Melewati Panglima Batur menuju Murjani, jalanan padat merayap dan malam masih teramat dini bagi banyak orang. Begitulah dalam beberapa pekan terakhir ini—keadaan Banjarbaru, terutama di Lapangan Murjani yang kami lewati.
Tepat di pertigaan, Jalan Wijaya Kusuma-Panglima Batur, Komet, kami melambat dan melihat bangunan di sisi kiri, sebuah kincir. Kala itu saya membawa motor, sementara kawan saya duduk di belakang. Di antara bising motor serta kibas angin ia bertanya: “Apa pentingnya kincir di tengah kota?”
Sayangnya saya bukan orang asli Banjarbaru, tidak ada hal (kenangan, ingatan, perasaan, dll) yang setidaknya pernah bersinggungan dengan Kincir Komet secara langsung di masa kecil. Jadi jujur saja saya tak tahu. Tetapi dari beberapa orang asli Kota Idaman yang saya kenal, bilamana menyinggung soal keberadaan dan pentingnya Kincir Komet, mereka selalu berbuih-buih menjelaskan betapa pertanyaan soal penting dan tidak itu konyol betul adanya.
Beberapa menit lepas saya dan kawan saya turun dari motor, kami bertemu dengan H.E Benyamine (kau barangkali lebih mengenalnya dengan sebutan Bang Ben) di sekitaran Panggung Bundar Mingguraya.
Di sana, selemparan batu dari tempat kami, orang-orang terhipnotis puisi yang dibacakan oleh salah seorang yang tidak saya kenali. Beberapa saat setelah itu saya sadar: kepolosan dan ketidakmampuan membaca situasi rupa-rupanya tipis betul, sebab di kesempatan itulah kawan saya menanyakan pertanyaan serupa yang sebelumnya tidak saya jawab kepada Bang Ben.
Sebentar, kata Bang Ben, ia lantas mondar-mandir mencari buku selama beberapa menit. Setelah ketemu, ia menyerahkan buku tersebut dan ngomong kalau: Apa yang kamu cari ada di sini. Ia pergi mengambil ponsel dan bergabung dengan kumpulan orang di depan panggung untuk merekam video pembacaan puisi. Oke, baiklah, pikir saya. Buku itu rupa-rupanya adalah kumpulan esai beliau yang terbit dengan judul Imagine Banjarbaru. Saya melihat daftar isi dan menemukan satu judul esai Saksi yang Dihilangkan, secara singkat isinya kira-kira begini:
Menelusuri kincir angin Komet, yang pernah menjadi pemberitaan, tergambar bagaimana kincir angin Komet hanya dianggap sebagai besi dan diserahkan kepada pemulung untuk merobohkannya yang kemudian diambil besinya tidak lebih dari sebagai besi tua…
Beberapa warga yang menyadari arti dan makna kincir angin bagi Kota Banjarbaru, yang kebetulan melihat pembongkaran juga mencoba mencari tahu pada instansi pemerintahan yang terkait pada waktu itu, tetap tidak mendapatkan jalan bagaimana menyelamatkan kincir angin tersebut dari penggusuran yang mereka temukan, karena beberapa pihak di instansi terkait juga tidak mengerti permasalahan yang sedang terjadi, meskipun mereka sebenarnya juga tahu dan menjadi bagian dari keberadaan kincir angin tersebut; mungkin pernah main petak umpat di sekitar kincir angin waktu masa kanak-kanak.
Singkatnya, apa yang saya pahami dari esai tersebut menyangkut tentang “penghinaan” terhadap ikon kota, saksi bisu sejarah panjang Banjarbaru, Kincir Komet, yang pada 2008 silam dirobohkan dengan menyerahkannya pada pemulung.
Memang, kita tahu, memulung bukan pula pekerjaan salah. Tidak ada maksud ke arah sana dalam tulisan ini. Tapi menyerahkan sebuah pembongkaran saksi sejarah untuk dijual sebagai barang bekas sudah tentu keliru.
Kincir Komet, bagi pendatang yang barangkali abai pada sejarah di baliknya, mungkin hanya dipandang sebagai ruang terbuka, bangunan tinggi yang tak jelas fungsi keberadaannya hari-hari ini selain untuk keindahan sisi kota. Tapi jika ia memang hanya sebatas “penghias”, maka tak akan ada respon-respon yang demikian nyaring ketika pada tahun 2008 bangunan itu dirobohkan…. (bersambung)
Ilustrasi dok. BDL: para model-model papan atas Banjarbaru