MEMASUKI Sanggar Sholihin yang tak seberapa besar itu (bila tidak ingin disebut kecil) di lingkungan Taman Budaya Kalsel, Banjarmasin, suara musik instrument bernada lembut terdengar sayup-sayup.  Di sudut kiri pintu, seorang perempuan muda mempersilakan mengisi buku tamu Pameran Seni Rupa Drawing “Garis-Garis Seribu Sungai”, digelar 14-22 Mei 2022.

Saya sudah cukup sering menyaksikan pameran di sanggar seni rupa ini, dan karenanya cukup hapal di mana kipas angin diletakkan untuk mengibas hawa pengap ruangan—dan sore Senin (16/5/2022) saat saya ke sana, sepertinya bertambah satu kipas angin. Tapi tentu saya tidak ingin membicarakan panjang lebar tentang pendingin ruangan, meski sebenarnya itu cukup penting untuk membuat orang betah dan tak gerah berada di dalam.

Kali ini saya tertarik menuliskan tentang karya-karya salah satu pelukis yang ikut berpameran. Mungkin agak subyektif, karena karya pelukis ini dari dulu memang saya sukai. Tetapi karya-karyanya memang menarik secara estetik, artistik, gaya, maupun obyek lukisannya.

Ialah M Syahriel, atau Ariel Lawang begitu banyak orang memanggil nama seniman ini. Ariel mungkin lebih dikenal sebagai seniman pertunjukan, entah drama, teater, mamanda, maupun aktor film lokal. Tapi bagi saya, ia selalu mengingatkan kepada lukisan-lukisannya yang memiliki gaya khas di antara para perupa Banjar lainnya. Hanya saja, sekitar sepuluh tahun belakangan Ariel tidak cukup sering dan banyak menampilkan karyanya dalam beberapa acara pameran—tidak seperti pada tahun 2000-2010an, kala ia memang bertekun pada bidang seni rupa ini.

Namun pada pameran “Garis-Garis Seribu Sungai” ini, ia benar-benar memanjakan saya sebagai penikmat lukisannya dengan begitu banyak karyanya yang ditampilkan. Tidak tanggung-tanggung, ada 60 karya! Tapi tunggu dulu, 60 karya itu semuanya dalam dimensi atau ukuran kecil-kecil, tak lebih dari 6×6 cm. Semuanya dilukis menggunakan aplikasi di dalam gadgetnya, dengan jari-jari sebagai alat membuat garis-garis gambar.

Dengan media artpaper, 60 karya itu diprint dan ditempel tersendiri pada satu dinding putih di bagian paling belakang sudut kiri ruangan. Tiidak bisa tidak, ketika sampai pada dinding itu, kau akan berdiri dan menatap satu per satu lukisan-lukisannya yang sebagian besar hitam-putih.

Bentuk obyek lukisannya yang tampak ganjil, tidak simestris, anatomi yang tak proporsional, seperti mata yang timpang, mengingatkan kita pada gaya Picasso—yang diakuinya ada pengaruh dalam karya-karyanya.

“Meski sebenarnya saya lebih mengagumi Van Gogh,” katanya.

Facebook Comments