Dosen Universitas Lambung Mangkurat (ULM) satu ini cukup popular.  Berpenampilan nyentrik; rambutnya yang telah keperakan dibiarkan memanjang menyentuh pundak, dan selalu bercelana jins merek tertentu. Tetapi bukan itu saja yang membuat sosok Guru Besar ini dikenal luas. Ia telah menulis banyak buku yang sebagian besar tentang motivasi menulis.

Dialah Prof. Dr. Drs. Ersis Warmansyah Abbas, BA, M.Pd.  Dosen pada FKIP Unlam Banjarmasin ini lahir di Muaralabuh, Solok Selatan, 15 November 1957. Doktor Pedidikan (IPS) UPI Bandung (2013), Magister Pendidikan (Pengembangan Kurikulum) IKIP Bandung (1995), Sarjana Pendidikan (Sejarah) IKIP Yogyakarta (1980), Sarjana Muda IKIP Padang (1978). Pernah kuliah di FK Filsafat UGM (1982), dan alumnus Pendidikan (Kursus) Teori, Metodologi dan Aplikasi Antropologi UGM (1993).

Selain menulis buku, tulisannya juga tersebar di banyak media seperti Kompas, Sinar Harapan, Suara Pembaharuan, Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional,  Jayakarta, Pelita, Bandung Pos, Haluan, Radar Banjarmasin, Dinamika Berita, Banjarmasin Pos, Bandjarbaroe Post, Sinar Kalimantan dan media cetak lainnya. Ia juga menulis di beberapa jurnal dan diundang mempresentasikannya pada berbagai seminar, baik di dalam maupun luar negeri, di antaranya pada  5th UPSI-UPI Comperence on Education, Selangor Malaysia.

“Tulis apa yang ada di pikiran, bukan memikirkan apa yang akan ditulis”. Itulah prinsipnya dalam dunia menulis.

Lebih jauh bagaimana pandangannya tentang menulis dan pentingnya membaca, dan halnya tentang pendidikan dan keluarga, silakan simak wawancara berikut ini:

Apa pandangan Anda tentang pendidikan?

Pendidikan adalah kehidupan, tanpa pendidikan manusia tidak menjadi manusia. Karena itu ada konsep long life education. “Belajar dari kandungan sampai liang lahat”. Hanya saja, ada yang keliru memaknai pendidikan sekadar pendidikan formal, pendidikan di sekolah, di perguruan tinggi, pendidikan yang ditandai dengan ijazah. Pendidikan tidak sesempit itu.

Pendidikan aplikasi “alam takambang manjadi guru”. Alam adalah guru kehidupan. Manusia mendidik dirnya dengan belajar dari alam, belajar dari tanda-tanda Kebesaran Allah SWT. Pendidikan adalah pembelajaran manusia agar menjadi memanusia dalam arti sunnatullah.

Saran Anda untuk mereka yang sedang menempuh pendidikan agar bisa sukses?

Pendidikan untuk menfungsikan, memaksimalkan “modal manusia dan kemanusiaan”, otak secara bendawi dan pikiran sebagai operasioanalisasinya. Setiap manusia dimodali semiliar neuron (self syaraf) oleh Allah SWT dan setiap neuron mampu berkoneksi 20.000. Otak berkemampuan unlimited.

Pendidikan adalah modal utama kesuksesan. Ingat, ya: bukan pendidikan berijazah saja. Mereka yang gagal belajar, mendidik diri, mustahil akan sukses. Tidak sedikit miliader atau orang sukses tidak sekolah atau ke luar dari pendidikan formal. Kenapa? Mereka ingin sukses. Mengembangkan kemampuan dengan membelajarkan diri. Sukses adalah koneksi langsung dari pembelajaran alias mendidik diri.

Berpendidikan tinggi, dalam arti pendidikan berijazah, tidak memastikan sukses. Pendidikan berijazah adalah modal pengembangan diri, mengasah logika dan keterampilan dan kemudian menyatukan dengan qalbu, dengan nurani. Sukses adalah ketika sesorang mengoptimalkan kemampuannya dengan mempraktikkan.

Harapan Anda dengan dunia pendidikan di Indonesia?

Pendidikan Indonesia harus menggeser perspeketif, pendidikan teoritik adalah modal dasar. Hal tersebut sedang bergulir dan kini saatnya dipadukan dengan praktik dalam arti merealisasikan kehebatan manusia. Kini, hal tersebut sedang digiatkan. Saya yakin, dengan penanganan pendidikan on the track, Indonesia menjadi negara hebat. Kuncinya? Pendidikan dalam arti menyeluruh, bukan pendidikan teoritis saja.

Anda dikenal sebagai penulis. Berapa buku sudah Anda tulis? Apa pentingnya menurut Anda menulis?

Buku saya yang diterbitakan sekitar seratus. Menulis itu produk sampingan, bukan hal utama. Sambungan dari hal lebih esensial, membaca. Karena saya membaca makanya menulis, bukan membaca untuk menulis. Ya, karena dengan membaca kita menjadi manusia, dan hanya manusia makhluk Allah SWT yang mampu menulis. Ya, hanya manusia lho

Apakah Anda menulis setiap hari? Bisa ceritakan kapan waktu Anda menulis dalam setiap harinya/ atau kapan saja Anda akan menulis?

Ya, dalam arti menulis konvensional. Apalagi, menulis dalam arti menyimpan raupan pancaindera untuk disimpan di memori. Menulis, menulis, dan menulis. Menulis sembari melihat , sembari menyetir, sembari mendegar pidato, dan sebagainya. Kalau sempat, yang diraup pancaindera ditulis di otak dalam konsep. Nah, begitu ada kesempatan di depan laptop atau desktop, menulis deh.

Ya, saya menulis setiap hari, terutama pagi setelah Shalat Subuh, menulis di otak, menulis konsep lalu ditulisan di otak, atau menulis daalm artian konvensiaonal, menuis apa yang ada di otak. Dan, bila mendengar pidato atau ceramah, ketika orang lain ngobrol, atau menunggu pesawat delay apalagi di pesawat. Menulis adalah helaan napas.

Apa saran Anda untuk seseorang yang mau memulai menulis/ menjadi penulis?

Membaca. Banyak membaca. Membaca, membaca, dan terus membaca. Lucu, kalau pemalas membaca berkehendak menjadi menulis. Cakrawala berpikir sempit bila kurang membaca. Membaca menbedakan level manusia. Berbeda lho picuan membaca tamatan SMA dengan tamatan program doktoral. Para Doktor pun terbedakan dari kemembacaannya dan karya tulisanya. Membaca itu yang membedakan manusia lalu diikuti dengan tulisannya. Banyak membaca, tetapi tidak menulis, hmm… gimana ya. Tulisan adalah bukti nyata, membaca pengetahuan yang hanya diketahui pembaca.

Ya, tamatan SMA yang rajin membaca, pengetahuannya bisa tidak kalah dengan yang bergelar doktor karena membaca. Pendidikan formal landasan membaca dan menulis, tetapi bukan satu-satunya.

Tentu, akan lebih yahud bila pendidikakn formal ok, membaca ok dan pengalaman ditumpuk, modal menulisnya lebih hebat. Sebab, kalau mau menulis akademik  dengan pengetahuan akademik, akan tetapi bila mengembangkan kemampuan menulis non-akademik, tanpa pendidikan formal, ok saja. Tentu lebih bermodallah yang berpendidikan formal dengan rajin membaca.

Perlu saya tandaskan: Menulis itu membaca. Kebiasaan saya bila melihat, mendengar, mencium, mencicipi atau meraba saya tulis di otak. Dalam Ersis Writing Theory notasinya “menulis di otak”. Jadi, ketika sampeyan membaca sampeyan menulis di otak.

Nah, bila yang ditulis di otak adalah hal sebagaimana mestinya, sesuai halnya, dipastikan memudahkan menulis. Kenapa ada yang susah menulis? Karena ketika menulis di otak banyak keraguan, sehingga ketika disalin menjadi tulisan, susah. Centang prenang. Awut-awutan. Kenapa? Akibat ketika menulis di otak, menginput informasi tdak benar.

Mari menulis di otak dengan baik dan menulis dalam arti umum lebih berpeluang baik. Biasakan sejak menulis informasi di otak dengan benar. Bukan benar menurut pengetahuan kita yang terbatas, atau level teman-teman, apalagi sesuai perasaan dan duga-duga diri. Input pengetahuan menentukan kadar tulisan.

Beralih ke soal keluarga, apa arti keluarga bagi Anda?

Keluarga surga dunia. Keluarga titian ke surga. Keluarga titik dasar pengabdian dan dedikasi sebagai manusia, sebagaimana diperintahkan Allah SWT. Tunaikan tugas di keluarga, utanamakan, dan kalau itu tertunai dengan baik, Insya Allah kewajiban kemasyarakatan tidak berkesulitan. Kesemuanya dilandaskan dengan kewajiban keagamaan sebagai khalifah bumi.

Bagaimana Anda menanamkan pentingnya pendidikan dalam keluarga?

Melakukan. Saya tidak menyuruh anak-anak belajar. Apalgi memaksa. Anak-anak dari kecil pasti melihat setiap hari saya belajar, membaca, dan menuliskan sebagian yang dibaca. Itulah pendidikan. Pendidikan dengan contoh. Pendidikan menanamkan kesadaran pada diri dan karena itu pendidikan bukanlah paksaan. Pendidikan terbaik keluarga adalah contoh yang baik. Saya merasa tidak sanggup, setidaknya baru mampu mempraktikkan secuil.

Apakah ada cita-cita yang belum kesampaian dan hendak Anda capai?

Mendirikan sekolah. Saya ikut mengagas beberapa sekolah, tetapi ikut-ikutan saja. Saya ingin mendirikan sekolah berbasis perintah Allah SAW kepada Rasulullah melalui Malaikat Jibril : Pendidikan berbasis Iqra’, Iqra’, Iqra’. Pendidikan membaca Tanda-Tanda Kebesaran Allah SWT. Bukan, pendidikan demi finansial, golongan, partai, atau apapun namanya. Entahlah, Semoga ada hembusan angin segar. Aamiin. (tim majalah majalah Berita ULM)

Facebook Comments