Refleksi Menyongsong Banjarmasin Art Week 2023
KUMARAU landang, kemarau panjang, atawa kemarau yang berkepanjangan. Frasa kritis semacam ini telah dipilih oleh kawan-kawan Dewan Kesenian Kota Banjarmasin dalam kegiatan seni tahunan keduanya di tahun ini. Yaitu Banjarmasin Art Week (BAW), yang berlangsung mulai tanggal 14 hingga 20 November 2023 di Banjarmasin Creative Hub. Di sana, mereka menyajikan sejumlah acara seni yang beragam, dan nampaknya cukup bertendens kritis. Demikian kalau kita membaca maksud yang tersurat pada frasa kumarau landang sebagai topik kegiatan. Di esai cekak ini, saya punya maksud untuk merefleksikan secuil pengalaman dan pengetahuan saya, terkait fenomena dan visi kritis kesenian itu. Khususnya di Kota Banjarmasin, dan mungkin pula di Kalimantan Selatan (Kalsel) secara umum. Harapan saya, tulisan ini mampu memperkaya pemaknaan kiritis dari maksud dan tujuan penyelenggaraan BAW tahun ini.
Secara metaforik, kondisi kemarau dan pemanasan alam global yang mengepung akhir-akhir ini memang terasa seperti melukiskan pula dinamika berkesenian kita. Boleh jadi kesenian kita di Banjarmasin atau di Kalsel. Bahwa di tengah-tengah regenerasi pelaku muda kesenian yang terus berlangsung secara formal maupun informal, di antara meningkatnya jumlah pihak-pihak yang membikin kegiatan seni, atau suburnya media alternatif yang gercep dalam memfasilitasi saluran karya seni, semuanya malah seperti kering belaka. Kering artinya tak basah, tidak sejuk, bahkan tiada riak kecipak makna yang menyegarkan. Pemaknaan yang cenderung bersandar pada kritisisme seni ini, tentu saja, agak jauh dari perspektif dunia komoditas seni yang selama ini berkedok pada budaya populer dalam berbabagi bentuk spirit ekonomi kreatif, destinasi pariwisata, atau bahkan kapitalisasi pendidikan seninya.
Lantas, apa salahnya jika kita membonceng budaya populer untuk memajukan kesenian kita? Soal ini, saya berusaha memosisikan budaya populer di hadapan seni kita secara objektif. Sedikit latarnya, kesibukan saya akhir-akhir ini dalam menulis disertasi tentang musik populer Indonesia telah mamaksa saya untuk banyak memelototi ratusan kajian tentang budaya populer. Simpulan mudahnya dari bacaan itu adalah, budaya populer memang perlu kita curigai pada tendens kedangkalan budaya massalnya, namun juga perlu kita cermati banyak tawaran kecerdasan fungsional di dalamnya yang dapat bernilai kritis, filosofis, dan bahkan berpotensi spiritual. Asumsi dan konteks budaya populer inilah yang melatari pemaknaan saya atas perkembangan kesenian kita yang kering itu. Meskipun juga sudah nampak jelas, tetap saja ada dan hadir sejumlah ekspresi kesenian yang reflektif, jernih, dan segar di antara kebisingan budaya populer yang massal lagi kering pada jantung kesenian kita.
Satu masalah krusial ekspresi seni yang saya anggap membebani habitat asli kebebasan ekspresi kreatifnya adalah ketika seni gagal diposisikan atau didudukkan pada dasar media imajinatifnya. Pada pokok soal inilah kemudian seni menjadi impoten, bahkan gagal bekerja. Penyakit latah dan ketiadaan kapital estetik para seniman atau entah karena faktor apa dalam hal kategori gagal itu misalnya akan kita temui pada kerja-kerja seni yang mekanistik maupun yang hanya berorientasi pada manumen material belaka. Kasus
“penyakit seni”ini akan dapat dengan mudah kita pindai pada tubuh-tubuh pekerjaan seni yang menginduk pada kapital birokratis publik (baca: pemerintah). Posisi pemerintah yang semestinya menjadi rekan kolaborator pekerja kreatif kesenian yang saling melengkapi malah acapkali dijadikan induk tempat menyusu dan bahkan didaulat untuk merumuskan visi artistik sebuah kegiatan. Gila!
Bukankah tugas pemerintah, atau lebih mendasar lagi, negara: adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, termasuk kesejahteraan dan kecerdasan seni masyarakatnya? Ya, betul. Justru itu, di sinilah kemudian keperluan untuk mendudukkan mana yang menjadi substansi seni, mana yang media seni, mana yang bungkus seni, mana yang ornamen seni, mana yang pekerja seni, mana yang apresiator seni, mana yang pengacara seni, mana yang guru seni, mana yang kritikus seni, mana yang mestro seni, mana yang donatur seni, mana yang organistor seni, mana yang birokrat seni, dinas kesenian (kalau suatu saat ada dan semestinya ada) dan seterusnya, pada posisi yang jelas dan tepat. Begitu, karena kebiasan kita untuk meninggalkan kejelasan dan menghindari ketepatan, alih-alih kebebasan dan kelenturan seni, telah menyebabkan kegagapan dalam menghadapi modernisme yang tak terelakkan itu. Lalu, pragmatisme seni pun dengan cepatnya mengambil alih daya spiritualisme (dalam bahasa kita “adiluhung”) untuk dibawa ke hadapan budaya populer, yang celakanya belum pula kita kenali sifat kemuka-duaannya!