Y.S. Agus Suseno, salah satu penyair kuat Kalimantan Selatan akan mempersembahkan sebuah pentas Musikalisasi Puisi dan Baca Puisi atas namanya sendiri. Pertunjukan semacam ini boleh dikata cukup langka. Mengingat sepanjang pementasan dia hanya akan tampil membaca sendiri puisi-puisinya dengan diiringi musik.
Karenanya tidak boleh dilewatkan. Saksikan pertunjukannya di Gedung Balairung Sari, UPTD Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan, Banjarmasin, Jumat, 5 Oktober 2018, Pukul 20.30 WITA.
Dengan judul Di Bawah Langit Beku, salah satu puisi yang mungkin paling dia sukai, dan juga menjadi judul untuk buku kumpulan puisinya—yang hingga bertahun-tahun masih disimpannya dan belum jua diterbitkannya, kiranya kita bisa menyaksikan sosok salah satu penyair yang banyak menginspirasi penyair-penyair Kalsel setelahnya ini, tampil secara total dan menggetarkan.
Penyair yang karya-karyanya mulai menghiasi dunia perpusian Indonesia sejak tahun 80-an ini sudah tersebar di banyak media massa, dan juga memenangkan bermacam lomba dan meraih penghargaan. Di antaranya puisinya pernah diterbitkan di Dinamika Berita, media Masyarakat, Banjarmasin Post, Merdeka, Berita Buana, Suara Karya, dan Kompas.
Dia juga pernah memenangkan sayembara Karya Tulis Kepahlawanan se-Kalsel (1984), Sayembara Menulis Puisi Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kalsel (1985), Sayembara Menulis Puisi Berbahasa Banjardalam rangka Hari Jadi Kota Banjarmasin ke-464 (1990). Puisinya “ Menulis Sajak Membuka Cakrawala Membaca Sejarah “ terpilih sebagai salah satu dari 10 Terbaik nonranking Lomba Tulis Puisi Nasional oleh Sanggar Sastra Minum Kopi Denpasar (1990).
Dalam pementasan Musikalisasi Puisi dan Baca Puisi ini, Y.S. Agus Suseno didukung oleh pemusik; Finni (vokal), Isbay (gitar I), Zai (gitar II), Ole (perkusi). Dan, berikut ini adalah daftar puisi-puisi yang akan dipertunjukkannya.
KATA PENGANTAR UNTUK SAJAK CINTA
Menuliskan dunia manusia menuju kesunyian jalan teluk kubur
Baris-baris kata tak sempat mencatat kalimat dan isyarat
Soalnya pada kekosongan bumi ini telah kupisahkan diri
Dari keluh-kesah peradaban yang tersembunyi di hati
Kini cinta kehilangan makna. Dan air mata
menetes pada dingin batu di rumah-rumah peribadatan itu
Menyesalkan dosa di tengah keingkaran dan iman
Menunjuk pada bau tanda-tanda rahasia dan keniscayaan
Di hulu berjatuhan daun-daun hijau
Telah datang kemarau
Cinta pun berpaling dari kejemuan diri
Tak cukup hanya mengatasnamakan kemurnian cinta kasih Ilahi
1987
– aransemen: Ole
KOTA-KOTA PUN TERTIDUR
Kota-kota pun tertidur setelah melepaskan dendam kesumatnya
pada hari yang tak lagi menjanjikan harapan
Dalam ketidakpastian yang menggelisahkan
Di mana orang tak lagi bicara dengan cinta
Langit telah terbuka tanpa sengaja
Dan kota-kota terpaksa menantang cakrawala
Sementara lonceng gereja mendentangkan lagu mazmur
Embun menguncupkan pilar yang terpancang diam
Menerobos sawang dan malam di kota
Kota-kota pun mendengkur dan bermimpi
Ketika kota dalam diriku jadi api
Terbakar oleh dendam kota sepanjang hari
1985
– aransemen: Zay & Finni
HUJAN
Ketika hujan turun orang-orang pun menepi
Di masjid kulihat bulu matamu teduh
Tak meriap dalam duka langit yang merata
Tapi dingin udarakah yang membuatku menggigil
Atau angin, hingga bentuk ruang kabur berulang?
Dalam getar suara hujan yang melepasmu berangkat
Aku tercekam dalam bimbang dan kebisuan
Memahami cuaca purba ketika hujan turun
Orang-orang pun menepi — di masjid ini
1985
– aransemen: Zay & Finni
PERJALANAN PANTAI
seperti ada yang tertinggal
di seberang mimpi lain jejakmu
sisa kenangan dihanyutkan sesal
memburu kaki langit kelabu
pada senyap musim menggugurkan dedaunan
telah kita baca di bawah angin panas
bias cahaya senja
ditinggalkan matahari
susut perlahan
di keabadian mati
tapi waktu bakal jadi lain
perjalanan kelak usai
kesedihan dilarutkan lain beban
sunyi akan jadi asing di kehijauan padang
pada kesabaran hati dan ombak memecah pantai
seperti tak terdengar desir
di hamparan pasir
laut biru di bawah cakrawala
bergerak menuju samudera
1990
– aransemen: Isbay
PONDOK KULIT KAYU DI PEGUNUNGAN MERATUS
Memandang pondok kulit kayu
di lereng Pegunungan Meratus itu
aku termangu — ragu-ragu
Tak tahu harus bagaimana:
tersenyum atau menangis, terpukau atau terkesima
melihat senyum tulus penghuninya
Apakah bahagia, sebenarnya, apakah derita?
Tinggal dan bekerja di kota
pergi pagi pulang petang
diburu hari-hari panjang
hidup lintang-pukang?
Apakah bahagia, sebenarnya, apakah nestapa?
Punya rumah dan harta kekayaan
yang tak semuanya dibutuhkan
kecuali sehelai kain kafan?
Pergi haji, liburan ke luar negeri
smartphone model terkini
moda transportasi dan sebagainya
itukah bahagia?
Di pondok kulit kayu Pegunungan Meratus itu
orang-orang tersenyum ramah
Anak-anak dan orang tua tertawa
Menertawakan surga terakhir di dunia
yang kelak tak ada
Senyum dan tawa memang tak abadi
ketika deru mesin-mesin raksasa
memberangus Pegunungan Meratus
Nafsu orang-orang rakus
membongkar tanah huma
menambang batu bara di bawahnya
menjadikannya lubang-lubang raksasa
mulut neraka yang menganga
mewariskan bencana
bagi anak-cucu kita.
Banjarmasin, 15.02.2018
SAJAK CINTA
Apakah cinta, sebenarnya, apakah bahagia?
Cinta adalah sepasang mata sayu
yang nanar menatapmu
di hitam bola matanya terbit cahaya
Bersamanya kau tertawa
berbagi dunia yang tak sempurna
Apakah cinta, sebenarnya, apakah bahagia?
Cinta adalah alunan melodi
sebaris puisi di pelangi
embun turun dinihari
air mata hangat mengalir di pipi
Apakah cinta, sebenarnya, apakah bahagia?
Cinta adalah rindu padamu
tak ada bahagia selain itu
Banjarmasin, 16.02.2018
– aransemen: Zay & Finni
MENULIS SAJAK
MEMBUKA CAKRAWALA
MEMBACA SEJARAH
menulis sajak
membuka cakrawala
membaca sejarah
mataku perih sepanjang jalan
— sesuatu tenggelam dalam kelam —
pada langit kelabu
kabut turun
kurenungi kabut dengan kebimbangan yang aneh
langit redup semata
begitu pun dunia
dan pada catatan yang dengan terbata kubaca:
“kenyataan bukan impian
hidup hanya bosan”
— di tembok-tembok dunia yang mengisyaratkan kepedihan
kulihat sajak-sajak ditulis
cakrawala terbentang
dan sejarah berulang —
1986
– aransemen: Isbay
DI REDUP CAHAYA BULAN MATI
di seberang bayang keabadian
musim menipis
udara mengering
ombak menderu
menyingkirkan perahu-perahu
di keluasan laut yang kita jelang
tersimpan rahasia buih dan karang
misteri kehidupan mengambang
ombak memukul
kilau terpantul
semua sederhana saja sebenarnya
perahu-perahu berlayar
laut berdebur
angin dingin
tapi senantiasa ada yang tak terpahami
pada desah sunyi abadi
di redup cahaya bulan mati
1990
– aransemen: Ole
DI BAWAH LANGIT BEKU
di hutan akan selalu ada
burung-burung terlambat pulang dalam senja
hidup yang berat adakah hidup manusia
di bawah langit beku
sungai mengalir dari hulu ke hilir
seakan desir angin kecipak air
begitu-begitu saja selamanya
malam mengguris alam
bulan tergantung pepohonan mematung
menunggu hari abadi
sampai semuanya habis
hutan tak sempat menangis
burung-burung tak terbang lagi
hidup kepalang mati
bulan hancur di air
sungai berhenti mengalir
desir angin dan pusaran cahaya
membeku alam benda
tuhan
siapa manusia?
1991
aransemen: Isbay, Ole, Finni, Zay