Jika kita mengintip tradisi di dunia, hampir semua Negara melakukan hal yang sama. Warga Afro-Brasil di Uruguay, misalnya, melakukan persembahan kepada Dewi Laut sebagai medium rasa syukur terhadap alam semesta. Sebagaimana mitologi yang berlaku di sana.

Di Indonesia pun, hampir setiap wilayah dan daerah mempunyai tradisi yang mirip, atau bahkan sama. Kebanyakan dari pelaku memercayai adat melakukan ‘Larung Sesaji’ ke laut.

Nah, di Banjar, masyarakat Banjar dalam konteks umum, akrab melaksanakan Larung Sesaji/Mappanretasi atau Melarung, (Malarung, Banjar, red) sebagai adat atau tradisi turun-temurun yang hingga kini masih dilaksanakan sebagian Urang Banjar.

Namun demikian, keberadaan buaya ghaib lah yang justru menjadi poin persembahan yang dianalogikan sebagai pelindung, atau perantara yang maha kuasa unuk menolong.

Pertanyaannya adalah, mengapa Buaya dalam konteks ini malah menjadi medium yang dipercaya sebagai perlindungan?

Rahman, salah seorang teman memaparkan cerita yang turun-temurun disampaikan kepadanya, yang kemudian disampaikan kepada penulis. Di era kakeknya dulu masih berjuang merebut NKRI, kajian-kajian ilmu yang dekat dengan perlindungan entah itu kekebalan, pertolongan atau hal yang semacamnya menjadi mediasi antara manusia dengan alam semesta.

Diceritakan Kakek Rahman, dalam satu momentum menangkap ikan di sungai. Adalah masa-masanya pensiun dari perjuangan pasca kemerdekaan RI, beberapa tahun setelahnya.

“Jadi ketika melunta, terlilit buaya kecil. Buaya anak. Setelah itu dilepas begitu saja. Setelah pulang, besok melunta kembali, dan terlilit buaya yang sama. Kai ni pinandu nang tekait ni buaya yang sama, lantaran baciri, cacat buntutnya (bertanda, buntung ekornya, red)”.

Kali kedua kejadian itu terjadi lagi, padahal ia melunta di sungai yang lain, di titik koordinat yang berbeda. Kakek Rahman melepasnya kembali.

Hari ketiga, kejadian itu terjadi lagi. Maka dibawalah buaya anak tadi ke rumah. Dan dikurung dalam peti yang biasa dipakai untuk mengurung ikan.

“Malamnya dimimpikan oleh si buaya. Terjadi komunikasi di sana. Disebutkan buaya mengungkapkan rasa sukanya kepada si kakek. Terjadilah semacam perjanjian: lamun kada mengganggu silakan berkawan. Namun aku kada mambaru makani dan jangan mahaur, katanya.

Paginya, Kakek Rahman melihat ke dalam peti yang menyimpan buaya tadi. Dan buaya yang dimaksudkan telah hilang.

Satu ketika Kakek Rahman mendapati halangan, kepepet. Hal yang sebenarnya menguji iman/kepercayaan. Kebiasaan masyarakat sungai menuju satu tempat ke tempat lain menggunakan perahu atau jukung.

Lamun biasanya ke Pulang Pisau itu normalnya 4 jam pakai speed. Sedangkan ini bekayuh aja, pakai dayung. Tagal di bawah banyu, ada buaya nang membantu menunjulakan,” paparnya.

Agar tak terlalu tampak dilihat masyarakat, ketika melewati perkampungan, kayuh kembali difungsikan. Ketika melewati rawa sungai hutan yang sepi penduduk, jukung kembali melaju layaknya perahu motor.

Nah, maka semacam penghargaan atau ungkapan terima kasih, Kakek Rahman “taumpati” hal ihwal yang terkait adat. Yakni memberi makani, melarutkan makanan ke sungai.

Mun aku membahasakannya tu, masuk permainan bubuhannya. Lalu taumpat melarung sesajen ke sungai,” jelasnya.

Namun bedanya dulu itu, memberi makani buaya betul-betul ke mulutnya. Benar-benar tampak di zhahir. “Buaya, dalam hal ini benar-benar naik ke batang maambil makanannya itu, dan tampak dilihat masyarakat di sekitaran batang banyu/sungai,” lanjutnya.

Maka setelahnya, munculah jenis-jenis variasi sajen seperti syarat. Seolahnya, yang ghaib, dalam hal ini buaya, ingin menyamai kenikmatan yang ada di manusia. Yakni seperti lakatan, baras kuning, bahkan sebatang rokok yang dililit dengan pandan. Di tengah sajian telur ayam kampung mentah, sembari membakar prapen/dupa/menyan.

Seiring kentalnya peradaban Islam di Tanah Banjar, ritual demikian pung dibungkus dengan hal religiusitas. Yakni, membaca doa selamat sebagaimana umum dilakukan masyarakatnya. “Saya menganggap ini justru ini kelemahannya, ya,” ungkap Rahman.

Namun dari cerita itu semua, berbagai teknik pelaksanaan pun bervariasi. Dengan segala hitung-hitungan ganjil yang terkadang berdasarkan teori-teori keagamaan.

Mengapa harus buaya, apakah tidak ada medium lainnya?

Sebenarnya masih banyak versi lain asal-muasal mengapa Buaya identik sebagai medium supernatural yang terkesan sakral di sebagian masyarakat Banjar.

Riwayat lain pernah menyebutkan, secara garis waktu, buaya yang kini ghaib, dianggap beranak-pinak, sama halnya dengan manusia. Lantas mereka pun mengetahui, atau “meminandui” cucu-cucunya dari kakeknya di masa lampau pernah bersepakat sesuatu dengan kakeknya pula, dari air yang pernah dipakai, kepada manusia tadi. Semisal dibasuh ke wajah, atau dimandikan.

Kembali ke pertanyaan inti, mengapa harus buaya?

Alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin Mursalin dalam tesisnya berjudul: Buaya Ghaib Dalam Perspektif Urang Banjar ‘Batang Banyu’ di Sungai Tabalong, memaparkan, diskusi demikian terjadi lantaran dekatnya masyarakat Banjar dengan Batang Banyu alias sungai.

Kalimantan, secara geografis dirajut oleh ruas-ruas sungai. Pembahasan pun dibagi lagi ke beberapa sub judul.

Secara ringkas, buaya menjadi sosok makhluk atau boleh dianggap sebagai predator sungai, yang paling dekat dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Diperkuat lagi dengan animisme masyarakat pedalaman.

Buaya dan manusia saling hidup berdampingan. Buaya dianggap sebagai penjaga sungai. Jika tak ingin diganggu oleh mereka maka kita jangan menggangu, demikian diterangkan.

“Anggapan atau pendapat demikian diklaim seperti peluang untuk memasukan mitos tersebut. Yang dianggap mesti dihormati. Ini bagian dari mitologi masyarakat adat. Ritual demi ritual terlahir sebagai upaya perlindungan diri, dan memuliakan alam semesta,” terangnya.

Jika menilik korelasi yang sama juga terjadi pada masyarakat pegunungan yang identik dengan beruang/harimau atau macam putih. Namun pembahasan belum bisa melebar sampai ke sana.

Uniknya, hingga dalam jurnal tesis itu disebutkan, tradisi melarung sesajen untuk buaya berkorelasi terhadap mitos Putri Junjung Buih, keberadaan Pangeran Surayanata, dan kisah Lambung Mangkurat.

Perihal ini, akan ada pembahasan terkhusus dalam postingan selanjutnya. @