MEMAHAMI makna yang terselubung dalam sebuah teks sastra berarti menggauli simbol-simbolnya yang tersurat, berkomunikasi dengan hal-hal tersirat. Makna akan terus berkembang dari bahasa yang jenjang pemakainya berterima. Bahasa tidak sekadar konstruksi otonom yang melibatkan segenap tata aturan dalam berbahasa, kalimat, dan pilihan kata. Fungsinya lebih kompleks sebagai sebuah manifesto.

Bahasa menempati posisi strategis bagi penyemaian ideologi yang ada dibelakangnya. Dengan mengandaikan modus kekuatan tertentu dalam setiap praktiknya maka setiap makna dalam bahasa memiliki diksi, gaya pengungkapan, perbendaharaan kata, kandungan pengetahuan yang ingin diungkap atau samarkan.

Maka dengan demikian, khasanah simbolik dalam bahasa mau tak mau telah membuka ruang semesta tanda yang dibuat sebagai pemahaman dari sebuah modus pemaknaan terhadap dimensi sosialitas yang berjenjang.

KUMPULAN PUISI “GELORA”

Adalah kumpulan puisi H. MAR yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Kebudayaan Brunei Darussalam satu dasawarsa silam. H. MAR adalah akronim Haji Muhammad Ali Bin Haji Radin yang lahir di Brunei pada 5 Agustus 1968. Sebelum menjabat sebagai Ketua Bahagian Sastera dan Majalah, Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Dr. Haji Mohd. Ali bin Haji Radin adalah Kerani Banci (juru tulis) di Unit Perancang Ekonomi Kerajaan.

MOHD ALI RADIN (H. MAR)

GELORA yang bermakna gejolak dan badai ini adalah ekspresi H. MAR yang ditorehkannya sekitar tahun 1990–2009. GELORA berisi 80 judul puisi dari keberbagaian tema yang diusungnya. H. MAR menukilkan ungkapan dengan menengarai kekosongan, menggamit keterasingan, memburu keresahan di sela-sela matra kehidupan dengan kompleksitasnya.

H. MAR berhasil meneroka fenomena pascamodern yang urung didapat bila membaca karya pesyair dari negeri tetangga. Seperti pada puisi BISIKAN ROH H. MAR bertanya dan pertanyaan itu menjadi pemantik pembaca untuk berkelindan menghayati lebih khusyuk; //apa hidup hanya melahirkan waktu/ Betapa kalimat ini benar-benar menohok penyimak yang haus mencari.

Membaca puisi-puisi ekspresif H. MAR saya mendapati kekosongan akan suatu konsepsi bahwa hidup itu tidak pernah sempurna, manusia diciptakan dengan perbedaan yang komplementer. Namun yang sempurna dari yang kasat kita resepsi ternyata adalah kematian.

H. MAR mulai menulis sajak, cerpen, novel, drama, dan esai sejak tahun 1984. Karyanya tersiar di Bahana, Pelita Brunei, Borneo Bulletin, dan Radio Televisyen Brunei. Tahun 1993 bersama Eka Budianta pesyair senior Indonesia, H.MAR mewakili negara Brunei Darussalam dalam ajang ASEAN WRITERS di Pulau Pinang.

Beberapa puisi-puisinya H. MAR dengan sengit bergumul lewat pencarian yang menggamit jiwa pembaca, simak:

BUKAN BUNUH DIRI