FORUM Sineas Banua (FSB) berhasil Merayakan dan Merajakan pegiat sineas Kalimantan Selatan dalam ajang Layar Film Banjar (LFB) di Banjarmasin Creativ Hub (BCH), pada Sabtu (16/12/2023).
Sesuai tema itu, FSB banyak menggandeng pegiat sineas dari berbagai kelompok dan berkolaborasi, bahkan mendatangkan langsung aktor lokal dan nasional. Hari Jum’at, 15 Desember itu menghadirkan aktor, sutradara dan produser dari film Samamah, Jendela Seribu Sungai (JSS), Kaminting Pidakan, Badrun & Loundri, Saranjana Kota Gaib, Ancika dan lainnya.
Sebab, sejak 9-16 Desember ini banyak menampilkan program di antaranya Layar Tunas Kanas, Layar Pelaminan, Layar Gonol, Propaganda (Layar Pandang Dengar), Throwback LFB 2022 hingga Temu Teman Sinema (TTS) dan ditutup dengan Layar Gangan, sekaligus pengenalan akhir jajaran panitia LFB sebagai ungkapan terima kasih selama 8 hari berjalan.


Caesariko, Ketua Forum Sineas Banua (FSB) mengatakan di tahun pertamanya ikut bagian LFB 2023 ini. Dia pun mengaku sukses digelar karena berbagai komunitas film hadir, bahkan dianggap seru sekaligus berjejaring di satu vanue (tempat) yang menjadi fokus kegiatan.
“Layar Film Banjar tahun ini, saya rasa ajang yang berasa vanue festivalannya. Jadi ini yang sangat proper kegiatannya,” ucap Caesariko kepada Asyikasyik, seusai kegiatan LFB.
Rico, sapaan akrabnya itu menyebut event LFB dengan vanue seperti ini sangat baik untuk seterusnya nanti dikenal tetap banyak orang. Apalagi, dia menilai di satu tempat banyak kegiatan maka akan tergambarkan sistem perfilmannya.
Dia mengaku sistem kolaborasi ini juga terbantu oleh Pemerintah Kota (Pemko) Banjarmasin. Dari fasilitas tempat, kemudian bekerjasama dengan Dinas Pendidikan untuk melibatkan sejumlah siswa dalam mengenal dunia perfilman.
“Dari kerjasama itu, kita juga menghadirkan anak-anak sekolah. Mereka nampak senang sekali, apalagi saat melakukan casting film itu.”
Kemudian, Riko menilai film-film lokal di Kalimantan Selatan mulai bertumbuh. Lewat LFB, banyak dikurasi oleh panitia hingga terpilih adalah tayangan yang resmi di akun @forumsineasbanua.
Dalam program temu teman sinema, Riko menganggap seru karena begayaan (bercanda) sambil mengkritik film-film komunitas. Sesama rekan filmaker, dia mengaku saling mengejek tanpa menyakiti pun adalah cara membangun pengetahuan bersama dalam film.
“Ditampilkannya adalah film pertama mereka. Bukan film perbaik mereka, sehingga banyak sekali masukan sambil begayaan. Dan besambatan (mengolok) film yang dianggap jelek, namun diapresiasi karena melihat sejauh mana progresnya itu,” ujarnya.
Di hari pertama, Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina mengomentari film-film lokal layak bersaing di kancah Nasional. Selama menonton film Kaminting Pidakan, dia merasa film itu bagus sekali ditonton oleh masyarakat luas, bahkan sangat mengedukasi perjuangan pahlawan di Banua.
“Film ini juga sangat mendukung dalam pertumbuhan ekonomi kreatif (ekraf) masyarakat. Dari menampilkan hasil-hasil karyanya ini, saya mengapresiasi.”
Terkait studio khusus film di Banjarmasin, Ibnu menyatakan memang sempat ada wacana ingin membangun studio seperti Misbar. Namun, dia ingin mendorong kelompok film cukup memanfaatkan dan menikmati fasilitas di BCH terlebih dahulu.

Disela itu aktor Kaminting Pidakan yang memerankan Tumenggung Jalil yakni Bayu Bastari.
Dia sangat berterima kasih atas kepercayaan menjadi tokoh dalam film sejarah tersebut.
“Awalnya saya mempelajari dulu karakter tokoh Tumenggung Jalil, walau pun literaturnya sangat sedikit ya. Tetapi puas memerankannya, karena sosoknya yang pemberani, tegas dan dianggap sholeh,” cerita Bayu.
Bayu mengatakan sosok Tumenggung Jalil itu muda, sesuai temuan literatur sejarahnya. Diperkirakan usianya masih belasan tahun, bahkan kisaran 20 tahun. Namun kandas, cerita sejarahnya disebut mati karena tembakan pasukan Belanda menyerang di tanah ulayatnya. Dalam film itu nampak dramatis, Bayu Bastari terlihat berlumur darah disisa penghabisannya untuk menyerang dan bertahan hidup.
Temu Sinema dan Berdialog Bareng Produser Film Banjar
LFB menyiapkan tempat berdialog bersama Budi Ismanto, Produser Film Ancika (versi Dilan ke-2) dan Johansyah Jumberan, Produser Film Saranjana Kota Gaib, serta Akademisi Sendratasik ULM, Novyandi Saputra. Dimoderatori oleh budayawan, Noorhalis Majid. Mereka membicarakan prospek film Banua dalam industrinya.


“Apakah film di Kalimantan Selatan memiliki prospek atau tidak? Apalagi, teman-teman sineas sekarang mulai bertumbuh di Banua. Mungkin, bagaimana caranya dan bisa ceritakan masing-masing kalian untuk pegiat film di sini,” ucap Noorhalis, memulai dialog.
Budi Ismanto, Produser Film Ancika melihat prospek film dari tahun ke tahunnya memiliki kesempatan baik ke depannya. Dia melihat perkembangannya sangat cerah, terlebih dilihat sumber daya manusia (SDM) bertumbuh dari banyak komunitas film.
Bahkan di beberapa daerah seperti Tanah Laut, Kotabaru, Kandangan dan hampir diseluruh Kalsel itu mulai bertumbuh pegiat filmnya.
“Jadi, ada harapan besar nanti dan suatu ketika menjadi barometer perfilman di Indonesia Timur, khususnya Kalimantan.”
Selama ini cuma di wilayah barat saja, Budi ingin menciptakan industri film ini dengan cara menyiapkan sistemnya. Mulai dari kesiapan alat, tempat hingga pendekatan investor, harus dibangun sejak dini.
Namun semua itu, Budi menegaskan dalam film adalah ide yang paling mahal. Bagaimana, menurutnya cerita itu menjadi pasar bagi masyarakatnya.
“Kemudian, bagaimana meyakinkan investor yang menjadikan ide sebagai bisnisnya. Harus dipikirkan itu,” ungkap Budi, bersemangat.
Lantas, Budi menjelaskan ide-ide itu ada disekitar kita yang bersinggungan dengan keseharian masyarakat. Dia menyebut harus yang sederhana, namun berhubungan dengan hajat orang banyak.
Bahkan, Budi tertarik dengan mitologi orang Banjar yang muncul di masyarakat. Setelah tayang di bulan Januari, Ancika rilis film di bioskop. Jurnalis senior ini bakal menyiapkan film horor berjudul “Mati Jadi Hantu.”

Adapun Produser Saranjana, Johansyah Jumberan mengaku di nasional telah memproduksi 5 film. Selama ini tidak banyak mengenal dirinya merupakan urang Banjar yang berasal dari Nagara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) namun tinggal di Jakarta.
“Saya awali memang bukan dari investor, memakai duit pribadi. Walau film pertama saya gagal, tidak laris. Namun belajar dari itu, selama 9 tahun akhirnya dengan memproduksi film Saranjana ini tembus 1.248.107 Juta penonton,” beber Joe, panggilan akrabnya itu.
Joe mengaku, selama masuk di industri film banyak pendekatan ke sejumlah Production House (PH) besar namun ditolak. Sehingga, dia berjalan sendiri bahkan banyak terjual seperti emas, mobil dan sebagainya.
Film pertama gagal karena tidak terbukti, sehingga kolaborasi dengan PH besar tidak terjalin. Sekarang, Johansyah berhasil dengan film Saranjana banyak tawaran dari berbagai PH.
“Investasinya sungguh berani saat itu. Caranya panjang untuk menempuh dan menbuktikan itu, hingga PH bernama Dari Hati Film (DHT) Entertaiment dikenal orang,” ungkap Joe.
Sementara Produser Film Badrun & Loundri, Ade Hidayat menceritakan bahwa film itu sebuah karya Sutradara Garin Nugroho yang mengangkat kisah-kisah nyata di Indonesia dan mengambil setting lokasi di pinggiran sungai-sungai kota Banjarmasin.
“Jogja Film Academy (JFA) bekerjasama dengan KlikFilm, Garin Workshop dan
Forum Sineas Banua (FSB) mempersembahkan sebuah film drama satir terhadap dunia Perpolitikan Agamis dalam Negeri,” terang Ade.
Di Jogja, Ade melihat Sutradara Garin Nugroho nampak tangis saat mengisahkan latar film tersebut. Orang-orang pada merekam peristiwa itu, sebab Garin memandang sangat miris dan geram dengan kondisi Indonesia saat ini.
Setelah launching di Jakarta World Cinema Week dan Jogja Asian-NETPAC Film Festival (JAFF), film Badrun & Loundri akan ditayangkan secara perdana dalam penutupan ajang LFB 2023.
Diketahui bahwa Film Badrun & Loundri dibintangi oleh sederet bintang Tanah Air. Seperti Arswendy Beningswara, Shenina Cinnamon, Erick Estrada dan aktor-aktris asal Kalimantan Selatan seperti Arsyad Indradi, Elma Istiana, Yulian Manan, Irwan Budiman, Rina Obby/Acil Imas, Istiqomah Nuzula, Ahmad Yamani, Ahmad Yudi Galih dan lainnya.
“Hampir semua badan produksi melibatkan kru dan pemain dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Keterlibatan Forum Sineas Banua dalam badan produksi film Badrun & Loundri berdasarkan hasil workshop yang dilaksanakan oleh Garin
Nugroho dan Arswendy Beningsawa,” tandasnya.@