SETELAH beberapa waktu, saya kembali membuka akun facebook yang ditinggal setelah dua tahun lamanya. Astaga! Betapa kagetnya saya ketika melihat kenyataan bahwa timeline facebook saya tidak berubah sedari dulu. Bahasan-bahasan mengenai azab terhadap LGBT, klik share dan amin, hingga postingan anak durhaka yang ternyata ikan laut itu masih setia mejeng di beranda.
Dalam keheranan itu, saya bertanya kepada seorang kawan, yang langsung dibalas dengan gelak tawa “Ah, bukannya Ibumu juga sering begitu?”
Saya tersentak kaget sekaligus geli. Segera saya menghampiri ibu yang asyik memotret masakan di dapur dengan kamera hp. Setelah diselidiki, rupa-rupanya ibu juga ikut-ikutan menjadi tergila-gila pada sosial media dan internet.
Pantas, akhir-akhir ini saya jarang melihat anak-anak remaja atau ABG yang masih beralay ria di facebook dengan caption foto yang nyeleneh dan bikin geleng-geleng kepala. Rupa-rupanya, tugas abg-abg itu kini beralih generasi.
Bukannya beregenerasi terhadap adik-adik remaja yang lebih muda, tapi pada ibu-ibu serta bapak-bapak mereka yang doyan sekali mengunggah foto keseharian di facebook. Wabah sosial media menular pada manula, lebih cepat dan mengerikan daripada stroke dan osteoporosis.
Seperti hukum kekekalan energi, sosial media juga punya hukum kekekalannya sendiri. Alayers sosmed tidak bisa dimusnahkan, tapi bisa berubah bentuk, dari yang muda ke yang tua. Begitu saja terus tampaknya berputar-putar seperti gasing.
Ini juga yang tampaknya menjadi lahan basah bagi para katak dan codot di luar sana. Apabila spesies-spesies kecil dari hewan-hewan ini bernama cebong dan kampret, maka yang elite-elite dan gede-gede tentu namanya bukan lagi kampret dan cebong. Tapi sudah sekelas katak yang bisa loncat sana-sini dan codot yang hobi makan buah, bukan lagi serangga-serangga sisa.
Orang-orang tua yang sudah tidak lagi mau ambil pusing memikirkan rumus kebenaran dan tabel-tabel logika seperti di SMA tentu jadi incaran siluman-siluman hewan ini. Orang tua yang masih percaya bahwa sosial media itu sama ghaibnya dengan kerajaan siluman tentu akan manggut-manggut pada apapun yang lewat di beranda mereka.
Politik dengan menggiring massa manula di sosial media ini terbukti manjur bagi kepentingan-kepentingan sedap di atas sana. Berbeda pilihan partai dengan tetangga sebelah pun kini dosanya lebih berat dibanding pembunuhan.
Barangkali, kaum manula rasa ABG ini merasa jika debat partai di sosmed lebih menarik dibanding senam bersama di alun-alun. Makanya, kerap terjadi perpecahan antar tetangga hanya karena beda sablonan kaos dan hashtag di instagram.
Ini serius, di kampung saya semua berubah ketika ibu-ibu dan bapak-bapak mulai mengerti sosial media, internet dan teknologi. Barangkali sama seperti bayi, sama-sama baru melek, bakal sering nangis dan rewel. Urusan bawah perut, kubu politik, sampai konspirasi pakaian dalam tetangga yang mengandung simbol iluminasi dan elite global.
Perkara beras yang dimonopoli organisasi tatanan dunia baru, elpiji yang bisa menyebabkan radiasi, hingga partai politik yang kalau dilihat bannernya saja di pinggir jalan bisa mendangkalkan akidah. Semua itu kini jadi ramai diperbincangkan setelah emak-emak jaman now mengerti sosial media.
Orang-orang tidak pakai caping ke sawah karena bentuknya segitiga-kerucut bisa menimbulkan azab dan gempa instan adalah hal yang lumrah terjadi di zaman ini. Emak-emak yang jadi hijrah lebih giat dari kaum muda, hingga emak-emak yang lekas-lekas menyuruh anaknya nikah muda agar hijrah sekeluarganya menjadi lebih manteb.
Apalagi mendekati tahun politik, seperti yang sudah sedari tadi disinggung, masyarakat tiba-tiba menjadi sosiolog, antopolog, pengamat politik, bahkan jadi turunan nabi. Saya kaget, yang mereka sebut ngobrol politik di sosial media itu isinya hanya mencak-mencak dan menumpahkan sumpah serapah diselingi ayat pada lawan kandidat.
Apabila hijrah snob bertanya “Agama lu apa?”
Maka, para pengamat politik jadi-jadian ini bertanya hal yang tak lebih mengerikannya “Kubu mana lu?”