MENDICUS*

ia masih berdiri di situ
— di tapal batas ngarai angan –
jika benar kau ingin tahu

satu per satu jemarinya masih begitu
— membelai mahkota garbera
di hitungan ganjil dipetiknya
lantas ia gugurkan minus napas terhela –
jika benar kau ingin tahu

pandangannya masih melekat pada daun pintu
— belas –
jika benar kau ingin tahu

2021

*) Pengemis, terjemahan dalam bahasa Latin


SERONA RISALAH

#1
bisa saja hamparan kata ini adalah risalah
sebagaimana runduk buliran padi karena isi
rekatkan lagi asa petani yang sesekali terbelah
tapi berhenti menjadi angka-angka notasi
berarti bagi sebagian kecil lalu lalang

#2
sementara sempat ada mimpi
tentang ayam dan juga anak sapi
terbang di antara awan putih
dan menyebutnya sebagai puisi

#3
andai saja
membaca serona jalan pedang para samurai
kita tak terus tenggelam di pusaran survei
melolong karena berada di urutan ke sekian
metodologi dan variabel penelitian dipertanyakan

#4
makahamparan kata ini
tak berhenti di etape; bisa jadi

2022


HATI

Kala itu, seorang gadis diam-diam mencurinya
lantas rapat menyimpannya; di luar pandang siapa saja. Tiada
yang tahu di mana. Pertanyaan juga pencarian menjelma
agenda bulanan. Bahkan, tahunan. Tapi kuda lumping yang biasa
anggukan kepala, menggeleng saat ditanya. Demikian pula
gadis itu; ia tak pernah hinggap di jendela
seperti kupu-kupu, ia tak pernah merasa mencurinya
sebagaimana bakal madu di mekar kembang.

Tanpa hati, terjadilah ngeri demi ngeri. Ia, perjaka
itu —yang di pundaknya bergayut gunung-gunung asa
orang-orang tercinta— berjalan tanpa cahaya.
Lebih dari satu rajapati ditulisnya dengan musnah iba.
Lebih dari satu jurang digalinya dengan hampa rasa.
Lebih dari satu hati dicurinya lalu dipatahkan dengan babang jiwa.

Kini, kami usai membangun tugu di ujung jalan
sebagai peringatan hati yang hilang.

2021

 

Ilustrasi: Lukisan karya Muslim Anang Abdullah

Artikel sebelumnyaTOKOH TIONGHOA DALAM SEJARAH UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
Artikel berikutnyaFILM BANJARBARU DIPUTAR PADA INTERAKSI PEMUISI SEDUNIA
Anjrah Lelono Broto
Aktif menulis esai, cerpen, serta puisi di sejumlah media masa. Beberapa puisinya masuk dalam buku antologi bersama Pasewakan (Kongres Sastra Jawa III, 2011), Margasatwa Indonesia (Lumbung Puisi IV, 2016), Klungkung Dalam Puisi (Dewan Kesenian Klungkung, 2016), Memo Anti Kekerasan Terhadap Anak (2016), Sang Perawi Laut (2018), Tamasya Warna (2018), Kunanti di Kampar Kiri (Hari Puisi Indonesia-HPI Riau, 2018), When The Days Were Raining (Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2019), Antologi Kritik Sastra dan Esai, Jilild Kedua (2021), dll. Karya tunggalnya adalah Esem Ligan Randha Jombang (antologi geguritan, 2010), Emak, Sayak, Lan Hem Kothak-Kothak (antologi cerkak, 2015), “Nampan Pencakan (Himpunan Puisi, 2017), Permintaan Hujan Jingga (antologi puisi, 2019), dan Kontra Diksi Laporan Terkini (antologi puisi, 2020). Terundang dalam agenda Kongres Bahasa Jawa VI (2016), Muktamar Sastra (2018), Kongres Budaya Jawa (2018), dan Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia III (2020). Karya naskah teaternya “Nyonya Cayo” meraih nominasi dalam Sayembara Naskah Lakon DKJT 2018. Sekarang bergiat di Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LISSTRA), dan Komite Sastra Dewan Kesenian Mojokerto (DKKM).