai minuman berkualitas tinggi dengan harga yang mencengangkan. Tak percaya, beli lah kopi Starbuck di tanggal tua.
Jika biji-biji kopi terbaik melayang ke luar negeri, apa yang tersisa di pasar lokal? Tentu saja yang beredar adalah kopi grade sekian, atau malah kopi defect (kopi cacat yang biasanya disisihkan saat poses pemilihan kopi ekspor). Malangnya, kita telah terbiasa mengkonsumsi kopi semacam itu, hingga ketika gelombang kesadaran kopi specialty datang membuka cakrawala baru tentang bagaimana kopi enak itu sebenar-benarnya, kita sungguh tercerahkan. Bahwa kopi enak berawal dari bebijian yang dipilih dengan baik, dipanggang dan digiling dengan teknik yang tepat, diseduh dengan cermat, baru disajikan.
Gelombang ini sudah sampai pada level empat yang menurut Rodney Glick, seorang esais dan tokoh kopi specialty, menerjang negara-negara penghasil kopi. Pada level gelombang ini, negara-negara penghasil kopi mulai membangun basis kopi lokalnya. Mereka berlomba-lomba menanam dan menghasilkan berbagai jenis kopi lokal untuk kemudian menyajikannya dengan kualitas penyajian yang menjadi standar penyajian kopi Eropa. Hal yang menurut saya sangat heroik. Betapa tidak, negara-negara Eropa dengan tradisi minum kopinya yang prestisius itu selamanya hanya akan menjadi negara konsumen kopi, berbeda dengan negara-negara penghasil kopi seperti Indonesia.
Jika kita mau kita bisa menghasilkan bebijian kopi berkualitas minuman dewa lalu menyajikannya untuk diri kita sendiri dengan leluasa.
Leluasa berarti dapat dinikmati semua kalangan karena dengan tumbuh kembang yang baik, kopi specialty akhirnya berada di posisi harga yang terjangkau alias lebih murah. Yah, kopi luwak masih boleh seharga 100 ribu rupiah percangkir, tapi hari ini kopi lokal yang enak toh tak hanya kopi luwak.
Hari ini, kopi lokal kita telah menjelma menjadi satu jejaring industri yang tidak meraksasa secara kapitalis dan monopolis, tapi tersebar di berbagai wilayah dengan kekhasannya masing-masing yang secara kualitas mulai bertumbuh dan terus bertumbuh. Tiap daerah mulai menggali kembali wilayah-wilayah mana yang pernah dan bisa berpeluang kembali untuk ditanami kopi, atau petani-petani kopi yang masih berjalan tertatih seadanya mulai dikembangkan dan mengembangkan kebun-kebun kopinya.