Suatu hari di tahun 1629, Batavia digegerkan oleh skandal dua sejoli; Sara Specx dan Pieter J Cortenhoeff. Sara atau sering dipanggil dengan nama Saartje, adalah putri pejabat VOC bernama Jaques Specx, hasil pergundikannya dengan seorang wanita berkebangsaan Jepang. Begitu Sara lahir, sang ayah menitipkannya kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia, Jan Pieterzoon Coen yang kemudian menjadikannya anak angkat dan menyerahkan pengasuhannya kepada istrinya; Eva.
Memasuki usia 13 tahun, Sara tumbuh bak mawar mekar dengan wajah yang menyiratkan perpaduan antara Timur dan Barat. Ia menjadi buah bibir. Yang mendambanya tak hanya kalangan sinyo, tapi juga para calon perwira muda VOC – di antaranya adalah seorang perwira muda penjaga kastil (de vaandrig van de kasteelwacht) bernama Pieter J Cortenhoeff. Mungkin karena memiliki wajah yang tampan rupawan, Cortenhoeff mendapat perhatian lebih dari Sara dibanding yang lain. Singkat cerita, gayung bersambut. Hubungan percintaan yang panas terjadi diam-diam. Akan tetapi serapi apapun mereka merahasiakan hubungan itu, ternyata tak dapat mengelak dari endusan tajam hidung telik sandi Gubernur Coen.
Coen mulanya tak percaya dengan laporan para telik sandi. Akan tetapi ketika suatu hari ia memergoki sendiri putri angkat kesayangannya itu sedang berasyik-masyuk dengan Cortenhoeff di salah satu ruangan kastil, ia pun menjadi murka. Sebagai seorang Kristen Calvinis yang fanatik, Coen tentu saja sangat membenci segala hal yang berbau cabul. Tak tanggung-tanggung, kemarahannya itu ia tuangkan dalam bentuk peraturan yang keras dan mengikat bagi pegawai-pegawai VOC, terutama di Batavia.
Saking malunya Coen dengan peristiwa itu, ia perintahkan anak buahnya untuk menyiapkan dua tiang gantungan sekaligus di depan Stadhuisplein (sekarang Gedung Museum Fatahillah Jakarta). Andai Pengadilan Batavia (Raad van Justitie) dan para pendeta tidak cepat turun tangan dan memutuskan hukuman skandal tersebut harus melalui pengadilan, niscaya keduanya akan digantung begitu saja oleh Coen.
Tanggal 18 Juni 1629, keputusan pengadilan turun; Sara dijatuhi hukuman cambuk dan Cortenhoeff tetap diganjar hukuman mati. Sehari kemudian Sara diseret ke arah pintu gerbang balai kota Batavia. Setelah dilucuti seluruh pakaiannya, tanpa peduli dengan jeritannya yang memilukan hati, para algojo mendera kulit halus gadis cantik itu dengan puluhan kali cambukan. Pemandangan keji itu konon menjadi tontonan ratusan orang. Adapun Cortenhoeff, digiring ke depan Stadhuisplein lalu diikat dalam sebuah tiang pancang. Leher lelaki 17 tahun itu ditetak setelah sebelumnya para algojo mencoreng moreng wajah Cortenhoeff dengan arang sebagai tanda seorang pelaku kecabulan.
Ketika kepala Cortenhoeff menggelinding ke tanah dan orang-orang Betawi melihat bagian hidungnya yang belang-belang akibat aksi coreng moreng para algojo kompeni tersebut, sejak itulah, kata “hidung belang” menjadi stereotipe masyarakat Betawi untuk lelaki cabul.@