artikel sebelumnya: https://asyikasyik.com/menengok-kincir-komet-menilik-alasan-alasan-mengapa-ia-ada-dan-harus-selalu-ada-bagian-1/

Pada satu kesempatan yang jauh, saya pernah membaca satu kumpulan cerpen Kincir Angin pun Memilih, satu kumpulan cerpen bersama beberapa penulis Kalimantan Selatan. Saya lupa menaruh buku itu di mana sekarang, dan lupa pula siapa penulis cerpen yang judulnya dijadikan buku. Tapi, ada satu kalimat menarik yang saya temui menyoal kincir angin, begini:

… kudengar dari balik punggungku cekikik orang-orang sambil memanggil karung besar keluar dari tempat di mana kincir angin itu berdiri. Beban karung di punggungnya membuat gerombolan pemulung itu berjalan setengah menyeret. Sambil berjalan mereka tertawa puas, seperti baru saja menjumpai harta karun tanpa perlu menggali.

Selain itu sebenarnya ada banyak sekali respon negatif ketika proses penghancurannya, dari pengamat, seniman, budayawan dan lain-lain.

Benda-benda tanpa punya sejarah panjang, penghias kota yang dibangun tanpa tujuan, tak akan seabadi itu bila dihancurkan. Ia, sebagaimana kalimat cerpen di atas, jelaslah merupakan harta karun.

Dalam sejarah singkatnya yang saya temui di beberapa artikel maya, Kincir Komet dibikin pada tahun 1969-an oleh pihak swasta, dengan pabrik besi baja dari Rusia sebagai investor yang turut membangunya, juga pihak swasta Belanda.  Fungsi kincir tersebut tak lain sebagai perangkat pompa air untuk menyuplai air bersih dari gunung atau sumber mata air ke kolam penampungan di kawasan Banjarbaru III (sekitaran Komet). Pompa air ini penting adanya, sebab pada tahun-tahun tersebut, Banjarbaru dilanda kekeringan yang tak jarang membikin warganya harus jalan kaki ke tempat-tempat jauh, bahkan sampai ke Martapura, untuk sekadar mendapatkan air.

Sejak hari itulah bangunan tersebut berdiri di sana, menjadi saksi bisu dari hiruk-pikuk pembangunan sekitar, lalu lintas yang kian hari menampakkan wajah-wajah baru dilihatnya dalam diam, musim berganti, hujan dan panas yang datang membikin besi-besi yang menopang dirinya karatan, waktu memberi sekaligus mengambil banyak hal darinya. Salah satu yang paling membuat bangunan itu berkesan barangkali adalah dinamainya Kelurahan Komet itu sendiri, yang secara langsung diambil dari nama kincir angin tersebut. Lalu, kira-kira empat dekade kemudian, ia dirobohkan, harta karun itu dibikin kerdil—menjadi bocah kecil lagi. Masa itu banyak orang menganggap begitulah cara pemkot memandang sejarah, kecil dan tak terawat.

Saiful Ulum, seorang pelaku seni asal Pasuruan, dalam satu esainya yang terbit di salah satu portal online berjudul Ikon Kota adalah Representasi Budaya mengatakan sebagai berikut:

Facebook Comments