Saya ingat Mama seringkali bercerita soal masa lalunya menonton film di Pasar Binuang, itu tahun 80-90an, ia masih bujangan ketika itu. Mama barangkali menonton bersama Bapak, mungkin film-film Lydia Kandou, Ira Wibowo, atau film-film cinta yang membikin luluh hati, saya selalu membayangkan begitulah kisah asmara orang tua saya. Bapak tinggal di Binuang, Mama jauh-jauh jalan kaki dari kampung untuk bertemu Bapak. Yah, mungkin begitu. Hal-hal yang tidak pernah saya rasakan sebab setibanya saya di dunia, di pasar hanya ada amis dan bioskop cuma sisa cerita. Setahu saya, selain di Pasar Binuang, dahulu ada banyak sekali bioskop-bioskop rakyat bertebaran; Pasar Martapura, Cempaka, Banjarmasin dan lain-lain. Seiring waktu, sebab teknologi atau pergolakan politik, entahlah, bioskop-bioskop itu pergi meninggalkan cerita-cerita bahagia. Kita bisa bayangkan jika hari ini hal tersebut terjadi, bioskop-bioskop yang ramah terhadap masyarakat, di pusat pasar barangkali, atau di tempat-tempat yang mudah diakses publik, tentu memasarkan film tidak bakal jadi sesulit ini. Saya yakin.

Salah satu yang mewarnai perjalanan panjang perbioskopan di Indonesia adalah misbar, singkatan dari gerimis bubar. Pada era 1980-an hingga awal 2000-an, misbar—atau di beberapa wilayah disebut sebagai layar tancap—begitu populer. Tontonan diadakan di ruang terbuka, untuk acara besar hingga pesta-pesta kecil sekelurahan. Hari-hari ini—mengutip ucapan Waki Wali Kota Banjarbaru, Bapak Wartono, saat grand opening misbar bulan lalu—misbar di Indonesia hanya tersisa di tiga titik: Purbalingga; Kupang; dan Banjarbaru, tepatnya di jalan Panglima Batur.

Berkurangnya jumlah bioskop rakyat ini, menurut beberapa artikel yang saya baca, disebabkan kalah bersaing dengan gedung-gedung bioskop. Padahal misbar jauh lebih terbuka bagi masyarakat awam, terutama orang-orang kampung seperti saya yang selalu takut bila masuk gedung-gedung mewah seperti mall. Ia juga menyuguhkan hiburan yang berbeda, lebih relatable, terutama jika dilihat film-film yang belakangan ditayangkan di Misbar Banjarbaru.

Peresmian Misbar ini, ujar Bapak Wartono, merupakan dukungan pemerintah Kota Banjarbaru agar menjadi salah satu corong distribusi film dan pertunjukan untuk menggairahkan film maker, production house, dan insan kreatif untuk bertumbuh dan senantiasa berkarya.

Saya kira kita semua mesti sepakat, bahwa kendati barang yang baru diresmikan ini merupakan hal yang kuno belaka, namun ia jelas merupakan terobosan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Sebuah gerak kecil yang mampu memangkas jarak antara penikmat dan pembuat film. Sekarang yang mesti dibenahi, secara pelan-pelan tentu saja, adalah kualitas dari film itu sendiri. Sebab film yang bagus akan mendatangkan penonton, penonton akan mendatangkan keuntungan (baik dari kepuasan batin dan, terutama, dari finansial) bagi pelaku film. Semakin banyak penikmat dan pelaku, semakin mungkin pula dibangun misbar-misbar lainnya di Banjarbaru dan dearah-daerah lain di Kalimantan Selatan. Begitulah nantinya dunia perfilman kita akan hidup. Sebab, sebagaimana kata kawan saya, hidup sebagai seniman mungkin tidak bisa bikin kita kaya, tapi setidaknya jangan buat ia memiskinkan kita.

Apa yang pelaku, komunitas, gerakan, kelompok, penikmat seni atau apapun itu mesti lakukan untuk merespon niat baik pemerintah Kota Banjarbaru ini? Saya tidak tahu orang lain, tapi bagi kami, momen kebangkitan industri kreatif ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Sebab, entah bagi penikmat atau pelaku, sayang sekali kalau harus melewatkan momen baik ini hanya dengan sekadar duduk santai dan menyesal lima-enam tahun kemudian karena misbar yang—amit-amit—kepalang sepi (dari pengunjung atau dari pelaku) ditutup tak lama setelah ia diresmikan.

Ia harus hidup. Harus. Kita bisa terlibat dalam panjang-pendeknya umur misbar dari segi yang mana saja.

Saya sesungguhnya pengin menutup tulisan di atas dengan kalimat ajakan klise macam ayo, kita ke misbar sekarang juga, tapi betapa membosankannya mengajak orang lain dengan tulisan macam begitu. Jadi saya memilih untuk mengkahiri tulisan ini dengan satu informasi tambahan saja: bahwa memang jamak kita tahu misbar selama ini diartikan sebagai gerimis bubar, tapi di Banjarbaru kepanjangannya lain belaka, misbar di sini berarti gemisi bareng. Kita akan diberikan jas hujan bilamana langit sedang iseng pada bumi. Bareng-bareng duduk menikmati film dan langit syahdu. Oh ya, Misbar Banjarbaru dalam seminggu punya waktu rehat alias libur yaitu di malam jumat (kamis malam, red). Kalau sekarang masih menayangkan film-film pendek yang dibandrol HTM 3 film pendek Rp. 15.000,00 konon kata Ade Hidayat selalu ketua divisi film Misbar ke depannya akan ada film panjang yang dipastikan akan seru pakai banget!

Saya sendiri, ketika menulis penutup tulisan ini, sedang membayangkan pergi lagi ke Misbar dan menemukan pasangan hidup saya di sana, persis seperti Mama yang bertemu Bapak puluhan tahun lalu di bioskop rakyat Pasar Binuang.@

Facebook Comments