Saya naik panggung pertama kali ketika masih seumur taman kanak-kanak. Ketika itu saya baca puisi Islami dalam rangka Isra Mi’raj. Sebelumnya saya dilatih oleh guru saya teknik-teknik dasar semacam artikulasi dan intonasi, juga cara mengekspresikan bacaan dengan mimik wajah dan gesture tangan. Saya lupa, apakah ketika itu cukup berhasil membacakan puisi dengan bagus atau tidak, yang jelas saya dipilih—karena sejak kecil—suara saya cukup lantang dan itu menjadi modal seterusnya saya sering mengikuti lomba-lomba.

Saya sering mengikuti lomba sejak sekolah dasar, mondok dan tsanawiyah, hingga SMA. Dari lomba baca puisi, lomba azan, lomba salat berjamaah dan sendirian, lomba menulis kaligrafi dan melukis. Persis ketika usia SMA, itulah masa akhir saya mengikuti lomba-lomba, dan saya beranjak ke jenjang yang lebih “tinggi” untuk menjadi “profesional” dengan memilih kuliah seni rupa di Jogja. Meskipun, ketika kuliah, beberapa kali pula saya mengikuti seleksi pameran—di mana karya saya dinilai dan dipilah di antara sekian banyak karya peserta lainnya.

Pasca kuliah, ketika awal mulai menulis secara serius, saya juga sempat mengikuti beberapa lomba penulisan (puisi, cerpen, esai, artikel ilmiah), sebelum akhirnya kini lebih sering menjadi juri.

Dalam mengikuti beberapa kegiatan semacam ini, di mana (karya) saya harus dinilai dan dipilih di antara sekian banyak pilihan lainnya, adakalanya saya menang—juara satu, dua, tiga, harapan—dan tidak satu dua kali pula yang hasilnya saya “pulang” dengan tangan dan perasaan hampa. Dengan pengalaman-pengalaman ini saya ingin membuat beberapa catatan penting tentang lomba dan proses seleksi.

    Ada tiga hal yang cukup penting dalam kegiatan semacam di atas yang sifatnya menentukan.

Pertama, tema kegiatan. Poin ini “mengikat”, karena menjadi bingkai yang membatasi kegiatan diadakan. Namun, “ikatan” itu sendiri adakalanya tidak bersifat mutlak, meskipun bagi beberapa orang yang saklek hal ini tidak dapat ditawar. Saya pribadi beranggapan selalu ada ekspresi murni yang boleh saja keluar bingkai, selama tidak mengganggu atau merusak keutuhan karya yang dibawakan. Terkait kriteria-kriteria tertentu yang dirumuskan, seperti waktu dalam pembacaan puisi, misalnya, selama tidak terlalu jauh dari yang ditentukan tidak mengapa. Dalam kasus seleksi seni rupa, sejauh yang saya ikuti di Jogja dan secara nasional, ikatan tema ini tidak selalu bersifat mutlak. Banyak karya yang secara visual, dalam pandangan mata awam, adakalanya “keluar” dari tema yang digariskan—namun yang banyak tidak diketahui awam, adalah juri bisa saja memilih berdasarkan konsep tekstual yang disertakan pada karya.

Kedua, kriteria yang dirumuskan, atau hal-hal bersifat teknis yang menjadi panduan bagi penilaian. Dalam pembacaan puisi, misalnya, kriteria itu meliputi pemahaman dan penghayatan akan puisi yang dibacakan, dan ini menentukan bagaimana ia akan mengeraskan atau melirihkan suaranya, memotong frase atau kalimat dengan tekanan intonasinya, dan mengekspresikan lewat mimik dan gesture anggota badannya. Dalam hal inilah perlunya membaca berulang-ulang karya yang dibacakan sebelum final dibacakan, untuk mempertegas “tafsir” pembaca puisi. Berikutnya artikulasi (kejelasan bacaan) dan intonasi (tekanan nada suara), dalam hal ini sekali lagi “tafsir” atas bacaan sebelumnya sangat menentukan.

Facebook Comments