/1/

70 Puisi pada kumpulan Tandik Meratus karya Fahmi Wahid (FW) yang diterbitkan oleh Teras Budaya (TB) Jakarta pada November 2019 adalah mimetik dari pandangan penyairnya yang rompang. Tandik yang bermakna tarian sakral upacara suku Dayak terkesan tidak konsisten dengan (bahasa ibu) puisi yang ditulis di dalamnya.

Tandik Meratus

Tak kudengar cericit enggang terbang
sebuah isyarat tentang tanah yang sekarat
bukit Meratus yang kami peluk erat terusik
membuat kami tak bisa tidur dengan nyenyak
dada menyesak kemudian tangisan mengisak

Di hadapan luka-luka alam menganga
aliran sungai menderaskan pancuran nanah
gaung kesakitan menjerit dari pedalaman
wajah alam telah tertoreh parang kenafsuan
dari genggaman tangan tak bertanggungjawab

Sungguh tak bisa dibiarkan lagi
air mata sudah menjadi anak sungai
berkelok dari hulu ke kuala perasaan
ketika kami diam akan tersisihkan
saat kami bersuara malah dibungkam
mereka perlahan menggusur kekayaan
dari tanah ulayat nenek moyang kami

Dalam balai di suatu puncak malam
janur enau melambai ditiup angin lalu
seluruh warga dalam duduk berkumpul
merumbuk perjanjian menunaikan ritual
pengusir malapetaka di tanah Meratus

Di bawah langit berkabut hitam
gema gong,kanung memecah ruangan
tetipak babun mengiring upacara
kukus menyan semerbak menyebar
balian mengelilingi campan
tandik menghentak lantai
mengucap puja bamamang

Jandian mungkar jadian lahir
sama pada pacah di tilam
papurunan
baanduh ading dahulu
ini susun alam

Nang manggaduh surat wawarah
nang manggaduh surat carita
nang baduduk di gantang sari
nang baduduk di gantang bajajar

Nang turun di gantang amas
nang turun di gantang kaca
nang umpat babunyi di garincing hiyang
ayu… lakasi turunan anak cucu hudah bahiau

Usirlah para penebang dada Meratus
yang merampas jantung hutan
dan sumber mata air gunung
yang menggelapkan harta leluhur
dibawa mereka ke seberang pulau
kami tak rela Meratus disetubuhi
direbahkan seluruh tubuh kehijaunnya
digilir mesin-mesin baja setiap waktu
meninggalkan kubangan kerakusan
Wahai… Yang Berkuasa…
kami orang-orang hunjur bukit
hanya ingin perawan Meratus tetap asri
menjadi persemayaman warisan leluhur
ladang menyemai tunas-tunas harapan
untuk dituai di peradaban mendatang

Ketika hati kami begitu miris menyaksikan
gunung batu bara tak henti dikeruk dan diseret
batang-batang pohon ditebang dan diangkut
ladang sawah kering kerontang ditelan kemarau
debu menjadi saksi atas kehancuran prasasti alam

Para balian dan orang pedalaman
tak terpisahkan dengan alam semesta
karena hutan dan sungai adalah nyawa
bagi seluruh kehidupan riwayat manusia
karena Meratus adalah mahkota leluhur
sekira dijaga dengan sepenuh hati

Tandik Meratus tak akan berhenti
terus menghentak ketidakadilan
menyuarakan penyelamatan hutan
sumber mata air dan hak kemanusiaan
sampai dengus nafas terakhir habis

Ruang balai senyap di arungan malam
balian tegak berdiri di hadapan campan
sedangkan jeritan berubah arah ke tempat lain
para penebang menghempas tubuh ke lantai kesakitan
parangmaya yang terkirim menumpas mereka satu persatu
menjadikan nyawa sebagai persembahan mamalas dendam Meratus!

Paringin-2019

Kategori puisi pamflet yang ditulis FW adalah monotafsir atas sebuah pandangan yang konsisten saya baca di buku kumpulan puisi ketiga dari penyair FW ini. Ada satu sikap yang saya hayati di sini yaitu ‘seruan’ perlawanan atas semua papakerma adiluhung dari Meratus. Tandik Meratus yang covernya menampilkan sosok Dayak bertolak belakang dengan isi puisinya sendiri yang sebagian dituturkan dalam bahasa Banjar. Memang sebagian besar orang-orang Dayak pandai berbahasa Banjar dan berbanding terbalik dengan orang-orang Banjar.


Nang manggaduh surat wawarah
nang manggaduh surat carita
nang baduduk di gantang sari
nang baduduk di gantang bajajar

Nang turun di gantang amas
nang turun di gantang kaca
nang umpat babunyi di garincing hiyang
ayu… lakasi turunan anak cucu hudah bahiau

/2/

Ada 34 puisi dari 70 judul yang saya klasifikasikan bermuatan ‘ekokritik’ Meratus.

Dupa Meratus
By Hunter: Aben, Aman, Agun Orchid

Pada basah undak bukit
meretas daratan batu
di lebat baluran hutan
di jeram-jeram dahi Meratus

Mengiringi tapak-tapak tangguh pemburu
menanjak dengan segala harap
menantang curaman jurang
menerabas sebat belantara
demi mendekap raih jalaran mahkota Meratus
melekat di dahan-dahan dan bebatuan

Mahkota-mahkota Meratus
menguarkan harum kemukus dupa
tanda kasih sayang kerinduan leluhur
memeluk ruas sungai dan tanah malai
memagari kehijauan hunjuran Meratus

Wahai Sahabatku
dalam meraih rezeki di setiap dekapan pohon
tinggallah pucuk-pucuk mahkota muda
agar tetap lestari dan tak punah
mekar sepanjang masa
di setiap sanubari pecintanya
mengharumi tanah batuah ini

Balangan-2017

Aku Menyeru Kepada Bukit

Tanah lekang bermandikan cahaya matahari
peluhnya merembes membakar dusun dan hutan
pohon besi dan sengon hanya tinggal tebangan
satu demi satu perlahan ditebang tanpa ampun
jalan di jantung gunung itu tinggal sisa-sisa rumputan

Lahan-lahan kelapa sawit menggeser pemukiman
pengerukan permata hitamsemakin gencar
di antara sayap-sayap debu yang menusuk perih mata
taburan selaksa kerikil tajam menghalau jejak kami
menyusuri lorong perlawanan demi perlawanan
meraup harap perjuangan mempertahankan tanah kelahiran

Aku menyeru kepada bukit dan penghuninya
asahlah parang, mata tombak dan sumpit
kita akan melawan orang-orang dari seberang
yang ingin merampas hutan larangan leluhur
karena di pedalaman ini anak cucu kami
bercocok tanam tunas-tunas kehidupan
yang akan dituai di masa depan

Paringin-2019

Dua puisi yang dihadirkan di sini sebagai pembanding dari 34 puisi ekokritik tanpa bermaksud menanggalkan 29 judul puisi yang senapas, sekali lagi dalam isolasi yang penuh kecemasan. Di sini, saya menjelajah kemungkinan-kemungkinan makna simbolik yang tersembunyi di balik struktur bahasa teks sastra, terutama dalam hubungannya dengan konteks sosiohistoris maupun sosiokultural yang melahirkannya.

Pertama, perjalanan FW dalam puisi pembuka Dupa Meratus mengantarkan pembaca pada kesadaran hakiki bahwa kekuatan alam dengan keseimbangan yang terus berimbang menumbuhkan keindahan, tanaman yang mendekap di dahan-dahan dan bebatuan yang mekar sepanjang masa. Penyair FW dengan sadar bahwa sebuah kemukus dupa dari pegunungan Meratus akan senantiasa memeluk ruas sungai dan tanah malai sebagai pagar yang akan tetap ada sepanjang masa.

Kedua, puisi Aku Menyeru Kepada Bukit FW menulis antihistoris; lahan-lahan kelapa sawit menggeser pemukiman.Sejak kapan lahan kelapa sawit menggeser rumah-rumah penduduk yang notabene dayak? Orang-orang pedalaman yang dikenal sebagai Dayak telah ada sebelum zaman kerajaan, bahkan telah ada sejak zaman migrasi. Dan keberulangan yang menjadi ciri mereka adalah nomaden, hidup berpindah dan ladang berpindah. Menurut Antropolog J.U Lontaan, sebaran sub-sub kelompok suku Dayak di Kalimantan terdiri dari 6 suku besar dan 405 suku kecil dengan jumlah populasi berdasarkan sensus penduduk mutakhir berjumlah ±6,9 juta jiwa dan populasi yang paling sedikit ada di Kalimantan Selatan yaitu 56. 447 jiwa. Dayak Meratus atau bukit sendiri menggunakan bahasa tutur ‘melayik’.

Kata ‘Dayak’ sendiri baru ada sejak penjajah memberi nama kepada penghuni pedalaman pulau borneo. Mereka menyebutnya dajak atau djak. Secara etimologi menurut Lindblad kata daya berasal dari bahasa Kenyah yang bermakna hulu sungai atau pedalaman.Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan yang disebut ‘Nansarunai’ dari Dayak Maanyan. Namun kerajaan ini dihancurkan oleh Majapahit di abad ke-13M.Inilah penyebab suku Dayak Maanyan akhirnya terpencar dan sebagian besar masuk daerah pedalaman.

Di mata penyair FW saya melihat halusinasi bahwa di jantung Meratus gunung itu tinggal sisa-sisa rumputan, dan yang lebih mengerikan FW dengan lantang mengajak perang;


Aku menyeru kepada bukit dan penghuninya
asahlah parang, mata tombak dan sumpit
kita akan melawan orang-orang dari seberang
yang ingin merampas hutan larangan leluhur

/3/

            Menelusuri hutan Kalimantan, menjejak pegunungan Meratus lewat Tandik Meratus rasanya ada yang rompang. FW mengurai halusinasi dalam kecemasan khususnya pada puisi-puisi monotafsir terkait pertambangan dan perkebunan sawit yang menjadi sentral isu di sini. Kabar area pertambangan, kerusakan habitat, perubahan lanskap, pembuangan tailing, limbah tambang, perubahan air tanah dan kontaminasi yang berdampak ke perubahan iklim.

Lebih dari 10 tahun masyarakat Dayak telah mengikuti arus modernisasi khususnya untuk keperluan sandang dan papan. Dapur-dapur sudah tidak lagi berasap, kompor gas sudah menjadi pengganti yang berterima di lingkungan. Sebagian lantai-lantai rumah mereka sudah di-cor semen, atap-atapnya dipasangi seng dengan berbagai merk.

Menatap Meratus dari kacamata FW membuat saya yakin bahwa kabar-kabar ilusi, narasi kehancuran, air bah dalam puisi-puisi adalah bayang-bayang fiktif yang menjadi tumit keberpihakan dan puisi akan terus menari-nari mengitari!@

Glosari:
Tandik : Tarian sakral upacara suku Dayak
Balai : Tempat musyawarah untuk melangsungkan berbagai upacara suku Dayak
Campan : Tiang utama dalam balai yang biasanya dipenuhi sesaji yang dikelilingi saat upacara suku Dayak
Balian : Kepala adat sebagi pemimpin upacara suku Dayak
Mamalas : Membersihkan bala dengan darah
Tanah malai:Tanah yang masih asri
Tanah batuah: Tanah yang bertuah
Lanting : Jamban terapung yang terbuat dari bambu di tepian sungai

Facebook Comments